ANANDA SUKARLAN, Musisi dengan Identitas Kebangsaan

1083

Article Top Ad

Seberapa penting “identitas kebangsaan” bagi seorang musisi?
Berikut  wawancara khusus dengan maestro Ananda Sukarlan,
persembahan Steinway and Sons dalam rangka
memperingati HUT Kemerdekaan RI yang ke-76

Anda dikenal sebagai pianis, komposer, dan musisi yang concern dengan musik tradisional Indonesia, dimana beberapa karya Anda memasukan unsur musik tradisional Indonesia ke dalam landscape musik klasik, misalnya serial Rapsodia Nusantara. Alasan apa yang mendasarinya?

Sebetulnya dulu waktu kuliah, saya selalu ditanyain, mana musik dari  Indonesia. Dan waktu itu kan hampir belum ada. Lalu ketika ikut kompetisi dan setelah lulus dan berkarier sebagai pianis, saya kesulitan untuk mematangkan identitas saya sendiri, karena kita tahu ada ribuan pianis di seluruh dunia, dan kalau semua mainnya sama, lalu bedanya apa? Dan kemudian kenapa orang datang ke konser saya, bukan ke konser si B atau si C, yang juga si B itu dari Jerman dan mainnya Bach dan Beethoven. Kalau saya main Bach dan Beethoven juga, apa saya akan lebih bagus dari dia. Gitu lho. Memang waktu itu sudah ada karya-karya Trisuji Kamal misalnya, dan karya Amir Pasaribu yang belum sempat dipublikasikan tapi saya dapet manuskripnya, atau juga karya Mochtar Embut. Tapi, belum ada karya-karya yang virtuoistik yang bisa menunjukan kemampuan bermain yang mengeksploitasi dunia piano secara keseluruhan. Kebanyakan karya-karya mereka adalah lagu-lagu pendek

Article Inline Ad

Sejak kapan Anda memulai proyek Rapsodia Nusantara?

Waktu itu akhir tahun 90-an saya ketemu Yazeed Djamin, dan dia sepakat untuk bikin Rapsodia Nusantara dari Aceh sampai Papua, seperti Liszt yang bikin Hungarian Rhapsody. Kita bisa bikin lebih banyak karena Indonesia jauh lebih luas dari Hungaria. Dia mulai menulis tahun 2000, tapi meninggal tahun 2001sebelum karyanya selesai. Saya belum sempat lihat karya dia sampai tahun 2007 ketika saya diminta bikin lagu-lagu yang ada hubungannya dengan Betawi untuk konser inagurasi Fauzi Bowo jadi gubernur Jakarta. Saya ingat Rapsodia-nya Yazeed, lalu saya bikinlah Rapsodia Nusantara nomor satu, dan saya mulainya ya dari Betawi. Bukan dari Aceh. Tadinya sih Rapsodi Nusantara gitu aja, nggak pakai nomor. Tapi ternyata sukses dan banyak dimainin, ya akhirnya saya bikin Rapsodi nomor dua dan seterusnya sampai sekarang udah nomor 36. Yang nomor 37 lagi on the way.

Bagaimana respon atas serial  Rapsodia Nusantara?

Bagus, dan sudah banyak dimainkan pianis-pianis Indonesia di dalam dan luar negeri. Bahkan  karya ini sudah jadi bahan studi dan kajian pianis-pianis Indonesia yang sedang belajar di luar negeri karena mereka butuh karya-karya virtuoso dari negaranya sendiri untuk bisa membedakan mereka dengan pianis-pianis lainnya. Pianis Australia, punya komponis sendiri, Peter Sculthorpe. Jepang juga begitu, punya  yang namanya Toru Takamitshu. Kalau pianis Indonesia, ya ini jadinya. Harus sesuatu yang sangat Indonesia yang berdasarkan musik Indonesia yang punya ciri khas.

Apakah Rapsodia Nusantara bisa dikatakan mewakili musik Indonesia?

Sebenarnya nggak bisa bilang kita ini punya musik Indonesia. Nggak ada yang namanya musik Indonesia, karena musik Aceh dengan musik Sumatera Utara saja sudah beda. Gamelan Bali sama gamelan Jawa saja sudah beda. Sistem tangganadaya beda. Sistem melodinya beda, ritmenya beda segala macem. Jadi ini sebenarnya juga salah satu cara saya untuk mencari apakah yang dimaksud musik Indonesia itu. Pada akhirnya, musik Indonesia  adalah musik yang ditulis komponis Indonesia. Udah gitu aja. Karena, Rapsodia Nusantara nomor satu dan nomor dua, ya beda. Kata orang sih musik saya ada bedanya, ada ciri khasnya, ada indentitasnya. Kata orang sih begitu. Saya sendiri nggak tau. Pokoknya materialnya beda-beda. Saya hanya mengembangkan saja, dan apa yang saya eksplorasi dari musik tradisi itu baru 0,000001% dari posibilitasnya.

Dengan karya Anda itu, apa yang Anda harapkan?

Harapannya adalah bahwa kita punya identitas ke-Indonesia-an di dunia musik internasional.  Saya juga berharap ini bisa jadi modal anak-anak Indonesia di luar negeri, baik yang sedang belajar, berkompetisi, maupun berkarier, karena dulu saya kesulitan dan harus membuat dari nol. Sekarang mereka sudah punya bahannya dan bisa digunakan untuk berkompetisi atau untuk bahan penelitian. Misalnya Anthony Hartono yang memenangkan kompetisi di Finlandia dengan membawakan Rapsodia Nusantara nomor 10. Juga Edith Widayani, yang tesis doktoralnya membandingkan musik saya dengan musik Debussy. Semoga sih musik saya ini akan memudahkan pianis dan musikus Indonesia di luar negeri yang sedang kuliah yang butuh sesuatu yang memiliki identitas dalam karier mereka, baik sejak ujian akhir mereka, sampai ikut kompetisi dan sampai berkarier. Dan lebih jauh lagi semoga masih banyak yang membutuhkan Rapsodi Nusantara, dan pianis-pianis yang sekarang usianya masih belasan atau 20-an inilah yang akan memainkannya di kemudian hari.

Dalam dunia musik klasik yang Anda geluti, seberapa penting sebuah identitas kebangsaan?

Seperti yang saya bilang tadi, identitas itu penting ketika kita belajar maupun kompetisi di luar negeri. Lagu-lagu saya bisa menjadi kendaraan bagi mereka yang berkompetisi, karena musikalitas bagus, teknik tinggi, dan punya identitas.  Di dunia musik klasik itu ada ribuan orang dan semua mainnya hebat-hebat, tekniknya tinggi. Nah bagaimana kita bisa berkompetisi kalau semua mainnya bagus, tekniknya tinggi? Ya dengan menunjukkan perbedaan, menunjukan identitas. Kita punya kelebihan material untuk dikembangkan ke dalam musik piano, simfonik dan lain-lain. Dan itu kita punya yang paling kaya sedunia, yaitu kekayaan lagu-lagu daerah dengan melodi, sistim tangganada dan intervalnya, ritme dan harmoni masing-masing daerah. Ini semua adalah identitas bangsa dan negara yang luar biasa, dan belum tereksplorasi secara besar-besaran

Bagaimana ide tentang identitas kebangsaan itu muncul?

Walaupun saya sadar di tahun 90-an bahwa identitas keindonesiaan saya itu adalah modal utama saya untuk berkarir di Eropa, saya dulu masih berpikir bahwa untuk balik ke Indonesia, saya tetap harus main Beethoven, Bach, dan lain-lain. Jadi sewaktu balik ke Indonesia tahun 2000, waktu itu diundang Gus Dur sebagai seniman pertama yang masuk lagi ke istana setelah era Soekarno, ya saya mainnya Beethoven lah. Apalagi udah diworo-woro, Gus Dur itu sukanya musik Beethoven. Setelah kelar konser  yang beliau tonton dengan memakai sarung dan sendal jepit sementara pejabat dan undangan yang lainnya keren-keren, saya ngobrol lama dengan beliau dan langsung ditanya “anda itu orang Indonesia kok mainnya Beethoven melulu?” Saya jawab, karena memang dosen saya di Conservatory memang menyarankan untuk tidak memainkan karya saya sendiri sebelum karir saya sebagai pianis itu mapan. “Lah kamu kurang mapan apa” tanya Gus Dur. Ya iya sih  cuma saya jadi keenakan hahaha … Udah gitu saya sempet melirik ke beliau pas main, kelihatannya ketiduran, tapi terus beliau bilang setelah itu “wah di bagian sini tadi rada kurang solid ya”, kayaknya pas bagian saya melirik beliau deh hahaha… saya emang rada grogi waktu itu, lah presiden yang ngundang, saya sama sekali tidak punya referensi siapa itu beliau –karena zaman itu saya belum internetan–, terus beliau sendiri ketiduran!  Udah gitu itu pejabat-pejabat lain yang datang kayaknya nggak begitu suka musik klasik sih, tapi ya terpaksa aja harus datang. Ternyata memang setelah itu saya dibilangin, Gus Dur itu kelihatannya selalu tidur, padahal menyimak abis! Nah, sejak percakapan kami yang cukup membuka mata saya itu, saya sadar bahwa keindonesiaan saya juga dibutuhkan di negeri sendiri. Makanya sekarang saya udah hampir nggak pernah main Mozart dan Bach lagi, sudah banyak yang main itu di Indonesia. Saya punya kewajiban moral untuk memperkenalkan musik Indonesia ke orang Indonesia sendiri yang ternyata sekarang generasi mudanya udah nggak tau lagi O Inani Keke, Rasa Sayange dan lain-lain.

Anda juga merekam ulang komposisi piano karya komposer Indonesia seperti Trisutji Kamal. Apa tujuannya?

Ya karena dulu nggak ada yang merekam, dan sekarang pun sepertinya gak ada yang niat merekam. Paling satu dua gitu ya. Saya sudah merekam lagu-lagu Trisuji sudah hampir semuanya. Ada 4 CD yang sudah release dan satu CD yang belum release. Juga saya merekam karya Amir Pasaribu. Tujuan saya sebenarnya ingin menunjukan kita ini punya sejarah musik klasik seperti apa ya. Amir Pasaribu misalnya, dia itu komponis pertama  pribumi lho, dan kita harus menghargai, dan kita harus tahu lah generasi saya dan generasi ke depan bagaimana sejarahnya. Dengan merekam lagu-lagu mereka sebenarnya kita juga belajar bagaimana membuat musik-musik yang nggak selalu harus “barat”

Apa yang Anda harapkan kepada generasi muda yang berkecimpung di musik klasik, kaitannya dengan  semangat kebangsaan dan mencintai budaya sendiri?

Sebetulnya bukan soal mencintai budaya sendiri sih. Tapi tujuannya apa sih main musik? Kalau kita tetap main musiknya Beethoven, Tchaikovsky segala macem, itu kan tujuannya untuk menunjukan diri, kasarnya pamerlah, nunjukin bisa main konsertonya Beethoven, Tchaikovsky dan lain-lain,  yang sebenarnya semua itu kita sudah lewat setelah mengikuti kompetisi-kompetisi, karena kalau kompetisi memang harus nunjukin kita hebat, walaupun seharusnya bukan hanya itu saja, tapi kita harus bisa menawarkan sesuatu yang berbeda. Semua itu mestinya sudah selesai setelah minimal kita berusia 30 tahun. Setelah lewat umur 30 tahun kita mesti harus mikir, kita main musik tuh untuk apa? Kalau kita merasa tidak bisa berkarier, yang salah bukan penonton atau masyarakatnya. Yang salah kita. Kalau nggak ada market, kita mesti bikin marketnya sendiri. Kalau kita tetep masih main Beethoven, atau siapapun, semua orang sudah bisa sekarang karena tekniknya sudah     sangat mapan. Yang penting sebenarnya kita mesti mencari identitas diri. Terserah seperti apa identitasnya karena menurut saya musik itu pada dasarnya adalah upaya pencarian  identitas diri. Bukan untuk pamer. Apa yang kita pelajari di konservatorium itu hanya sekedar alat. Tapi nggak ada yang ngajari kita tentang identitas. Itu mesti kita cari sendiri.

Apakah Anda melihat musik tradisional Indonesia masih memiliki peluang untuk membentuk identitas musik seseorang?

Kenapa tidak? Ini lahan yang masih belum tersentuh, kita bisa mulai tanpa melakukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh negara-negara lain. Musik klasik itu bukan tradisi kita, jadi kita justru bebas membuat cara-cara mempromosikannya tanpa terikat tradisi dan pakem-pakem seperti di Eropa yang buat saya sangat konservatif dan tidak inovatif. Kita bisa melakukannya dengan cara yang sangat out of the box.

Sepanjang Anda membangun identitas kebangsaan melalui musik klasik, bagaimana kepedulian pemerintah RI? Sejauhmana mereka mengapresiasinya?

Saya bersyukur bahwa apa yang saya lakukan melalui musik, mendapat perhatian pemerintah. Salah satu contohnya adalah, “Ananda Sukarlan Award” dan “Tembang Puitik Ananda Sukarlan” yang saya gagas, telah diakui keberadaannya sebagai even nasional oleh pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. Bahkan dua kegiatan itu sekarang telah menjadi agenda nasional dengan sponsor pemerintah. Saya melihat bahwa kini pemerintah mulai terbuka dengan keberadaan musik klasik sebagai salah satu entitas musik dunia yang disadari atau tidak, mulai berkembang di Indonesia. Melalui keterlibatan pemerintah dalam dua kegiatan saya itu, mereka ingin melihat peta musik klasik di Indonesia itu seperti apa. Siapa saja orang-orangnya, seberapa luas penyebarannya, dan apa saja kegiatannya. Saya kira ini apresiasi yang baik dari pemerintah untuk mengembangkan dunia musik klasik di tanah air. Saya berterimakasih kepada menteri Pendidikan kita, mas Nadim dan pak Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan, dan Pak Ahmad Mahendra kepala Direktorat Perfilman, Musik dan Media Baru. Mereka sangat mendukung musik klasik, terutama yang beridentitas keindonesiaan yang kuat. Dari kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif juga memberi dukungan karena mereka melihat bahwa pariwisata Indonesia ke depan bukan soal keindahan alamnya saja tetapi juga budayanya, yang didalamnya ada unsur musik tradisi. Dan, bahasa internasional dalam hal ini adalah musik klasik. Misalnya, bagaimana kekayaan musik tradisional Indonesia itu ditransformasikan melalui piano, yang merupakan alat musik tradisi klasik Eropa.

Bagaimana dengan pihak-pihak lain? Adakah yang juga mendukung dan mengapresiasi idealisme musik yang Anda bangun?

Kalau dari swasta banyak. Yayasan Habibie-Ainun misalnya. Atau Keluarga Panigoro dari MEDCO, Keluarga Alisjahbana dari FEMINA Group, kaya.id, bahkan sekarang partai politik seperti Partai Solidaritas Indonesia pun menggunakan musik klasik untuk penggalangan dana mereka. Pak Prabowo Subianto, Pak Luhut Panjaitan, Ibu Sri Mulyani, Ibu Retno Marsudi, mereka suka datang ke konser saya, mereka benar-benar ada kebutuhan emosional dengan genre musik ini. Mereka juga tahu, untuk berkomunikasi, berdiplomasi internasional, musik inilah yang punya daya komunikatif yang kuat, makanya waktu itu kami pagelarkan di World Culture Forum. Banyak koq yang suka musik klasik, buktinya konser online saya yang diproduksi Dirjen Kebudayaan sejak Mei lalu selalu mendapat views rata-rata 4000-5000-an dan naik terus setelah itu.

Musikalitas seseorang dapat berkembang salah satunya dipengaruhi oleh alat musiknya. Steinway sebagai merek piano yang sudah terkenal di dunia telah membantu ribuan pianis menemukan performa terbaiknya. Bagaimana pandangan Anda?

Sepakat. Steinway sebagai piano berkualitas dan bermutu tinggi memiliki peluang untuk membangun tradisi bermusik, khususnya piano, yang berkualitas pula. Sekarang bagaimana Steinway, sebagai salah satu merek dari Barat, bisa membumi, mendorong eksplorasi musik tradisional Indonesia, sehingga sebagaimana musik Klasik yang merupakan tradisi Barat, menjadi alat bagi ekplorasi kekayaan musik tradisional Indonesia. Saya kira Steinway bisa sangat membantu dalam hal ini. Sebuah karya musik atau konser musik nggak hanya kerja dari seorang pianis dan komposernya saja, tetapi kerja dari berbagai pihak. Termasuk pianonya. Media. Sinergi yang baik akan membangun iklim bermusik yang berkualitas. (eds)

Article Bottom Ad