Pembaca Budiman,
DALAM dunia bahasa umum, tulis menulis berfungsi sebagai alat komunikasi. Huruf atau abjad adalah alatnya. Dalam dunia “bahasa musik” membaca dan menulis musik juga merupakan bentuk komunikasi, dan notasi merupakan alatnya. Tentu saja, agar komunikasi itu memiliki makna, dibutuhkan keahlian untuk merangkai huruf atau notasi.
Sebagai “bahasa universal” dengan logika dan kalimatnya sendiri, musik membutuhkan pedagogi yang baik dan harus disusun untuk mengajarkan kemampuan membaca dan menulis musik dengan metodologi, dan tatacaranya, yang semuanya diperkenalkan sejak awal anak belajar musik.
Kemampuan “berbahasa musik”, diawali dengan mendengar, sebelum kemudian menirukan. Seseorang harus memiliki pemahaman tentang notasi dan bagaimana mereka menggunakannya sebagai alat berkomunikasi. Kemampuan membaca dan menulis musik sangat berbeda dengan kemampuan membaca dan menulis dengan huruf atau abjad, tetapi keduanya memiliki kesamaan; bahwa untuk memberikan makna dan arti pada sebuah kalimat, diperlukan skill tersendiri untuk merangkainya. Masalahnya adalah, seberapa jauh “bahasa musik” dalam pengertian benar-benar sebagai sebuah bahasa, telah diajarkan di sekolah sekolah musik, formal maupun informal?
Sammy Miller, drummer nominasi Grammy dan pendiri sekolah musik di New York, dalam artikelnya We’re Teaching Music to Kids All Wrong di The New York Times, mengatakan bahwa sebagian besar guru musik telah gagal mengajarkan “music as a language”.
“Sering dikatakan bahwa musik adalah sebuah bahasa, namun kita enggan mengajarkannya seperti itu. Saat kita mempelajari suatu bahasa, kita tidak sekadar menghafal frasa atau menghabiskan sepanjang hari dengan membaca. Kita berlatih bahasa tersebut bersama-sama, berbagi, berbicara. Kadang kita tersandung, namun pada akhirnya menemukan cara untuk terhubung,” katanya.
Kata Miller, banyak pengajar musik terjebak pada persoalan teknis, dan ambisi-ambisi pribadi yang kadang di luar konteks “pengajaran bahasa”. Akibatnya, murid terjebak pada “bagaimana memainkan alat musik dengan baik”, bukan “bagaimana anak berkomunikasi dengan baik melalui alat musik”. Maka tak heran jika banyak anak-anak yang bersemangat di awal mereka belajar, namun frustasi di tengah jalan, yang akhirnya berhenti belajar musik.
Miller mengatakan, perlu mulai dipikirkan kembali cara mengajarkan musik dari awal, baik di rumah maupun di kelas. Tanggung jawab ada pada orang tua dan pendidik untuk membesarkan generasi penerus musisi yang tidak hanya demi musik, namun juga untuk membangun kehidupan pribadi yang lebih kaya dan bersemangat bagi anak-anak kita serta dunia yang lebih indah dan ekspresif.
“Jangan sampai kita menemukan anak-anak yang pandai memainkan alat musiknya tapi tidak mengerti apa yang sedang dimainkan. Ibaratnya, pandai bicara tapi tidak tahu apa yang dibicarakan. Bagaimana mungkin orang lain akan mengerti apa yang dibicarakan?” kata Miller.
Salam Musik
Eddy F. Sutanto (Pimpinan Redaksi STACCATO)