Disorientasi dan Frustasi Ancaman Musisi

391

Article Top Ad

Pernahkah Anda merasa frustasi dengan diri sendiri? Apakah Anda merasa  tidak seperti seorang musisi sebagaimana yang Anda inginkan? Apakah Anda merasa permainan musik Anda tidak sebaik yang Anda harapkan? Apakah Anda merasa iri hati dengan musisi lain yang melakukan apa yang juga Anda lakukan? Apakah Anda merasa sulit meraih sesuatu yang Anda harapkan? Pernahkah Anda merasa tidak mempunyai ide dan tak mampu lagi berpikir jernih dalam bermusik?

Pertanyaan di atas bisa hinggap ke siapa saja, musisi professional maupun amatir, yang sudah mahir maupun yang sedang belajar. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu juga bisa hadir kapan saja. Pada titik rawan, bahkan bisa membuat seseorang tiba-tiba meninggalkan musik, karena ia melihat tak ada harapan.

“Jika Anda merasakan perasaan seperti itu, untungnya Anda tidak sendirian. Yang paling baik adalah, Anda jangan mau terbawa oleh perasaan-perasaan negatif seperti itu. Ada banyak cara bagi Anda untuk memerangi bisiskan-bisikan negatif itu,” kata Thomas Hess, musisi yang juga mengajar musik di Texas.

Article Inline Ad

Dalam sejarah musik, komposer-komposer besar pun mengalami masa-masa dimana mereka berada dalam titik rawan: disorientasi dan keputusasaan, namun demikian, mereka mampu mengatasinya, meski dengan susah payah, dan menghasilkan karya-karya besar, yang bukan saja mencerminkan kehebatan musikalitasnya, tetapi juga mampu menggambarkan bagaimana effort mereka dalam bekarya, dan dalam menghadapi masa-masa sulit.

Ludwig von Beethoven misalnya. Komponis yang lahir tahun 1770 dan meninggal di tahun 1827 ini membutuhkan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun untuk menyelesaikan sebuah komposisi. Ia selalu merevisi berkali-kali sebuah komposisinya, sebelum ia benar-benar menyelesaikannya. Ia selalu membawa kertas dan alat tulisnya kemanapun ia pergi, mencatat sesuatu yang baru, memperbaiki sesuatu yang telah dibuat.

Begitu seterusnya, sehingga ia nyaris tak punya waktu untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan Mozart yang bisa menulis lagu dengan begitu mudahnya, Beethoven memerlukan perjuangan, daya pikir dan tenaga luar biasa untuk menyelesaikan sebuah lagu. Kadang-kadang ia merasa frustasi.

Bagi Beethoven, musik tidak hanya sekedar hiburan, tetapi sebuah kekuatan moral yang mampu membuat dan menghasilkan visi idealisme yang lebih tinggi. Musik Beethoven dengan langsung dan jelas merefleksikan kekuatannya, sekaligus mencerminkan pribadinya yang tersiksa, perjuangan hidupnya yang berat. Pada keduanya –baik dalam seni dan kehidupannya—perjuangan gagah beraninya dalam menghasilkan kemenangan, melebihi keputusasaan dan ketidakberdayaan.

Tuntutan Beethoven terhadap kesempurnaan sungguh-sungguh sebuah kerja keras, berat dan membutuhkan waktu lama. Tidak seperti Mozart, ia tidak bisa tergesa-gesa mengerjakan tiga symphoni agung dalam enam minggu. Kadang-kadang ia mengerjakannya selama setahun untuk sebuah symphoni, dalam selama periode itu ia menulis karya-karya lain. Beethoven membawa buku kemana-mana untuk membuat sketsa musik, menulis ide-ide baru, memperbaiki atau menghapus ide-ide lama.

Tulisan-tulisan awalnya di buku-buku yang ia bawa biasanya kasar dan menunjukkan ketidakbergairahan ketika dibandingkan dengan hasil akhir karya-karyanya, yag menunjukkan sebuah pekerjaan berat dan besar. Masa-masa sulit dalam kehidupannya adalah ketika ia menderita ketulian pada telinganya. Bagi seorang pianis dan komposer, hal itu merupakan malapetaka yang mengerikan.

Oleh sebab itu, ia berhenti tampil sebagai pianis selama 13 tahun sebelum kematiannya. Ia terjatuh dalam keputusasaan dan begitu frustasi dengan keadannya. Toh dalam kondisi sulit seperti itu ia menghasilkan karya-karya agung.

Johannes Brahms, lahir tahun 1833 dan meninggal tahun 1897, juga salah seorang komposer yang hidupnya penuh dengan hal-hal tragis dan dramatis. Ia pernah merasa begitu frustasi dengan kemampuannya dalam membuat komposisi. Betapa tidak? Selama 21 tahun sejak ia membuat symphony yang pertama, ia tak mampu lagi membuat satu symphony pun.  Sama seperti Beethoven, ia kesulitan dengan dirinya sendiri. Yang ia lakukan sekedar memperbaiki, membuang, merevisi, memulai lagi symphony lamanya dan sebagainya, tanpa pernah berhasil membuat sesuatu yang baru.

Komposer yang mendapat julukan “Master of Symphonies”, Gustav Mahler, bahkan lebih tragis. Ia juga mengalami masa-masa sulit dengan dirinya sendiri, sehingga ia membuat dirinya nyaris frustasi. Komposer kelahiran tahun 1860 dan meninggal tahun 1911 ini, hanya bisa merevisi sinfoni-sinfoninya serta karya-karya lain, setelah ia merasa ragu dengan kemampuannya sendiri untuk menghasilkan karya-karya orisinalnya. Mahler hanya bisa merevisi karya-karya, sampai ia meninggal.

Jean Sibelius, salah satu komposer besar juga berhenti membuat komposisi selama kurang lebih 30 tahun karena ia merasa kehabisan ide-ide musikal yang baru. Ia meragukan kemampuannya untuk membuat apapun yang bermanfaat, justru saat dia berada di puncak popularitas. Ia mencoba membuat ide dan gagasan baru menulis dan membuat sketsa ide-idenya sepanjang hari, tetapi kemudian membuangnya. “Apa yang dihadapi para komposer besar itu merupakan situasi dan kondisi frustasi gawat,” kata Thomas Hess. (eds)

 

Article Bottom Ad