Dr. NATHANIA KARINA

1464

Article Top Ad

DR. Nathania Karina
IDEALIS TAPI REALISTIS

BAGI Dr. Nathania Karina, memilih musik sebagai pilihan hidup adalah sebuah pertaruhan besar. Dia harus bisa meyakinkan ayahnya yang tidak setuju dirinya berkarier di musik. Sepuluh tahun belajar musik di luar negeri, sosok murah senyum ini kembali ke Indonesia dan membuktikan pilihannya di musik adalah juga jalan hidupnya. Berikut bincang singkatnya di Steinway Family Story

Bagaimana masa kecil Anda dan bagaimana Anda terhubung dengan musik?
Masa kecil saya boleh dibilang normal, dalam arti seperti kebanyakan anak kecil lainnya, tumbuh dalam keluarga yang memberikan kesempatan untuk berkembang dan menerima pendidikan yang memadai dimana saya bisa mengekspresikan semua potensi yang saya miliki. Saya sendiri bukan datang dari keluarga musisi. Tapi sejak saya kecil, ibu saya menginginkan saya belajar musik. Tapi karena waktu itu kami tinggal di kota kecil di Jawa Tengah, belum ada akses dan sarana untuk belajar musik yang memadai. Akhirnya waktu kami pindah ke Jakarta, kesempatan untuk belajar piano itu terbuka lebar. Waktu itu umur 4 tahun saya didaftarkan di sebuah sekolah musik untuk belajar piano, dan dari situ berkembang terus, nggak pernah berhenti, sampai saya lulus SMA dan kemudian memutuskan untuk belajar musik ke jenjang yang lebih tinggi. Saya belajar dengan banyak guru seperti Aida Lingga, Ita Lingga, dan guru piano saya ibu Kusumawati Halim. Ada juga ibu Vera Soeng dan Ferdinan Marsa. Saya hutang budi sama mereka. Saya juga beruntung banget bahwa saya dikelilingi guru-guru hebat yang bukan saja memberi ilmu bermain piano, tetapi juga meyakinkan saya untuk memilih musik dengan belajar ke jenjang yang lebih tinggi

Article Inline Ad

Bagaimana ceritanya bisa belajar ke luar negeri?
Sebenarnya saya nggak ada niatan untuk menjadi musisi. Semula begitu lulus SMA niatnya mau jadi insinyur. Waktu itu bahkan sudah dapat sekolah bagus. Niat itu perlahan berubah waktu guru piano saya ibu Kusumawati Halim membuka wawasan saya tentang kuliah di jurusan musik. Beliau mengatakan, “Kenapa nggak ambil musik saja seperti saya? Main piano kamu kan bagus”. Kebetulan beliau memang lulusan Jerman. Waktu itu saya bingung juga. Masa sih kuliah musik? “Iya,” kata guru saya. “Coba kamu pikir deh, kalau kerja kantoran gajinya berapa. Apalagi cewek. Kalau kamu ngajar musik kamu bisa dapat lebih,”. Waktu itu saya tidak berpikir bahwa musik bisa menjadi salah satu opsi untuk diseriusin. Guru saya itulah yang membuka wawasan saya. Dia memberikan jalannya juga, dan saya sangat beruntung bahwa pendidikan yang mereka berikan pada saya, cukup untuk saya, yang last minute, berubah pikiran yang tadinya mau kuliah teknik akhirnya berubah ke musik

Bagaimana dengan orangtua Anda tentang pilihan Anda di musik?
Terus terang memilih musik itu juga sebuah pertaruhan yang berat bagi saya. Terutama saat berhadapan dengan ayah saya. Beliau menginginkan saya meneruskan ke teknik. Jadi insinyur. Wajar karena beliau tahu saya termasuk siswa berprestasi dari sekolah unggulan yang rata-rata muridnya pintar-pintar. Ayah saya meminta untuk kuliah yang bagus di tempat yang bagus. Ayah tanya kenapa harus di musik? Menurut beliau, kuliah di musik nantinya sama saja jadi pengamen. Main-main di televisi. Karena waktu itu informasi tentang kuliah musik sangat terbatas, dan saya juga tidak punya preferensi yang cukup tentang seperti apa masa depan lulusan musik, saya pun tidak bisa meyakinkan ayah. Dan yang paling krusial, saya memutuskan untuk meneruskan ke musik itu di last minute. Wajar jika ayah sempat tidak setuju dengan niat saya meneruskan ke musik. Nah waktu itu guru saya yang memberi pengertian ke orangtua saya bahwa tidak benar lulusan perguruan tinggi musik nantinya kerjanya jadi pengamen, atau seperti mereka yang main di TV itu. Jurusan musik juga bukan bidang yang mudah dipelajari. Peluang untuk berkarier juga terbuka luas. Akhirnya ayah saya memahami dan mengatakan, ‘Ya sudah…kalau kamu memang ingin kuliah musik, harus bagus dan di tempat yang bagus’.

Apakah hanya karena saran guru Anda yang menyebabkan ayah Anda luluh dengan pilihan Anda?
Saya pikir bagaimanapun juga orangtualah yang paling ngerti tentang anaknya. Dan saya kira, orangtua saya, khususnya ayah, sangat paham karakter saya. Jadi ketika saya kukuh memilih meneruskan ke musik, akhirnya ayah bilang, “ kalau itu yang memang kamu inginkan, jadilah yang terbaik nantinya”. Yang sungguh-sungguh. Jangan setengah-setengah. Dan itu yang kemudian menjadi motivasi kuat bagi saya dalam belajar musik, dan sekarang saya bisa tunjukan ke orangtua bahwa saya bisa hidup dengan musik. Dengan pilihan saya. Yang kedua, orang kadang ragu bisa karena memang minim informasi. Saya bisa memahami keraguan ayah karena beliau tidak memiliki informasi yang komprehensif tentang dunia musik klasik, studi dan prospeknya. Jadi saya hutang budi pada ibu Kusumawati Halim yang memberikan pandangan kepada ayah saya tentang pilihan saya, apalagi kemudian saya berhasil diterima di perguruan tinggi yang bagus juga, sehingga mengubah pandangan ayah saya

Bagaimana proses belajar musik Anda di perguruan tinggi?
Waktu itu tahun 2003 informasi tentang kuliah musik di luar negeri masih terbatas, saya mencari informasi kemana-mana, sampai akhirnya saya tertarik pada perguruan tinggi yang memberikan beasiswa. Lalu saya mencoba mendaftar, dan diterima di National University of Singapore mengambil jurusan musik. Setelah lulus saya meneruskan di The University of Melbourne dibimbing pianis Glenn Riddle dan meraih Master of Music di bidang Piano Performance and Music Education pada 2009. Kemudian saya mengambil program doktoral di Boston University dan lulus dengan gelar Doctor of Music Arts in Music Education tahun 2017

Pengalaman apa yang Anda dapatkan selama belajar musik di luar negeri?
Bagi saya pergi kuliah ke kampus yang bagus, saya rasa bukan masalah keluar negerinya karena di dalam negeri juga sekarang pun sudah banyak yang bagus, tapi tahun 2000 –an itu kan memang di Indonesia belum banyak. Jadi pergi ke luar negeri itu buat saya ibaratanya melihat dunia. Dan melihat dunia itu bisa tampak baik, bisa juga buruk. Buruknya barangkali, di Indonesia mungkin kita merasa sudah oke, merasa sudah tinggi. Ketika di luar negeri kita melihat ternyata langit lebih tinggi lagi. Melihat langit yang tinggi ini bisa berarti dua hal. Pertama, bisa kita jadikan acuan untuk makin berkembang karena langitnya tinggi banget, atau kedua, bisa mau menyerah di sana. Perasaan menyerah ini saya rasa siapapun pernah berada di kutub itu karena saingannya memang terlalu berat, jam latihannya banyak banget. Belum lagi realitas bahwa mungkin selama ini kita main piano sebagai hoby, tapi di sini, di luar negeri jadi makanan setiap hari. Jadi pasti ada unsur kagetnya juga. Makanya kesiapan mental penting banget dalam hal ini, karena unsur menyerah dalam hal ini besar banget

Anda sendiri bagaimana menghadapi realitas seperti itu?
Sempat kaget juga sih, tapi kalau untuk menyerah, no! Saya sudah pertaruhkan semua ini dengan keluarga saya, dan saya telah mengorbankan keinginan orangtua. Saya tidak boleh menyerah karena ini telah menjadi pilihan saya. Apapun yang terjadi, ya harus diselesaikan dengan baik

Tapi pernah dong mengalami hal-hal yang dirasa berat?
Tentu saja. Yang jelas sih culture shock. Semuanya harus dilakukan dan dihadapi sendiri. Awalnya berat memang, apalagi saya perempuan. Tetapi pada akhirnya saya berpikir bahwa semua itu bagian dari resiko sekaligus tantangan yang harus saya hadapi ketika memutuskan untuk belajar di luar negeri. Dan ternyata, jika hal itu diterima dengan ikhlas, akan mendewasakan kita

Setelah 10 tahun Anda belajar di luar negeri, apa yang mendorong Anda kembali ke Indonesia?
Tadinya sih nggak mau pulang hehehe….Saya sebenarnya masih ingin banyak belajar dan cari pengalaman di luar negeri, tapi lalu terpikir oleh saya kenapa ya di Indonesia tidak ada system pendidikan musik yang sama bagusnya dengan di luar negeri. Lalu tantangannya adalah, kalau bukan saya, berarti siapa nih yang akan memulai? Saya berpikir, kalau saya di Indonesia, ada kemungkinan untuk merubah dan melakukan sesuatu yang baik. Di luar negeri sistemnya kan sudah establish. Kita tinggal ngikutin alurnya saja. Kalau di Indonesia, ya saya bisa untuk menjadi orang yang membawa perubahan. Mungkin mulainya dari situ sih kenapa saya balik ke Indonesia

Dengan obsesi seperti itu, bagaimana realitas dan kondisi riil di Indonesia? Adakah kesenjangan yang Anda rasakan antara idealisme dan kenyataan sebenarnya?
Pasti ada. Awalnya saya frustasi banget, seperti saat saya mengajar di kampus di Jakarta. Hampir setiap hari saya marah, kenapa harus begini, kenapa harus begitu sih…Sampai-sampai mama saya juga ikut sebel hahaha…Dulu misalnya, orang Indonesia nggak terbiasa pakai e-mail, sementara saya terbiasa berkomunikasi lewat e-mail. Nah ini kadang e-mail saya sering gak dibalas, gimana gak jengkel. Dan, banyak hal lain yang menurut saya menjengkelkan. Intinya memang banyak hal kontradiktif yang saya hadapi, antara apa yang saya harapkan, dan apa realitasnya. Tapi lama-lama saya jadi belajar, bahwa punya idealisme itu bagus, tapi yang terpenting adalah bagaimana hal itu dikondisikan supaya bisa diterima dan diakses orang Indonesia

Misalnya?
Dalam hal uang kursus misalnya. Dikalangan musisi sering terjadi komplain. Di Indonesia guru musik mungkin satu jam dibayar 300 ribu, sementara kalau di luar negeri, saya bisa dapat 50 dollar per jam. Saya rasa kalau terus berkutat di masalah itu, kenapa saya gak bisa dapat seperti di luar negeri, nggak akan selesai, karena sudah jelas living cost di Indonesia beda dengan di luar negeri. Di sini dengan 25 ribu sudah bisa makan enak di warteg. Sudah lebih dari cukup. Dengan 300 ribu per jam di Indonesia, saya pikir cukuplah. Nah itu yang harus dimengerti sebelum pulang ke Indonesia. Jadi nggak mungkin dong kita ngajar di Indonesia tapi minta di bayar seperti di luar negeri. Hal itu bukan kita menjadi tidak idealis. Menurut saya, menyesuaikan idealisme itu dengan ilmu yang kita punya, bukan dengan hal-hal yang itu tadi, kenapa saya gak dibayar sesuai dengan yang diluar negeri, misalnya. Kita ini di Indonesia. Jadi harus ada yang disesuaikan, atau dilokalisasikanlah, dan itu bukan lalu menjadikan kita tidak idealis. Mungkin perspektif idealisme kita yang harus diubah dan disesuaikan. Oke kita idealis dalam segi mengajar misalnya. Tetapi untuk hal yang lain, ya harus dilokalisasi

Apakah semangat seperti itu yang menjadi idealisme Anda saat membangun Andante Music School?
Benar. Saya membangun Andante Music School ini dengan fokus pada pengajaran musik klasik dan pertunjukan orchestra yang berkualitas, dan bisa diakses siapa saja. Melalui Andante ini saya kira, saya bisa total menuangkan idealisme saya, gagasan dan ide-ide saya dalam prespektif pengajaran musik klasik yang berkualitas dan bisa diakses siapa saja.

Apa saran Anda untuk mereka yang saat ini belajar dan berkarier di musik?
Saran saya sih singkat aja, kerjakan dengan sungguh-sungguh apa yang kamu cintai. Jangan pernah menyerah untuk sesuatu yang kamu perjuangkan dan cita-citakan

Apa pendapat Anda tentang Steinway Piano?
It’s great piano. Saya selalu mendapat sensasi dan pengalaman baru setiap kali memainkan Steinway, walaupun telah ratusan kali memainkannya. Steinaway bisa merespon dengan baik dari musik yang kita inginkan. Very expressive. (*)

Article Bottom Ad