Haimada Kusuma:
“LELAH BOLEH, MENYERAH JANGAN”
Disarankan belajar ke Rusia oleh gurunya, Iravati M. Sudiarso, tapi karena faktor bahasa yang cukup berat, Harimada Kusuma memilih Conservatorium van Amsterdam, Belanda. Tak disangka, di Belanda ia justru bertemu dan belajar dengan Prof. Mila Baslawskaja, pianis dan guru piano hebat asal Rusia selama 6 tahun. Bagaimana liku-liku belajar di Belanda, berikut bincang singkatnya dengan pianis flamboyan ini.
Ceritakan masa kecil Anda dan bagaimana Anda terhubung dengan musik
Ketika saya masih kecil dan tinggal di Surabaya, kakak sulung saya saat itu sedang menekuni gitar klasik. Dari kakak saya itulah saya mengenal musik, bahkan ia mengajari saya beberapa teori dasar musik dan membaca not balok. Ibu saya saat itu juga aktif dalam kegiatan musik daerah di kantornya, saya sering menemani beliau ketika berlatih kolintang bersama teman-teman kantornya. Saya menghadiri resital piano pertama pada umur 5 tahun. Saya ingat pianis yang tampil saat itu Mariama Djiwa Jenie dan saya sangat terpukau dengan instrumen piano. Ketika keluarga saya pindah ke Jakarta, saya mengikuti les piano dibimbing guru pertama saya, Ibu Maria Fenty Alexander. Saya sering diajak menonton konser musik klasik di Jakarta oleh keluarga dari ibu saya yang memang pecinta musik klasik.
Adakah minat Anda ke bidang lain sebelum memilih musik, dan seberapa besar musik memberi keyakinan kepada Anda untuk berkarier di bidang ini?
Musik telah menjadi bagian penting dari hidup saya sejak saya belia. Pelajaran musik, khususnya piano, telah saya ikuti tanpa jeda sejak saya berumur 7 tahun hingga lulus dari Conservatorium van Amsterdam. Disamping itu, sejak masa remaja saya juga memiliki ketertarikan di bidang otomotif, namun hasrat untuk mendalami musik tetap yang terbesar. Musik secara natural telah menjadi elemen yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan sehari-hari saya. Segala bentuk aktivitas bermusik telah saya jalani, tidak hanya dari pelajaran piano dan konser-konser yang saya ikuti di Sekolah Musik YPM, namun juga dalam bentuk berbagai kegiatan seni yang saya ikuti di sekolah umum. Awalnya, ayah saya yang mendorong saya untuk melanjutkan studi musik setelah tamat sekolah, namun dua guru piano terakhir saya di Indonesia, Ibu Adelaide Simbolon dan Ibu Iravati M. Sudiarso, memperkokoh keyakinan saya untuk memilih musik menjadi jalan hidup saya. Kepercayaan dan dukungan yang mereka curahkan kepada saya menjadi landasan yang kuat bagi saya untuk terus belajar dan berkembang melalui musik hingga saya memutuskan untuk belajar di negeri Belanda.
Bagaimana Anda bisa belajar musik di Belanda?
Ketika memutuskan untuk terus belajar musik setelah lulus SMA, Ibu Iravati M. Sudiarso, guru saya waktu itu, sebenarnya menyarankan saya untuk belajar di Rusia. Namun kendala bahasa yang waktu itu saya rasa cukup berat, serta usia saya yang sudah cukup matang untuk melanjutkan studi musik, membuat saya harus memilih negara lain sebagai tempat tujuan belajar musik. Kebetulan, pada saat itu Sekolah Musik YPM sedang merayakan hari jadi ke-50 tahun dan saya diberikan kesempatan untuk menjadi bagian dari perayaan tersebut dalam bentuk resital tunggal di Erasmus Huis, Jakarta. Dari beberapa sesi latihan serta konser di Erasmus Huis saya belajar banyak mengenai pendidikan musik di Belanda dan pilihan saya pun jatuh pada negara tersebut. Namun demikian, di Belanda ternyata saya mendapat seorang guru Rusia yang membimbing saya selama 6 tahun saya bersekolah di sana. Saya melihat hal tersebut sebagai sebuah keberuntungan karena impian tante Iravati agar saya mendapat pendidikan piano dari guru Rusia juga terkabulkan, walaupun saya belajar di negeri Belanda.
Apa tantangan dan kendala di tahun awal Anda belajar di Belanda, dan bagaimana Anda menyesuaikan diri?
Jujur, seingat saya, tidak banyak kendala yang berarti. Saya sangat menikmati keberadaan saya di Belanda, dan dalam waktu singkat saya dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan di sana. Bertemu dengan sesama pelajar musik dari berbagai negara merupakan pengalaman unik yang sangat memperkaya wawasan saya terhadap musik dan arti musik itu sendiri dalam kehidupan manusia. Bahwa musik merupakan suatu elemen yang universal, semakin saya rasakan ketika berbincang atau bermusik bersama sesama pelajar musik dari seluruh penjuru dunia.
Setelah beradaptasi di lingkungan baru, perubahan apa yang Anda rasakan, secara pribadi maupun sosial?
Selama belajar musik di Indonesia, saya diajarkan agar menilai sesuatu selalu dari sisi baik dan positifnya dulu. Hal tersebut terbawa hingga saya belajar di Belanda. Namun demikian, perbedaan budaya serta pola pikir di negeri Belanda menuntut saya untuk menjadi lebih kritis dan objektif terhadap diri sendiri dan sekitar, sehingga saya harus lebih tanggap dan cermat dalam menilai baik-buruknya suatu hal yang dapat mempengaruhi kehidupan saya, baik itu dalam bermusik ataupun bermasyarakat.
Menurut Anda, apa manfaat belajar di luar negeri?
Manfaat terbesar bagi saya adalah kemandirian yang sangat terasah, baik sebagai manusia dalam kehidupan sehari-hari ataupun sebagai musisi. Kemampuan adaptasi dengan lingkungan baru pun meningkat, karena di sana saya harus mampu mengikuti tata cara kehidupan masyarakat setempat dan juga berkolaborasi dengan musisi dari berbagai negara dengan beragam karakter. Selain itu, karena saya belajar di Eropa, saya dapat lebih memahami latar belakang dari perkembangan dan sejarah musik klasik yang saya tekuni, karena memang musik klasik berasal dari Eropa. Contohnya, dengan mengunjungi berbagai situs bangunan, gereja tua dari jaman Barok di Belanda dan Jerman, saya jadi lebih memahami bagaimana menginterpretasikan musik jaman Barok dengan kekokohan pulsasi serta keindahan ornamentasinya. Dengan mengunjungi beberapa tempat di pedalaman Perancis dan berbaur dengan warga setempat, saya jadi lebih memahami bagaimana menginterpretasikan musik Perancis dengan cita rasa yang tepat. Hal-hal seperti ini yang sampai saat ini sering saya ceritakan ke murid-murid saya.
Apa yang sebaiknya dilakukan saat belajar dan tinggal di luar negeri, jauh dari orangtua?
Sebisa mungkin tetap menjalin kontak dengan orang tua dan keluarga. Saya ini termasuk generasi millenial ‘batch’ awal, sehingga pada saat saya belajar di luar negeri, perkembangan teknologi sedang pesat-pesatnya. Di tahun pertama, saya masih harus beli kartu telepon untuk kontak dengan orang tua. Di tahun berikutnya sudah bisa lewat Skype berbayar, lalu ada MSN/Yahoo Messenger, kemudian muncul WhatsApp dan berbagai media sosial. Seluruh fase itu saya lalui ketika saya tinggal di Belanda, hingga lama kelamaan komunikasi dengan keluarga di Indonesia menjadi sangat mudah. Hal ini seharusnya bukan menjadi kendala bagi mahasiswa masa kini yang tinggal di luar negeri.
Apa pengalaman berkesan dan memberi pembelajaran pribadi selama Anda belajar dan tinggal di luar negeri?
Mungkin yang paling berkesan adalah hubungan interpersonal antara saya dengan guru saya di Belanda, Prof. Mila Baslawskaja. Beliau adalah pianis Rusia yang hijrah ke Belanda di akhir tahun 70-an dan masih memiliki karakter seorang musisi Rusia seutuhnya. Beliau mendidik dengan disiplin teknik tinggi serta arahan artistik yang sangat dalam, sehingga setiap pertemuan dengan beliau merupakan tantangan berat bagi saya baik secara fisik maupun mental. Berbeda dengan para guru saya di Indonesia, beliau sangat jarang, bahkan mungkin tidak pernah melontarkan kata-kata pujian setiap kali saya berhasil mencapai kematangan teknik ataupun musikalitas tertentu. Bahkan kadang saya merasa, saya merupakan salah satu murid terbodoh yang beliau miliki. Namun demikian, ada rasa kasih sayang dan perhatian besar yang selalu saya rasakan dari pengajaran beliau yang tidak kenal kata lelah, bahkan kadang hingga larut malam atau diluar jam pelajaran sekalipun. Hingga tiba saat saya mengikuti kelas terakhir dengan beliau di rumah beliau sesaat sebelum saya harus menampilkan ujian akhir untuk program master saya dalam bentuk resital, tak terasa air mata berlinang sepanjang perjalanan pulang dari rumah beliau mengenang betapa banyak hal yang telah saya pelajari dan peroleh dari beliau, tidak hanya dalam keterampilan bermain piano dan kematangan bermusik, namun juga dalam bagaimana membentuk dan menemukan jati diri saya sebagai musisi seutuhnya. Ketika saya menampilkan resital kelulusan saya di Bernard Haitinkzaal, Conservatorium van Amsterdam, setelah karya terakhir selesai saya mainkan (sebuah piano sonata karya G. Enescu) dan sebelum para hadirin sempat bertepuk tangan, beliau berseru, “Bravo, Mada!” dan diikuti oleh gemuruh tepuk tangan para hadirin. Sebuah pujian yang paling berharga yang masih tersimpan di hati saya hingga saat ini. Tepat pada momen itu saya menemukan jawaban dari keraguan saya selama ini, serta intisari dari pengajaran beliau selama bertahun-tahun. Saya belajar bahwa validasi atau pujian dari orang lain bukanlah tujuan atau esensi dari kegiatan bermusik itu sendiri. Saya pun belajar, bahwa pujian tidak harus dalam bentuk kata-kata yang manis dan menyenangkan, namun kepercayaan atas seluruh usaha saya dan dedikasi yang beliau berikan kepada saya selama bertahun-tahun tanpa saya sadari merupakan suatu hadiah yang tak ternilai harganya.
Bagaimana Anda menyikapi kenyataan ketika ternyata banyak orang-orang yang lebih bertalenta dibanding Anda, saat Anda belajar di luar negeri?
Dalam hal bermusik, saya menilai diri saya tidak terlalu kompetitif. Saya justru senang melihat banyak sekali talenta di sekitar saya yang lebih bersinar dan justru dapat menginspirasi serta memotivasi saya untuk selalu memberikan yang terbaik dari diri saya melalui musik. Saya masih ingat saat dimana saya pertama kali mengikuti group lesson di Conservatorium van Amsterdam. Saya sangat terpukau dengan kepiawaian para murid dalam menampilkan karya yang mereka telah pelajari. Saya yakin, bila saya selalu terpapar oleh talenta-talenta yang lebih bersinar dari saya, saya akan selalu termotivasi untuk dapat berproses dan berkreasi seperti mereka dengan cara saya sendiri. Tidak hanya di luar negeri, di Indonesia banyak sekali pianis yang sangat inspiratif dan mengagumkan bagi saya. Tidak hanya musisi papan atas, namun juga pianis generasi muda yang banyak bermunculan di berbagai kesempatan. Sangat menyenangkan.
Kesadaran seperti apa yang membuat Anda yakin mampu bersaing di bidang yang sama?
Saya tidak menganggap bermusik sebagai sebuah persaingan, melainkan sebuah aktivitas yang justru saling mengisi dan melengkapi sesama pelaku musik itu sendiri. Setiap individu itu unik, setiap musisi memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki musisi lainnya. Saya rasa penting untuk dapat mengenali keistimewaan dari diri kita sendiri serta bagaimana menyikapi kekurangan yang ada pada diri kita sehingga kita dapat berkontribusi terhadap ekosistem musik yang ada di tengah masyarakat kita. Ekosistem musik klasik di Indonesia saya rasa masih berada dalam lingkup yang terbatas, namun terus bertumbuh sejalan dengan berkembangnya pendidikan musik berkualitas di negeri ini. Kontribusi kita, sekecil apapun, akan sangat berarti bagi perkembangan ekosistem musik klasik di Indonesia.
Bagaimana Anda memotivasi diri menghadapi situasi up and down selama belajar di luar negeri?
Saya selalu mengingat tujuan saya berada di luar negeri untuk belajar musik. Yang tadinya merupakan impian, sekarang menjadi kenyataan. Lelah boleh, menyerah jangan. Untungnya, saya tidak ingat memiliki momen ‘down’ selama belajar di Belanda. Namun memang kadang ada rasa jenuh, ragu, dan bertanya-tanya apakah memang benar ini jalanku? Kebetulan saya hobi bersepeda, dan Belanda merupakan surga bagi pecinta sepeda seperti saya. Kadang saya meluangkan waktu untuk bersepeda bersama beberapa teman dekat saya, seorang flutist asal Taiwan dan penyanyi soprano asal Belanda, dan di momen bersepeda itu kami sering berdiskusi dan saling memberi semangat mengenai berbagai kendala yang kami hadapi selama menempuh pendidikan menjadi seorang musisi.
Apa misi profesional Anda sebagai pianis dan guru musik?
Sebagai pianis, misi saya adalah untuk senantiasa berkontribusi secara optimal terhadap kelestarian serta perkembangan dunia musik klasik di Indonesia sesuai dengan kapasitas dan kualitas yang saya miliki sebagai pianis, yang tentunya akan terus saya kembangkan. Sebagai pengajar musik, saya ingin berkontribusi dalam pengembangan dan pembetukan karakter generasi muda Indonesia melalui pendidikan musik agar mereka dapat menjadi bagian dari masyarakat sebagai individu yang komplit dan matang, apapun profesi yang mereka jalani nanti.
Apa yang mendorong Anda kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliah musik Anda di luar negeri?
Sebetulnya, setelah lulus program Master of Music dari Conservatorium van Amsterdam, saya sempat tinggal di kota Rotterdam selama 5 tahun untuk bekerja sebagai guru musik di sebuah sekolah, serta sebagai enterpreneur dan concert organisator. Salah satu kegiatan terbesar saya adalah sebuah festival chamber music yang saya adakan selama tiga tahun terakhir saya tinggal di Belanda, dimana saya mengorganisir lima hingga enam konser per tahun. Secara keseluruhan, saya tinggal selama 12 tahun di negeri Belanda. Namun peraturan imigrasi dan ijin kerja yang semakin rumit serta iklim perpajakan untuk seorang enterpreneur yang kurang kondusif saat itu, membuat saya akhirnya memutuskan untuk kembali dan berkarya di Indonesia.
Apa yang Anda harapkan dari anak-anak muda kita yang saat ini belajar di luar negeri?
Selalu berpeganglah pada tujuan untuk bermusik dan belajar musik. Tidak hanya sekedar ikut-ikutan. Kuliah musik menuntut tanggung jawab, kedisiplinan, serta refleksi diri yang tinggi. Kita tidak hanya dituntut untuk mengikuti kegiatan perkuliahan reguler, namun juga kemandirian dalam berlatih serta inisiatif kita untuk mengembangkan diri dalam bentuk kehadiran di konser-konser ataupun kegiatan kebudayaan atau kesenian lainnya yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kita dalam belajar musik. Kita harus siap mental karena pasti akan menemui orang-orang yang lebih bertalenta dari kita. Membandingkan diri dengan orang lain boleh, asal tujuannya untuk memotivasi diri sendiri.
Apa saran dan pesan Anda kepada mereka yang berniat melanjutkan belajar musiknya di luar negeri?
Belajar musik, apalagi di luar negeri di sebuah konservatorium, menuntut tidak hanya bakat dan minat yang besar, namun juga kemandirian berlatih yang tinggi serta kemauan untuk terus mengembangkan diri diluar latihan sehari-hari. Harus ada kesadaran akan hal itu. Sudah semakin banyak generasi muda yang belajar musik di jenjang ini sehingga kita harus lebih dapat mengenali potensi yang ada dalam diri kita masing-masing dan mengembangkannya secara optimal sehingga kita dapat menjadi musisi yang memiliki karakter dan keistimewaan tersendiri. Ada sebuah perkataan dari salah satu pianis idola saya, Martha Argerich. Dulu, pianis hebat kelas dunia tidak banyak, namun masing-masing memiliki ciri khas menonjol yang membedakan satu artis dengan artis lainnya. Di masa kini, banyak pianis bagus yang bertebaran, namun mereka hampir ‘sama bagusnya’ alias kurang memiliki ciri khas atau keistimewaan yang menonjol.
Apa pesan Anda kepada anak-anak muda kita yang sedang belajar musik dan berkarier di luar negeri?
Tetap menjadi diri sendiri dan mempertahankan keunikan karakter masing-masing individu dalam mengembangkan skill bermusik baik secara teknis maupun artistik. Dengan maraknya kecanggihan teknologi jaman sekarang, akses ke berbagai video dan recording semakin instan sehingga kita semakin mudah tergiur untuk mereplikasi artis-artis idola kita dan cenderung lupa bahwa kita pun, sebagai musisi individual, juga dituntut untuk dapat menyajikan produk seni yang sarat dengan identitas diri kita masing-masing agar setiap performance yang kita sajikan selalu istimewa dan unik.
Apa filosofi Anda, baik sebagai pribadi maupun musisi dan pengajar musik?
Menjadi diri sendiri. Hal tersebut merupakan sesuatu yang semakin lama semakin langka. Saya menilai kesuksesan dari seberapa bahagianya saya terhadap sesuatu yang saya lakukan atau sajikan di musik, bukan terhadap bagaimana orang lain menilai permainan saya. Tentu saja dalam menginterpretasikan musik, pengetahuan dan latar belakang sejarah dari karya yang kita mainkan memiliki peranan penting terhadap interpretasi yang kita bentuk, disamping juga kematangan teknis dan musikalitas yang mumpuni. Namun pada akhirnya, bila kita merasa bahagia dan percaya bahwa kita telah menyajikan yang terbaik dari diri kita, hal itulah yang menjadi tolok ukur kesuksesan saya sebagai penampil. Ini juga selalu saya tekankan pada para murid saya.
Bagaimana pendapat Anda tentang mengikuti kompetisi piano? Apa manfaat dan keuntungannya?
Dari pengalaman saya sebagai guru dan juga juri berbagai kompetisi piano di Indonesia, ada banyak alasan mengapa seseorang mengikuti kompetisi piano. Ada orang tua yang ingin mengumpulkan piala dan sertifikat untuk anaknya, ada juga guru yang ingin meningkatkan ‘value’ dari pengajarannya dan menjadikan kemenangan para muridnya di berbagai kompetisi sebagai salah satu tolok ukur. Sah-sah saja. Namun bagi saya pribadi, manfaat terbesar dari sebuah kompetisi adalah sebagai ‘self-assesment’ atau evaluasi diri setiap peserta akan kemajuan dan perkembangannya dalam proses belajar musik dan juga sebagai pemetaan tingkat kemampuan peserta pada suatu lingkup atau kategori tertentu. Tentu saja, semakin tinggi reputasi kompetisi tersebut, semakin sah atau valid evaluasi diri yang saya sebut tadi. Pilihlah kompetisi dengan kualifikasi yang mumpuni, dengan juri yang kompeten, dan tentunya dengan penyelenggara yang sudah terbukti berhasil dalam mengorganisir kompetisi piano yang berkelas.
Bagaimana pendapat Anda mengenai piano Steinway?
Sebagai pianis profesional, kita dituntut untuk selalu dapat beradaptasi dengan berbagai macam instrumen yang harus kita mainkan di berbagai kesempatan sehingga kita dapat mempersembahkan yang terbaik. Harus diakui, piano Steinway selalu membuat proses adaptasi tersebut sangat mudah dan natural. Saya mendapati adanya koneksi emosional antara saya sebagai pianis dan sebuah Steinway, karena Steinway sangat dapat mengakomodasi berbagai elemen teknis dan artistik yang ingin saya curahkan melalui penampilan saya. Ketika saya tinggal di Belanda, hampir setiap hari saya berkesempatan untuk berlatih atau tampil di atas sebuah Steinway, baik di konservatorium maupun di beberapa venue konser. Untuk berlatih, Steinway favorit saya adalah model B, karena touchnya yang sangat responsif dan sensitif serta warna suara yang bulat, hangat namun juga artikulatif. Untuk tampil pada sebuah konser, tentu kekayaan warna suara disertai kedalaman touch yang dimiliki Steinway model D menjadi idaman para pianis seperti saya. Saya sangat beruntung, bahwa kini setelah menetap di Indonesia, saya pun berulang kali mendapat kesempatan untuk tampil menggunakan piano Steinway, baik sebagai solis dengan orkestra maupun dalam format piano solo dan chamber music. (*)