Hikmah Komposer

13

Article Top Ad

KITA akan bicara tentang hikmah dalam carut marutnya ranah musik. Hikmah ya. Bukan Hikmat. Ohhh… beda ya, Pak? Ya. Sangat beda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hikmah diberi batasan leksikografi sebagai: hikmah/hik·mah/ n 1 kebijaksanaan (dari Allah): kita memohon — dari Allah Swt.; 2 sakti; kesaktian: — kata-kata; 3 arti atau makna yang dalam; manfaat: wejangan yang penuh –;berhikmah/ber·hik·mah/ v 1 berguna; bermanfaat; 2 memiliki kesaktian (kekuatan gaib dan sebagainya). Wah maknanya banyak dan luas banget yaaa…

Gini lah. Kita ambil satu contoh mudah saja. Misal dalam kalimat: semua kejadian itu pasti ada hikmahnya. Dengan pemaknaan sebagaimana saripati kalimat semacam itulah kita akan menarik hikmah dalam ranah musik. Perjalanan kita akan mulai dengan menjenguk Johan Sebastian Bach. Seorang komposer yang sangat luar biasa. Lebih dari berbakat. Lebih dari Jenius. Bach mungkin adalah manusia penggubah musik paling hebat sepanjang napak tilas kehidupan manusia. Karya nya abadi karena memang begitu layak untuk diabadikan.

Satu hal yang unik adalah, bahwa Bach semasa hidupnya bukanlah seorang Megastar. Hidupnya jauh dari Glamour. Jauh dari histeria puja puji massa seperti misalnya Franz Liszt. Bach sangat bersahaja. Profilnya juga tidak flamboyan sebagaimana misalnya Nicolo Paganini. Iya pun tidak elegante bergaya priyayi sebagaimana Mendelssohn. Bach juga bukan pemusik eksentrik sebagaimana Mozart. Bach biasa saja sebagai manusia.

Article Inline Ad

Bach itu tidak macam-macam. Sepanjang hidupnya ia nyaris tak pernah jalan-jalan, healing-healing ke luar kota. Pakaiannya juga itu itu saja. Makanannya juga bolak-balik Apple Struddle dan makanan Jerman ndeso yang sederhana. Hidupnya dapat dikatakan tertib.

Selain, tentu saja ini yang menarik, anaknya banyak. Benar-benar bukan Keluarga Berencana. Banyak orang yang heran dan tak habis pikir. Bagaimana bisa dengan anak segitu banyaknya, seorang Bach masih bisa menghasilkan komposisi musik yang luar biasa. Jawabannya: Gereja.

Ya. Bach ini peng-gereja yang setia. Ia bukan Katolik namun seorang Kristen Protestan. Ya sebetulnya fakta semacam itu tidaklah penting. Namun ya, faktual hal hal semacam itu masih sering disebut dan dinyatakan. Gereja itulah yang berfungsi sebagai living studio bagi Bach. Ia bisa menyepi dan berkonsentrasi serta bereksperimen dengan ide musikalnya. Bebas merdeka dari gangguan hiruk pikuk kikuk anak–anaknya.

Kehidupan
Bagi seorang Bach, bermusik adalah kehidupan itu sendiri. Ia cukup puas menjadi Kapelmeister atau Pemusik Gereja lokalan. Sesekali para bangsawan mengaguminya, mengetesnya sambil tentu memberinya uang. Tapi bukan itu yang membuat Bach menjadi akbar. Bach cukup puas dengan membuat musik untuk ibadah.

Setiap ibadah hampir selalu ada karya baru. Sampai disini, banyak orang yang mestinya bertanya. Lhooo…. misal nih ibadah nya Minggu, paling gak tuh musik baru kan baru ada Selasa atau Rabu. Trus Kamis, Jumat, Sabtu itu nyanyi latihan cuma tiga kali, mana bisa pak? Koor kami saja satu lagu untuk Paskahan a month blepotan pak. Padahal sudah lebih 10 tahun nyanyi lagu yang sama. Persoalannya, di jaman itu, musik adalah kesatuan jiwa bagi semua orang. Ya maklum lah. Belum ada Taktiktok. Belum ada Instagram. Belum ada Facebook. Belum ada Netflix. Jati diri orang diungkapkan melalui : Musik dan “kegiatan bikin anak”.

Begitulah, dengan kesederhanaan dan keteraturan hidupnya, Bach sebetulnya tidak punya kesempatan untuk menjadi tenar. Ia dikenal dalam kelas lokalan. Beruntung, karya-karyanya tersimpan cukup rapi. Tidak seperti misalnya, komposer nasional kita, Wage Rudolph Soepratman yang bahkan keluarga besarnya sangat kesulitan untuk mencari manuskrip karyanya.
Sampai di sini sebetulnya sulit bagi dunia untuk bisa mengenal musik Bach. Kemudian, tanpa disangka, munculah hikmah. Hikmah yang entah dari Sang Pencipta atau darimanapun. Ceritanya ada seorang pemusik sekolahan, ia adalah Felix Mendelssohn Batholdy. Kaya raya karena anak seorang bankir. Mendelsohn inilah yang melakukan penelaahan, eksplorasi sekaligus memperkenalkan karya Bach kepada seluruh dunia.

Hikmah Bagi Dunia
`Mendelssohn dan upayanya adalah Hikmah bagi ranah musik dunia. Dengan penemuan dan publikasi karya Bach, dunia sampai kita sekarang ini menjadi tahu tentang: Fuga sebagai teknik komposisi yang fantastis. Canon, teknik Counterpoint yang ditangan Bach menjadi sebuah entitas sangat canggih bahkan sampai jaman kita ini.

Dunia juga mengenal bagaimana ketrampilan keyboard dilatih dan diolah dengan karya karya Invention. Prelude-prelude kecil yang Panta Rei atau tak ada tanda istirahatnya. Dan yang lebih dahsyat lagi adalah Well Tempered Klavier 2 Jilid yang merupakan “Kitab Suci” musik untuk papan nada sampai hari ini.

Kita tinggalkan Bach, dan menelisik hikmah berikutnya yakni hikmah Gamelan bagi seorang Claude Debussy. Bapak Musik Kontemporer Indonesia Slamet Abdul Sjukur memaparkan bahwa komponis besar asal Perancis, Claude Debussy pernah terpukau oleh gamelan Sunda yang pertama kali didengarnya tahun 1889.

“Banyak yang salah kaprah mengatakan kalau Debussy terpengaruh gamelan Jawa, padahal yang didengarnya tahun 1889 itu gamelan Sunda,” kata Slamet dalam lokakarya “Debussy, Gamelan dan Salah Kaprah” di Gedung Kesenian Jakarta, 2013 silam.

Slamet menceritakan pada tahun 1889 di Paris, Perancis diperingati “l’exposition universelle” yakni peringatan 100 tahun Revolusi Perancis di penjara Bastille. “Saat itu adalah satu tahunnya Perancis menjadi sebuah Republik setelah lama menganut sistem monarki, saat itu Belanda juga diundang ikut merayakan, secara tidak resmi Belanda ikut berpartisipasi dengan memamerkan teh hasil perkebunan Parakan Salak, dan sebagai penggembiranya, orang-orang dari perkebunan tersebut bermain gamelan bersama beberapa penari,” kata Slamet. Karena orang Belanda kurang familiar dengan budaya Indonesia, maka mereka membawa gamelan Sunda dengan pengiring penari Jawa.

“Kalau di telinga kita yang orang asli Jawa ya tidak kolu (enak) liat tandak Jawa diiringi gamelan Sunda, tapi karena Belanda tidak tahu ya mereka kira sama saja,” katanya. Pada saat itulah, Slamet mengatakan, Debussy terkagum-kagum menyaksikan pertunjukan itu. Salah satu karya Claude Debussy yang mungkin familiar di telinga kita adalah lagu “Clair De Lune” yang dimainkan tokoh Edward Cullen dalam film Twilight.

Sejatinya, banyak yang bingung dengan pengaruh Gamelan terhadap karya Debussy. Banyak yang mempertanyakan: Gamelannya disebelah mana. Memang, tdak ada karya Debussy yang dengan vulgar memakai skala gendhing. Debussy terlalu pandai untuk melakukan hal- hal Kitsch semacam itu. Gamelan dia pakai sebagai idiomatika karyanya dengan tersamar.

Di dunia ini banyak kejadian yang membawa hikmah. Bahkan bencana dan wabah pun membawa hikmah. Tahun 1918, Rio De Janeiro Brazil, bagaikan kota mati. Saat itu adalah puncak Pandemi Flu Spanyol. Persis banget dengan pandemi Covid 19 jaman kita sekarang ini.

Saat itu, Sepak Bola yang menjadi kultur wajib orang Brazil, tutup. Bar tutup. Gedung bioskop tutup. Opera tutup. Kota mati. Keadaan mati ini ternyata menyemburatkan secercah hikmah. Ada pengusaha gedung bioskop yang coba coba nekad buka dengan pembatasan ketat. Tentu tidak ada yang mau bekerja. Film nya pun nggak ada yang diputar. Gedung bioskop tersebut diganti dengan musik yang bisa didengarkan dari luar gedung dengan sosial distancing. Pemusiknya adalah seorang remaja usia 22 tahun. Ia yang kemudian dikenal sebagai Pixinguinha (baca: Piksiguinya), sang pembaharu musik ChoroBrazil.

Hikmah pandemi Flu Spanyol di Brazil tak berhenti sampai di situ. Saat seorang Pixinguinha tertatih tatih memulai karirnya, di gang yang kumuh tinggalah seorang perempuan pelacur berdarah Polandia yang saat itu sedang hamil. Di tengah sulitnya keadaan akibat pandemi ia melahirkan seorang bayi lelaki. Bayi ini kemudian dunia mengenalnya sebagai Jacob De Bandolin. Salah seorang pendekar musik Choro yang membuatnya abadi bahkan hingga hari ini.

Dari mata rantai peristiwa bersejarah tersebut sebetulnya ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik dan permenungkan. Tentu saja itu jika anda semua sudi meluangkan waktu sejenak untuk jeda menscroll WA, Tik Tok dan Instagram. Bahwa musik sebagai entitas budaya adakalanya terhiasi ronanya oleh sebuah peristiwa. Peristiwa itu sendiri bisa bersifat kebetulan.

Namun apapun itu, musik mengajarkan pada kita tentang hakekat kehisupan itu sendiri. Bahwa Yang Maha Kuasa akan selalu memberi hikmah pada setiap peristiwa. Tergantung apakah naluri kita cukup peka untuk bertandang ataukah kita hanya sekedar hedon sebagai makhluk kekinian yang memaksa diri untuk bersosialisasi. (*)

Penulis: Michael Gunadi Widjaja
(Pemerhati Musik)

Article Bottom Ad