‘BERKARIER DI MUSIK HARUS KREATIF’
Siapa yang tak kenal dengan Ir. Purwacaraka? Musisi serba bisa, kreatif dan murah senyum ini akrab dipanggil Kang Purwa. Selain masih aktif berkarya, kang Purwa juga mengelola lebih dari 50 sekolah musik yang dibangunnya, Purwacaraka Music Studio (PCMS) di seluruh Indonesia. Berikut bincang singkatnya di Steinway Family Story, di sela kesibukannya yang padat.
Bagaimana masa kecil kang Purwa dan keterhubungannya dengan musik?
Sejak kecil aku terbiasa mendengar musik. Bapakku tentara yang lama ditugaskan di luar negeri. Aku sendiri lahir di Beograd, Yugoslavia. Dan karena cukup lama hidup di luar negeri, mungkin hal itu mempengaruhi ayahku dalam pengenalannya terhadap musik. Waktu pulang dari Jerman ayah membawa seperangkat audio seperti salon, piringan hitam dan pemutarnya merek Grundig, ada juga radio dan open real tape. Yang paling berpengaruh kepadaku mungkin piringan hitamnya. Aku sangat menyukainya. Pada umur 4 tahun, aku sudah bisa memutar dan mengatur sendiri piringan hitam itu. Setiap hari aku mendengarkan beragam jenis musik dari piringan hitam. Koleksi piringan hitam ayah lengkap, mulai dari musik Latin, Klasik, musik India, bahkan gamelan Bali juga ada, dan itulah asupan musik pertamaku.
Umur berapa kang Purwa mulai belajar musik?
Kira-kira umur 6 tahun. Ini adalah fase kedua dari perjalanan musikku dimana ayah waktu itu menilai aku berbakat main piano karena beliau melihat waktu kecil aku sering main piano secara imajiner di meja. Lalu ayah yang waktu itu berpangkat Kapten, membelikan piano bekas tahun 1966, harganya 27 ribu. Dengan piano sebesar lemari itulah aku memulai belajar musik klasik dengan Alfons Becalel, guru piano berkebangsaan Hongaria di Bandung. Lalu belajar dengan orang Belanda, belajar dengan ibu Lily Gunawan, dan beberapa guru lain sewaktu aku belajar organ. Selanjutnya aku lebih banyak mengembangkan permainanku secara otodidak.
Pengalaman apa yang menarik selama belajar piano?
Banyak sih. Tapi jika ada pengalaman yang kemudian membuka jalanku di musik adalah ketika aku diminta guruku untuk mencari buku karya Bach. Ceritanya, setelah cukup lama aku belajar piano, suatu saat guruku memerintahkan untuk mencari buku karya Bach, Prelude and Inventions. Jaman dulu cari buku itu sulitnya setengah mati, apalagi di Bandung. Akhirnya aku cari di Jakarta, masuk ke beberapa toko yang menjual buku dan alat musik. Nggak ketemu juga. Nah salah satu toko yang aku masuki itu di Mangga Besar, sebuah toko yang jual electone organ. Jaman dulu itu kan barang baru yang lagi ngetop. Banyak merek yang dipasarkan. Bukunya nggak dapat, tapi aku dapat interes di alat musik organ ini, dan oleh pemilik toko, aku disuruh memainkannya. Nah, waktu kembali ke Bandung aku merengek-rengek minta dibeliin organ itu, mereknya Acetone, harganya waktu itu 500 ribu. Akhirnya dibeliin juga, dan begitu senangnya aku ambil sendiri organ itu dari Jakarta pakai mobil dinas tentara. Aku belajar organ setahun tanpa guru. Lalu masuk ke Yayasan Musik Bandung di kelas privat. Tiga grade pertama aku selesaikan 1 bulan, bulan kedua grade 4, dan sampai habis itu buku, gurunya tidak bisa ngajarin apa-apa lagi hahaha….
Ternyata organ itu yang membuka jalan bagi karier kang Purwa selanjutnya?
Mungkin bisa dibilang iya, terutama waktu aku ikut festival organ Lowrey sampai menang di tingkat nasional untuk kategori junior di bawah 16 tahun. Di kategori senior yang menang teman satu sekolah, Elfa Secoria. Sejak itu mulai ada pengalaman baru karena aku kemudian dikontrak oleh produk organ itu untuk mempromosikan organ tersebut dan tampil disana-sini bersama Elfa. Tahun 1982 oleh pemegang merek organ itu aku disuruh memegang sekolah musik yang ada di 30 kota di Indonesia bersama almarhum Hendra Widjaja. Waktu itu aku masih duduk di SMA tapi udah ngantor hahaha…
Kang Purwa juga insinyur Teknik Industri ITB, tapi justru musik yang jadi jalan hidup. Bagaimana ceritanya?
Aku menyukai musik sejak kecil. Orang-orang mengetahui aku berkiprah di musik dari usia sangat muda, sejak kelas 2 SMA, terutama di Bandung dan sekitarnya. Hidup itu pilihan. Kalau aku bisa menikmati pekerjaanku, itu kan lebih ideal. Tapi se-ideal-idealnya pekerjaan, atau sesenang-senangnya pada satu pekerjaan, di mata orangtua pertanyaannya cuma satu, apakah pekerjaan itu bisa mensejahterakan atau tidak. Itu saja. Iya kan? Walaupun kita senang setengah mati, tapi kalau tidak bisa mensejahterakan, orangtua akan bilang ..’wah lu nanti bisa nyusahin gua juga nih ujung-ujungnya..’ Iya kan? Semua orang ujung-ujungnya akan membicarakan soal kesejahteraan. Mungkin karena itu, orangtuaku minta aku kuliah agar dapat kepastian, setidaknya dengan ijasah dan gelar insinyur bisa menjadi bekal hidupku.
Apa yang kemudian membuat orangtua akhirnya menerima pilihan kang Purwa di musik?
Nah untungnya di dalam musik itu aku sudah menghasilkan, dan orangtua juga merasa terbantu dengan itu. Misalnya, waktu kelas 2 SMA aku sudah punya 10 murid piano. Kalau di kurskan sekarang, kira-kira aku dapat 5 juta per bulan. Aku juga main electone di acara kawinan, kira-kira sebulan 6 kali dengan bayaran waktu itu 75 ribu sekali main. Kira-kira kalau di kurskan sekarang dari main elekton saja aku dapat 6 juta. Jadi tiap bulan aku dapat 11 juta dari musik. Jadi aku sudah bisa membiayai hidupku sendiri dari mulai kelas 2 SMA sampai lulus kuliah. Masuk ITB pakai duit sendiri, kuliah juga biaya sendiri. Ayah sudah tidak perlu mengeluarkan duit. Semuanya dari duitku sendiri. Ayah cuma kasih mobil bekas VW kodok tahun 1962. Bensinya aku beli sendiri. Nah, pada akhirnya orangtua mengetahui bahwa dari musik aku dapat penghasilan. Jadi nggak terlalu ribut. Kalau ditanya kenapa orangtua mengijinkan aku di musik, ya karena beliau melihat aku happy-happy saja tuh, bisa hidup dengan musik, dan yang paling penting, nggak nyusahin orangtua juga. Jadi, kenapa tidak?
Selain musisi, komponis, penata musik dan konduktor, kang Purwa juga mengelola sekolah musik di berbagai kota di Indonesia. Bagaimana proses multi talenta itu berkembang?
Aku ini orang yang tidak bisa diam. Dalam kepalaku selalu mengalir ide-ide. Hari ini bikin apa ya? Besok apa ya? Seminggu lagi harus bagaimana. Terus mengalir seperti itu. Orang musik itu harus kreatif dan punya passion. Kalau punya passion, kreasinya ngikut. Kreatifitasnya ngikut karena passion-nya jalan terus.
Menurut kang Purwa, apa sih yang dimaksud kreatif?
Kreatif itu kecenderungan untuk menghasilkan atau mengenali ide, alternatif, atau kemungkinan yang mungkin berguna dalam memecahkan masalah, berkomunikasi dengan orang lain, dan menghibur diri sendiri dan orang lain. Mengapa orang menjadi kreatif, pertama, kebutuhan akan stimulasi yang baru, bervariasi, dan kompleks. Kedua, perlunya mengkomunikasikan ide dan nilai-nilai. Ketiga, kebutuhan untuk memecahkan masalah. Maka, menjadi kreatif itu penting, tapi kalau saya masuk dalam dunia PCMS, kreatif saja belum cukup, tapi harus ditambah dengan kemampuan manajerial dan leadership.
Bagaimana seseorang untuk menjadi kreatif?
Kita harus dapat melihat sesuatu dengan cara baru atau dari perspektif yang berbeda. Kita juga harus mampu menghasilkan kemungkinan baru atau alternatif baru. Kemampuan untuk menghasilkan alternatif atau untuk melihat hal-hal secara unik tidak terjadi oleh perubahan, tetapi itu terkait dengan kualitas berpikir lain yang lebih mendasar, seperti fleksibilitas, toleransi terhadap ambiguitas atau ketidakpastian, dan kenikmatan hal-hal yang sampai sekarang tidak diketahui. Nah ini yang kemudian aku merasa perlu belajar banyak hal yang tak sekedar membuat musik saja.
Bagaimana hal itu terealisasi pada kang Purwa?
Contohnya begini, kalau aku hanya bertahan sebagai pemain piano saja, sampai kapanpun aku tidak akan punya PCMS. Ya kan? Nah, sudah punya PCMS pun, what next? Sehingga aku akan terus mencari. Apa yang bisa dikerjakan? Apa yang bisa disinergikan? Aku tidak berhenti dengan jumlah murid sekian dan dapat uang sebulan sekian. Bukan uang menghidupi orang. Bukan kita ngejar uang, tapi kita berbuat, lalu uangnya ngikut. Karena orientasinya melakukan sesuatu, keberhasilan uang bagi aku bukan tujuan. Tapi achievement-nya. Sehingga PCMS ini kalau dibilang cukup ya cukup, malah lebih dari cukup kalau sekedar untuk hidup saja. Tapi kalau cuma begitu saja sih belum cukup. Harus ada pengembangan. Bisa ekspansi bisnis, atau bikin ini, bikin itu. Contoh lain, tahun 1986 aku mendirikan Purwacaraka Big Band. Idenya muncul karena aku pingin membuat sesuatu yang berbeda. Waktu itu orang tidak kepikiran membuat big band yang memainkan beragam genre musik, bahkan dangdut. Dan terbukti setelah debut pertama di pemilihan putri remaja majalah Gadis, tawaran main berdatangan, misalnya tampil rutin di televisi 3 kali seminggu, mengisi acara Gebyar BCA selama 11 tahun lebih. Mengiringi Kontes Dangdut Indonesia dan lainnya. Waktu itu dalam satu bulan kita bisa main 15 hingga 20 kali selama berpuluh tahun.
Apa yang bisa dibagikan dari kiprah kang Purwa di musik selama ini kepada mereka yang berkarier di musik saat ini?
Saya ingin mengatakan bahwa semua orang yang di dalam blantika musik, apapun itu, ketika dia ingin menjadi sesuatu, maka dia harus punya pembeda dengan orang lain. Deferensiasi itu akan sangat menentukan. Ibarat orang mendengarkan musik. Kalau cuma mendengar doang, tentu beda kalau kita bisa mencermati setiap detailnya. Orang bikin rumah pun tentukan dulu tujuannya. Kalau sekedar untuk tempat berteduh saja, ya gak perlu bagus-bagus banget. Tapi kalau untuk kebanggaan, sebagai mahakarya atau sebuah pencapaian prestasi misalnya, maka detail-detailnya akan sangat diperhatikan.
Banyak anak-anak hebat dalam musik, tetapi hanya sedikit yang bersinar. Menurut kan Purwa bagaimana?
Kadang-kadang menurut aku sih by nature dulu ya. Memang gak mungkin bintang itu keluar memenuhi seluruh langit dalam satu malam. Sebab kalau keluar semua jadinya siang. Bukan malam. Maka akan terseleksi mana bintang yang bersinar dan mana yang kurang bersinar, walaupun mungkin statusnya dia bintang juga. Tapi kan ada grade-nya. Yang kedua adalah ada timing-nya, dimana seseorang akan mencapai kedewasaan tertentu, kedewasaan berpikir dan lain-lain. Itu faktor yang pernah aku rasakan juga. Yang ketiga adalah kesempatan. Bisa juga dibilang nasib. Ada orang yang tidak dikasih kesempatan. Ada juga yang dikasih kesempatan tapi gak ada jalan. Ada yang sudah dikasih jalan, tapi mungkin timing-nya tidak pas.
Apa pesan kang Purwa untuk mereka yang akan dan sedang berkarier di musik?
Pesan aku, usahakan pelajari juga ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengan kehidupan dan bagaimana caranya mengembangkan kemampuan diri untuk menghadapi situasi nantinya. Kalau misalnya mau memasuki dunia bisnis musik, bagus juga belajar bagaimana mengelola bisnis, mengelola manusia, belajar leadership dan entrepreneur karena ini tidak bisa diciptakan ketika kita sudah dewasa. Entrepreneur itu bukan ilmu, tapi maindset yang harus disiapkan dan dilakukan sejak masih muda
Sebagai musisi bagaimana pendapat kang Purwa terhadap Steinway Piano?
Piano Steinway menurut aku adalah piano yang dibuat dengan handcraft. Boleh dibilang setengah fabrikasi, dimana bagian-bagian tertentu dari Steinway masih dibuat dengan tangan. Itulah mengapa Steinway menjadi sangat spesial dan sekaligus mahal, karena dimanapun juga, lukisan printing sama lukisan asli akan sangat berbeda. Sebagus-bagusnya lukisan printing, tapi secara nilai bukan karya seni. Bisa dibilang Steinway itu bukan sekedar piano, tapi juga adalah sebuah karya seni, sementara yang lain adalah barang manufaktur. Dalam konteks membuat piano, memang tidak mungkin dibuat tanpa bantuan alat, tapi dalam hal detail-detail tertentu yang menyangkut kualitas suara, touching dan lain-lain, Steinway memang menggunakan bahan-bahan sangat terpilih dan dibuat dengan cermat, presisi dan hati-hati, sehingga defect factor-nya nol. Itulah yang membedakan Steinway dalam hal kualitas dan harga. (*)