Kreativitas Dan Kesehatan Emosi, Bagaimana Musik Membantu?

323

Article Top Ad

Musik adalah salah satu dari sekian banyak bakat yang dapat digali pada anak-anak sejak usia belia, khususnya bila anak-anak tersebut memiliki talenta. Namun kenyataanya, orang sering memahami ini secara sempit dengan mengasosiasikan pada sains atau matematika saja.

Jika seorang anak yang berbakat musik pernah mengalami trauma dalam masa pencarian bakatnya, Alice Miller mengatakan, ”Sebagai guru, kita memiliki kemampuan besar untuk mengatasi masalah itu karena kita dapat memilih satu cara bagaimana proses penyembuhannya. Atau sebaliknya, justru kita akan semakin tajam melukainya,”.

Sebagaimana diketahui, meniti karier di bidang musik bukan jalan yang mudah untuk mencapainya. Mereka harus bersaing untuk memperbutkan posisi superior. Itu artinya, mereka harus memenangkan sederetan kompetisi. Atau mereka harus memiliki siswa-siswa yang menang di berbagai kompetisi.

Article Inline Ad

Sebagai manusia, seseorang memiliki kelemahan dalam mengontrol ego masing-masing. Dan semua juga mengetahui bahwa banyak sekali kehidupan para musisi yang tidak bahagia. Sekali lagi, ini bukan berarti bahwa memburu prestasi atau mengejar suatu tujuan tidak diperkenankan, dan tentu saja itu memiliki nilai positif.

Tetapi Alice Miller lebih menekankan pada arti nilai dan kebenaran. Dan, sebagai seorang guru atau musisi, seharusnyalah menekankan nilai musik dan membuat musik menjadi bagian dari kehidupannya. Guru mengajarkan arti nilai bagi siswa melalui bagaimana memberi nilai tambah pada mereka sebagai individu. Sebagaimana manusia biasa, baik siswa maupun guru, sebagian besar diantara kita suatu ketika mungkin pernah mengalami lepas kontrol.

Douglas Weeks, salah seorang guru piano terkenal di Amerika, memiliki pengalaman yang sulit dilupakan dengan salah satu gurunya. Karena suatu sebab, gurunya kesal padanya dan mengatakan,”Baik, semuanya terserah kamu. Apakah kamu ingin menjadi pemain musik atau tidak!” katanya seraya menutup buku. Mungkin maksudnya ingin menyelamatkan permasalahan tetapi dampaknya, sang guru tak ubahnya bak menutup buku Douglas.

Orang lain mungkin akan berpendapat bahwa guru itu bermaksud memicu kesadaran Douglas agar berusaha lebih keras lagi demi kebaikannya. Tetapi kenyataannya berdampak sebaliknya. Ia merasa tidak memiliki bakat musik dan tidak mampu memahami apa yang selama ini diajarkan gurunya. Lebih jauh lagi, ia dihantui rasa bersalah karena membuat gurunya frustasi lantaran ia juga tidak dapat membuatnya mengerti.

Si anak barangkali merasa gurunya tidak hanya putus asa tetapi juga merasa tidak mampu lagi membimbingnya. Apalagi setelah sang guru berkata seperti itu ia meninggalkan bangku Douglas. Apakah ini hanya sebuah insiden kecil? Ya bagi sang guru, tetapi tidak bagi Douglas! Karena peristiwa itu begitu menggurat tajam dalam dirinya. Ia tidak dapat melupakan peristiwa tersebut dan baru bisa ’memaafkan’ setelah tiga dekade lamanya!

Berpijak dari pengalaman itu, ia bersikeras tidak akan pernah mengatakan sesuatu yang mengecilkan siswanya. Tidak cukup itu saja, masih ada pengalaman yang lebih buruk lagi dialaminya. Yaitu ketika salah seorang gurunya melemparkan buku dari rak ke arahnya, hanya gara-gara Douglas mengawali crescendo terlalu keras. Sang guru mengungkapkan kekesalannya secara spontan yang seharusnya dapat disampaikan melalui kata-kata.

Ia menilai kesalahan permainannya langsung melalui teguran fisik, tak ubahnya stereotip guru tempo dulu yang dijuluki sebagai guru killer. Peringatan keras, dampratan, celaan dan mungkin tindakan kasar bagi mereka dianggap sebagai peraturan yang dapat dibenarkan demi kemajuan siswanya.

Guru mungkin tidak bermaksud melukai secara fisik. Tetapi tindakannya sangat mempermalukan dan membuat Douglas merasa bahwa ia melakukan pelanggaran pribadi. Memang tidak dapat dipungkiri setelah peristiwa itu ia belajar lebih keras agar tidak melakukan kesalahan yang sama lagi. Tetapi itupun dipahami setelah beberapa bulan belajar bersamanya. Douglas belajar musik dengan rasa kehilangan sisi ’human being’ pada dirinya. Ia tidak lagi belajar dengan kesadaran motivasi karena ingin menang untuk sebuah kompetisi.

Bahkan setelah beberapa lama setelah permainan musiknya mengalami kemajuan pesat, Douglas masih saja belum menemukan jawaban atas sebuah pertanyaan, ”Mengapa saya harus belajar musik padanya dengan mengorbankan perasaan saya sebagai bayarannya? Tidak dapatkan saya belajar musik tanpa harus kehilangan sentuhan kemanusiaan?”

Tetapi bagaimana pun juga Douglas tetap berterima kasih kepada gurunya. Berkat pengalamannya itu, kini ia berusaha keras belajar bagaimana menghilangkan rasa dendam atas semua perlakukan yang harus diterimanya itu. Bukan hanya Douglas. Masih banyak Douglas-Douglas lainnya yang mengalami kejadian-kejadian kecil lainnya yang tampak sepele namun tidak disadari akibatnya oleh para guru.

Misalnya, seorang guru yang menggeleng-gelangkan kepalanya ketika muridnya melakukan kesalahan di hadapan umum. Tanpa disadari apa yang dilakukan oleh guru itu seakan-akan ingin menjelaskan pada semua orang bahwa bukan dia yang bertanggung jawab atas kesalahan yang di lakukan si anak.

Atau contoh lainnya, seorang guru yang serta merta mencecar anak didiknya karena kesalahan yang dilakukannya di atas panggung, dihadapan teman-temannya. Atau guru yang merasa kesal dengan muridnya karena ia telah terlanjur mendaftarkan si anak pada sebuah kompetisi tetapi si anak tidak berani maju di acara tersebut karena merasa belum siap.

Akibatnya sang guru pun berang dan munculah kata-kata yang tidak seharusnya. Misalnya mengatakan, bahwa dia tidak akan dapat memenangkan satu kompetisi pun  dalam tenggang waktu yang lama. Dengan harapan ’kata-kata ampuh’ itu dapat memaksa si anak tampil di atas panggung.

Masih banyak peristiwa-peristiwa lainnya semacam itu. Kejadian-kejadian tidak menyenangkan lainnya yang mungkin sulit dihilangkan dalam memori. Namun poin yang terpenting dari semua itu adalah: semua itu tidak seharusnya itu terjadi. Hal-hal seperti itu sebenarnya adalah warisan para guru tempo dulu. Guru yang berhasil memiliki prestasi bagus di bidang pengajaran biasanya dikenal sebagai guru yang disegani, bahkan ditakuti karena ’kekejamannya’.

Tetapi itu semua tidak dapat dijadikan alasan pembenar tidakan mereka. Ada juga guru yang sama hebatnya namun mereka terkenal karena keramahannya dan kesabarannya dalam membimbing siswa-siswanya sebaik pengetahuannya yang diperoleh di akademik. Mereka tidak terpaku pada ”apa yang akan mereka ajarkan kepada si anak” tetapi lebih berpikir pada ”bagaimana cara mereka menyampaikannya pada anak”.

Ini bukan berarti standar pendidikan musik terlalu tinggi dan perlu diturunkan. Juga tidak berarti belajar musik dapat diubah menjadi sesi terapi. Tetapi pada saat guru meremehkan, mencemooh, menertawakan, merendahkan atau merasa malu pada dirinya sendiri karena alasan siswanya bermain buruk, atau  tidak mau ikut kompetisi atau sebab lainnya, mungkin muridmerasa tidak mampu mengejar keinginannya berkarier di musik karena ia lebih berbakat di bidang modeling, misalnya, maka pertanyaan yang muncul adalah: apakah sebagai guru mereka hanya bertanggung jawab pada pelajaran musik saja? Ataukah guru juga harus bertanggung jawab terhadap mereka dalam proses pembentukan manusia seutuhnya?

Dalam Drama of The Gifted Child, Alice Miller menjabarkan bagaimana tanggung jawab para orang tua terhadap anaknya: ”…seandainya saja kita mau membuka mata hati terhadap bagaimana posisi anak, maka kita akan dihadapkan pada dua pilihan. Apakah kita memilih berperan sebagai orangtua yang melahirkan monster-monster dari keturunan kita dengan menekan anak terus menerus agar berkembang sesuai dengan keinginan orangtua? Ataukah memilih peran sebagai orangtua yang memberikan kebebasan  anak berkembang sesuai potensinya sebagai manusia seutuhnya, tentu dalam arti kebebasan yang bertanggung jawab?”

Dalam kondisi seperti itu guru dihadapkan pada posisi yang unik. Karena mereka mengemban profesi ini berarti mereka dituntut senantiasa berinteraksi dengan berbagai macam individu dalam hubungan pribadi tak terbatas, dari hari ke hari, minggu demi minggu, tahun demi tahun dalam sebuah kedekatan yang selalu berkembang.

Ini bukan tugas mudah karena mereka bukanlah orangtua siswanya, melainkan gurunya. Tetapi, guru memiliki kekuatan dan potensi besar untuk mempengaruhi anak. Karena itu seorang guru harus pandai-pandai memilih apa yang dibutuhkan siswanya yang dapat mereka berikan. Dengan menggali hasil kerja Alice Miller ini diharapkan dapat memberi manfaat bagaimana membentuk hubungan dengan siswa tanpa harus kehilangan sisi kemanusiaan. (dini)

Article Bottom Ad