Kreativitas dan kesehatan emosi bukan sebuah topik yang ‘tidak terlalu penting’ dalam kurikulum musik. Satu dari kedua topik tersebut, materinya cukup sensitif dan kompleks untuk dibicarakan.
ALICE MILLER ahli psikoterapi asal Swiss tertarik mengadakan penelitian pada pokok bahasan tersebut. Ia memperoleh penghargaan internasional atas penelitian tentang penyebab dan akibat trauma emosi pada anak-anak Bukunya yang sangat terkenal, “The Drama of The Gifted Child”, menjadi sebuah literature klasik di fakultas-fakultas psikologi.
Inti dari penelitian Miller menyatakan bahwa seorang anak membutuhkan kasih sayang dan cinta kasih tanpa syarat, tidak peduli bagaimana uniknya kepribadian si anak tersebut. Jika seorang anak pada usia dini tidak memperoleh siraman kasih sayang dan cinta kasih tanpa syarat, ada kemungkinan bahwa hasilnya adalah sebuah gangguan kepribadian. Hal ini kemudian yang populer dengan istilah ‘masa kecil kurang bahagia’.
Dengan kata lain, perkembangan seorang anak ditentukan dari kondisi masa kecilnya yang sehat dan menyenangkan. Ini dapat diperoleh melalui pengalaman- pengalaman yang dialaminya, melalui imajinasi yang ditangkap dari tingkah laku orangtua sehari-harinya, pengaruh orang-orang disekitarnya, termasuk orang yang mengasuh dirinya.
Bila dalam masa-masa itu seorang anak tidak dapat menangkap refleksi apa-apa dari lingkungannya, selain hanya melihat kesibukan orangtuanya mempersiapkan dirinya dan mengharapkan anak kelak bisa menjadi ‘seorang’ seperti yang mereka inginkan, maka anak pun tidak dapat berkembang maksimal. Dalam arti, ada kemungkinan ia tidak peroleh peluang untuk menggali potensi-potensi yang kemungkinan tersembunyi dalam dirinya sendiri.
Mengapa? Karena orangtua yang hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, secara otomatis hanya memberikan dorongan dan arahan pada anak untuk mengerjakan sesuatu sesuai dengan apa yang mereka inginkan, untuk menyenangkannya seperti yang diharapkan dan diperintahkannya. Sementara kemungkinan adanya potensi lain dalam diri anak menjadi terabaikan. Padahal potensi dalam diri seorang anak tidak dapat muncul begitu saja, kadang-kadang membutuhkan adanya rangsangan berupa adanya dorongan atau motivasi dari luar.
Alice Miller menggambarkan kondisi ini dalam The Drama of The Gifted Child, yang karya aslinya dipublikasikan sebagai Das Drama das begabten Kindes. Ia menyatakan, sering kali kita melihat seberapa besar perhatian orang-orang terhadap anak-anak yang berbakat.
Kemampuan dan prestasinya sering kali mengundang orang terkagum-kagum. Pada umumnya terhadap anak-anak seperti ini orang akan berpendapat, mereka ini anak-anak kebanggaan orangtuanya. Jadi sudah sewajarnya apabila mereka memiliki kekuatan dan ketangguhan emosi lebih dari anak-anak lain pada umumnya. Namun benarkah demikian? Karena dalam kehidupan nyata banyak ditemukan fakta yang justru bertentangan untuk fenomena semacam ini. Mengapa?
Bila kita telisik lebih dekat kehidupan mereka, kita akan melihat betapa mereka-mereka sangat tersiksa. Karena anak-anak seperti ini selalu dituntut berbuat yang terbaik, mereka harus tampak sesempurna mungkin dalam segala hal di hadapan orang lain. Mereka juga mengemban beban moril dikagumi sekaligus dicemburui, buah dari keberhasilannya. Meskipun mereka telah berusaha menjaga image akan kesempurnaan mereka, tetapi dibalik kehidupannya sebenarnya mereka sangat tertekan dengan beban tersebut, merasa hampa dan mungkin juga terasing.
Tidak menutup kemungkinan akhirnya mereka hidup dengan perasaan was-was. Bagaimana tidak, mau atau tidak mau, cepat atau lambat perasaan-perasaan gelap akan menyergap meracuni dirinya, yang pada intinya, kuatir akan kegagalan. Bagaimana seandainya mereka tidak lagi berada di atas? Bagaimana bila ia tidak lagi menjadi super star? Atau bagaimana jika ia tiba-tiba merasa tidak mampu berbuat seperti apa yang diidolakan sementara mereka di bawah tekanan terus dituntut berbuat yang terbaik? Bagaimana jika hadir bintang baru yang menyainginya? Akhirnya mereka dihantui oleh kegelisahan, perasaan bersalah, tertekan dan ketakutan tanpa ujung.
Tidak Menyadari
Kebanyakan orangtua tidak menyadari, bahwa anak-anak belajar menyamakan dan menerima kasih sayang orangtuanya melalui prestasi yang orangtua harapkan. Walaupun ini berarti mereka harus memburu prestasi sebanyak mungkin dalam hidup. Ini bukan berarti bahwa semua orang memiliki pandangan yang signifikan terhadap pencapaian sebuah prestasi dengan kekaguman mereka terhadap anak-anak yang tersiksa secara emosional.
Perbedaannya adalah runtuhnya kecintaan mereka terhadap dirinya sendiri, seperti orang yang kikir yang merasa tidak memiliki cukup uang, merasa tidak pernah cukup berprestasi. Mereka akan menghabiskan waktu sepanjang hidupnya memburu sebuah hadiah yang tidak pernah didapatkan karena mereka tidak memulainya dengan kasih sayang ayah dan ibunya.
Kebanyakan orangtua cenderung ”menyalahkan” anak-anaknya pada saat mereka mencari konfirmasi atas keingintahuannya. Padahal, anak sebenarnya ingin menyempurnakan rasa keingintahuannya yang belum terjawab. Hanya saja, pada usia anak-anak mereka belum mampu menyusun strukturnya sendiri.
Bila orangtua tidak segera menyadari apa yang telah diperbuatnya, pada awalnya anak mungkin akan memahami apa yang dijelaskan kepadanya. Namun lambat laun dan tanpa disadari, mereka akan tumbuh sebagai anak yang sangat tergantung pada orangtuanya. Mereka menjadi tidak dapat mengandalkan rasa dan emosinya sendiri, tidak memiliki pengalaman langsung menerapkan ”penemuannya” melalui trial and error.
Mereka juga tidak memiliki kepekaan sendiri sesuai yang dibutuhkan, dan akhirnya ia berada dalam proses diasingkan dari dirinya sendiri, sementara secara fisik ia terus berkembang. Anak yang tumbuh dalam kondisi seperti itu akan sulit berpisah dengan orangtuanya, meski hingga ia menginjak dewasa.
Ia akan terus bergantung pada rekan-rekannya, orang-orang terdekatnya, juga pada orang-orang di sekelilingnya jika ia tinggal dalam sebuah kelompok masyarakat tempat tinggalnya atau lingkungan kerjanya. Apa yang dapat diakukan musisi atau guru musik jika menghapai kondisi semacam ini? Sudahkah kita memiliki bekal pengetahuan dari sekolah untuk menghadapi anak seperti ini? (dini)