’Malpraktik’ dalam Pengajaran Piano

44

Article Top Ad

MENGAJAR musik tidak seperti mengajar bidang pengetahuan lainnya. Mengajar musik memerlukan relasi atau hubungan yang erat antara guru, siswa dan orangtua siswa. Hubungan yang baik antar tiga unsur itu merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam belajar musik. Tetapi, dalam hubungan itu pula sering berpotensi munculnya konflik.

Sebuah berita menarik dari Reuters -kantor berita internasional. Baru-baru ini John Keybanger, pianis berusia 23 tahun mengadukan bekas guru pianonya, Betty Laissez-Faire, ke pengadilan distrik Tumbleweed, di Amerika Serikat. John menggugat bekas gurunya karena ia gagal menang dalam sebuah kompetisi piano internasional. John tidak puas karena hanya menempati urutan kedua (runner up), dalam kompetisi piano internasional itu.

Dalam gugatannya, John mengatakan bahwa gurunya tidak benar-benar menyiapkan dirinya untuk mengikuti kompetisi itu, baik secara teknik maupun emosi. Gurunya dinilai tidak mengajarkan teknik Susan Gossamer Fingers, tidak mengajarkan dengan lengkap Hanon Exercises dalam 24 kunci dan dalam sebuah variasi irama maupun artikulasi.

Article Inline Ad

Pengacara John menuntut agar Betty Laissez-Faire mengembalikan uang kursus dan semua biaya yang telah dikeluarkan John selama lima tahun belajar denganya. Belum jelas apakah tuntutan John itu dikabulkan hakim. Namun kasus itu menarik perhatian guru-guru piano di Amerika. Jurnal bulanan Music Teacher National Association (MTNA), yakni asosiasi nasional guru musik Amerika, menempatkan kasus unik itu dalam salah satu pokok bahasannya.

Dalam jurnal itu bahkan disebutkan, jauh sebelum kasus yang menimpa Betty Laissez-Faire itu, seorang mahasiswa musik di sebuah perguruan tinggi musik di Amerika menuntut perguruan tingginya karena merasa tidak mendapatkan pelajaran sebagaimana mestinya sehingga ia tidak lulus ujian semester. Pihak orangtua si mahasiswa menuntut perguruan tinggi mengembalikan biaya kuliah satu semester. Tentu saja pihak perguruan tinggi menolak. Tapi setelah orang tua mahasiswa mengangkat kasus itu ke media dan menyewa pengacara untuk meneruskan kasus itu ke pengadilan, pihak universitas mengalah dengan mengembalikan uang kuliah, dan sekaligus mengeluarkan si mahasiswanya.

Yelena Ivanov, guru piano di Amerika juga harus berurusan dengan pihak pengadilan setelah orangtua Bryan O’Lone tak terima dengan perlakukan Yelena kepada anaknya. Ceritanya, Bryan dan gurunya, Yelena, terlibat pertengkaran dalam sebuah kompetisi piano di Carnegie Hall 12 Juni tahun 2005. Yelena kesal karena Bryan tidak mau memainkan Pathetique-nya Beethoven dan lebih memilih Scherzo no.3 dari Chopin karena merasa lebih siap. Padahal Scherzo bukan lagu yang dilombakan.

Bryan kemudian bertanya ke juri apakah ia boleh membawakan Scherzo. Juri membolehkan. Yelena pun jengkel, dan reflek ia membanting tutup tuts piano sehingga menggencet jari-jari Bryan. Bryan pun menjerit, dan ketika diperiksa dokter, diketahui beberapa jari Bryanretak sehingga tidak bisa main piano untuk waktu satu tahun.Orang tua Bryan menunut ke pengadilan atas perlakuan guru anaknya itu.

Malpraktik
Apa yang terjadi di negeri Paman Sam itu, rasanya begitu dekat dengan kita di Indonesia. Sangat bisa dipastikan bahwa peristiwa-peristiwa seperti itu, meskipun dalam skala berbeda, pastilah pernah terjadi dan dialami guru-guru musik, siswa dan orangtua siswa. Gesekan-gesekan antara guru-siswa-orangtua siswa dalam pengajaran musik, seringkali muncul yang diakibatkan oleh ketidakpuasan, kekecewaan, dan sebagainya. Dalam beberapa kasus, hubungan antara guru-siswa-dan orangtua siswa yang pada awalnya berjalan harmonis, bisa tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat, oleh faktor-faktor pemicunya yang kadangkala sepele.

Eric Okerson, professor musik yang tergabung di MTNA mengatakan, kasus-kasus seperti diatas bisa dikatakagorikan sebagai ‘malpraktik’, sebagaimana yang terjadi di dunia kedokteran, dimana pasien menjadi korban kelalaian dokter menyangkut tindakan medis. “Sekalipun belum bisa disamakan sebagaimana malpraktik dalam dunia kedokteran, bukan tidak mungkin malpraktik juga bisa terjadi dalam dunia pengajaran musik. Pertanyaannya adalah, setelah para dokter, apakah sekarang giliran para guru musik?” tanya Eric.
Sementara beberapa kalangan mungkin menilai hal itu terlalu berlebihan, Eric mengatakan kemungkinan seperti itu tidak bisa dianggap kecil. “Beberapa kasus konflik guru, siswa dan orangtua siswa hingga berujung pada tindakan-tindakan hukum, cukuplah menjadi sebuah alarm bagi para guru. Tidak ada kalimat paling tepat yang bisa saya katakan kecuali berhati-hatilah,” kata Eric.

Ada beberapa alasan yang mendasari pemikiran Eric. Pertama, saat ini kita hidup dalam dunia yang terbuka. Kita juga hidup dalam dunia dimana proses pengadilan menjadi metoda yang lebih disukai untuk menyelesaikan persoalan atau konflik. Setiap orang atau institusi, saat ini mendapatkan tempat setara di depan proses pengadilan, dan dinilai cukup ampuh untuk menyelesaikan persengketaan.

Kedua, kata Eric, ada kesadaran yang mulai menguat di masyrakat akan pentingnya hak-hak pribadi. Era sekarang, lanjut Eric, adalah era dimana setiap orang merasa berada dalam tataran yang sama, dan memiliki hak yang sama. Dengan demikian, ada semacam tuntutan pada setiap orang untuk berhati-hati, memperhatikan hak orang lain, dan tidak bisa berbuat semena-mena. “Dalam hal ini, bagian yang cukup berbahaya namun sering tidak disadari dalam pengajaran musik, terutama dalam situasi pengajaran privat adalah, bahwa semua interaksi berlangsung dan terjadi dalam sebuah sorotan ‘kamera’. Hasilnya adalah ketika perselisihan atau tuduhan muncul, seringkali berupa kasus ‘kata dia-kata dia’, yang cenderung saling menyalahkan,” kata Eric.

Cukup Unik
Hubungan guru dan murid dalam pengajaran musik, terutama bagi guru-guru independent atau privat, memang cukup unik, sekaligus rawan konflik.
Eric mengatakan bahwa, konflik-konflik itu terjadi justru ketika hubungan itu berada pada taraf erat.

“Artinya, semakin erat dan tak berjarak hubungan itu, semakin besar kemungkinan terjadinya konflik. Pada kondisi itu, nyaris tidak ada batas antara murid dan guru. Pada beberapa guru, ada semacam proteksi yang demikian besar terhadap murid-muridnya, dengan berbagai alasan dan pertimbangan. Dan ketika proteksi itu kemudian dirasakan sebagai sebuah pembatasan bagi siswa, maka ada kemungkinan munculnya perlawanan dari siswa. Pada saat itu, konflik pun terjadi,” kata Eric.

Eric menyarankan agar hubungan antara siswa dan murid, sedekat apapun, sebaiknya tetap pada koridor profesionalisme. Salah satu ciri profesionalisme, kata Eric, adalah konsisten terhadap aturan-aturan. “Kewibawaan seorang guru bukan hanya terletak pada kualitasnya, tetapi juga pada konsistensi mereka dalam melaksanakan aturan-aturan yang dibuatnya,” kata Eric.

Sebagian besar guru memiliki tujuan yang sama, yakni bagaimana agar proses belajar dan mengajar berlangsung survive tahap demi tahap, melewati krisis demi krisis. “Pengajaran yang dikendalikan dengan professional, dan tujuan yang jelas, memiliki kesempatan untuk sukses,” kata Eric.
Eric melanjutkan, salah satu faktor penyebab seringnya terjadi konflik biasanya karena komunikasi yang kurang berjalan baik. Bagaimanapun, pada masa kini, guru tidak selalu harus menempatkan diri sebagai pihak yang paling memiliki semua otoritas. Peran orangtua siswa tidak bisa dianggap sepele. Komunikasi yang baik menjadi kunci terjalinnya hubungan yang harmonis antara guru, siswa dan orangtua.

Orangtua dan siswa dapat menjadi partner guru dalam berbagai hal, misalnya membuat keputusan dalam menentukan repertori apa yang sesuai dan cocok untuk siswa, kesempatan-kesempatan performance, kompetisi dan ujian kenaikan tingkat.
Persoalan kritis yang seringkali berkembang menjadi konflik, menurut Erik, juga diakibatkan oleh tidak terpenuhinya antara harapan dan kenyataan, baik dari sudut pandang guru, siswa maupun orangtua siswa. “Ekspektasi yang berlebihan, tanpa menyadari faktor-faktor lain yang ikut berpengaruh, bisa menjadi letupan konflik, baik berupa kekecewaan maupun rasa tak puas,” kata Eric.

Kesenjangan informasi dan pemahaman, juga bisa menjadi penyebab konflik. Eric memberikan contoh, seringkali orangtua ataupun siswa menuntut berlebih di luar kemampuannya, tanpa mempertimbangkan bahwa belajar musik, performance, kompetisi, atau juga ujian kenaikan tingkat, adalah sebuah proses yang tidak bisa berdiri sendiri. Ada banyak factor yang bisa mempengaruhi hasil akhirnya, yang tidak mata-mata tidak selalu karena gurunya, tetapi bisa dari dalam diri siswa sendiri maupun lingkungan sekitarnya.

Sebaliknya, guru sebaiknya tidak memberikan harapan-harapan yang terlalu muluk, sekalipun ia mungkin merasa siswa bisa meraihnya. Sebab, hal itu juga tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor yang ikut mempengaruhi keberhasilannya. “Goal atau hasil akhir yang ingin dicapai, sesungguhnya bukan tujuan itu sendiri, melainkan hanya semacam penunjuk arah kesanalah proses itu berjalan. Oleh karenanya, goal yang baik adalah yang goal yang wajar, kombinasi antara kapasitas siswa, kualitas guru, dan handicap yang kemungkinan dihadapi,” kata Eric.

Dalam banyak kasus, tentu saja guru memiliki hak prerogatif untuk menentukan goal, merevisi atau bahkan memveto-nya. Untuk menghindari kesalahpahaman, tidak ada jeleknya tujuan-tujuan apa yang ingin dicapai dalam belajar itu, jika sudah disetujui siswa dan orangtuanya ditulis dalam sebuah dokumen, dan masing-masing memiliki copy-nya.
Di atas semua itu, menurut Eric, menjaga komunikasi antara guru, siswa, dan orangtua siswa, adalah jauh lebih baik. Umpan balik, baik dari siswa maupun orangtua siswa, adalah hal penting bagi guru yang tidak bisa diabaikan. Karena, guru pun bisa belajar dari siswa dan orangtua siswa. (Dini)

Article Bottom Ad