Mario Santoso

1159

Article Top Ad

Mario Santoso barangkali salah satu pianis Indonesia paling sibuk, bahkan di tengah pandemi Covid 19. Selain memberikan resital, seminar, dan masterclass, ia juga menjadi juri  di berbagai kompetisi piano. Peraih gelar Doctor of Musical Arts dari West Virginia University, Magister Musik dari Universitas    Indiana,  dan Sarjana Musik dari Universitas Kristen Abilene ini berguru dengan tokoh-tokoh hebat seperti Peter Amstutz, Jean-Louis Haguenauer, Arnaldo Cohen, Gustavo Tolosa, Soetarno Soetikno (alm), Iravati M. Sudiarso, dan Susiana Adhitjan. Berikut bincang singkatnya di Steinway Family Story

 

Bagaimana awal mula Anda berkenalan dengan musik ?

Article Inline Ad

Saya kelahiran tahun1982. Pertama kali mengenal musik pada usia 4 tahun dengan mengikuti  Kursus Musik Anak ( KMA ) di Yamaha. Saat itu belajar dengan Electone, bukan piano. Satu tahun kemudian saya masuk ke Yayasan Pendidikan Musik ( YPM ) tahun 1987  saat umur 5 setelah guru saya di KMA menyarankan ke orangtua saya untuk mendaftar ke YPM. Di YPM saya dibimbing ibu Susiana Adhitjan. Beliau menanamkan disiplin dalam latihan, sehingga membentuk mindset yang sangat baik untuk berlatih piano dengan benar. Misalnya kalau saya datang dan kuku panjang, beliau pasti langsung minta saya keluar ruangan dan potong kuku dulu. Kalau saya main sesuai dengan instruksi yang diberikan, ibu Susiana pasti kasih roti ke saya hahaha… saya ingat banget kejadiannya di ruang 11 YPM waktu saya masih usia 5-7 tahun. Ibu Susiana kalau mengajar memberikan contoh dengan menyanyi, tidak selalu main piano. Ini latihan yang sangat penting untuk perkembangan seorang pianis karena pianis itu musisi yang “paling susah” untuk bernyanyi secara natural karena karakter perkusif yang dimilikinya. Saya belajar  dengan beliau selama 8 tahun sampai grade 6 di YPM dan melanjutkan ke tingkat Persiapan  Konservatorium  dibimbing  ibu Iravati M. Sudiarso

 

Bagaimana bisa belajar dengan Ibu Iravati R. Sudiarso? Konon tidak mudah bisa belajar dengan beliau

Waktu ujian kelulusan grade 6, saya jatuh sakit sehingga tidak fokus    dengan ujian, dan mendapatkan nilai yang kurang memuaskan. Waktu saya mendaftar untuk bisa diterima di studio ibu Iravati, saya sempat    disarankan untuk belajar dengan guru lain di YPM, tetapi pada akhirnya beliau bersedia menerima saya, dan itu merupakan momen yang sangat menyenangkan saya. Luar biasa terhormat bisa menjadi muridnya. Setelah diterima di studio beliau, pertama ketemu saya ingat banget saya takut, tegang, tetapi juga sangat senang bisa tatap muka langsung dengan beliau, idola dan pahlawan musik saya. Ternyata beliau adalah sosok yang sangat peduli dengan setiap muridnya, bukan hanya dari sisi akademik, tapi juga sebagai manusia. Sampai hari ini, beliau masih ingat betul detail semua murid-muridnya. Ibu Ira selalu menunjukan ketertarikan kepada setiap muridnya dan bring the best out of every student. Ibu Ira selalu menekankan permainan yang bermutu, high quality, dimana beliau selalu mengingatkan bahwa pekerjaan seniman harus selalu menghasilkan mutu yang tertinggi, tidak bisa setengah-setengah, dan ini ditunjukan dengan dedikasi beliau yang tidak ada duanya. Nilai-nilai penting yang saya dapatkan dari beliau adalah  tentang kejujuran, disiplin, kerja keras, rendah hati, dan profesionalisme. Saya belajar dengan ibu Iravati sampai tingkat PK 3, dan sempat melanjutkan ke Pendidikan Guru, tapi tidak sampai selesai karena banyak sekali kegiatan di sekolah yang tidak memungkinkan untuk saya dapat membagi waktu, dan saya mau selalu profesional dalam arti saya harus bisa commit total kalau sudah memutuskan sesuatu. Jadi saya terpaksa harus fokus dengan sekolah saya yang waktu itu juga sedang banyak ujian, tryout, ujian negara, dan lain-lain.

 

Anda sejak kecil telah tertarik dengan musik? Atau hanya sekedar mengikuti keinginan orangtua saja?

Awalnya mungkin karena mengikuti keinginan orangtua. Waktu itu orangtua saya sama teman-temannya daftarin saya les musik baik ke KMA Yamaha dan ke YPM setelahnya. Saya mulai sadar bahwa saya merasa suka dengan musik saat saya berumur 10 tahun atau ketika kelas 4 di YPM. Di usia itu saya  menganggap musik seperti sahabat baik; tiap kali pulang sekolah saya latihan sendiri. Lalu tiap kali saya mengalami kejadian menyenangan atau menjengkelkan, pasti ekspresinya bukan cerita ke orangtua tapi malah main piano. Dari situ orangtua saya mulai memperhatikan ketertarikan saya dengan piano. Waktu di level PK, banyak sekali yang ibu Iravati ajarkan kepada saya bukan hanya tentang musik, tetapi juga bagaimana kaitannya dengan menyikapi hidup ini, misalnya mengenai musik yang jujur dan bertanggung jawab, dimainkan oleh penampil yang terus rendah hati. Pemikiran dan ajaran dari beliau membuat saya semakin mengerti betapa indah dan berharganya  belajar musik itu, dan saya semakin yakin dengan menempuh jalan sebagai musisi. Banyak juga program-program konser di YPM yang memotivasi saya untuk terus semakin maju dan mencintai musik. Yang paling berkesan adalah pada tahun 1999 waktu YPM mengadakan konser All-Chopin dimana waktu itu saya memainkan Sonata No. 2. Melihat kolega dan guru-guru senior bagaimana mereka menginterpretasikan karya-karya Chopin, membuat saya semakin mencintai musik.

 

Bagaimana kemudian Anda bisa kuliah musik di luar negeri?

Waktu itu tahun 2000 awal, saya dan orangtua saya mencari info di internet, universitas di Amerika yang menawarkan jurusan musik. Waktu saya mencari sesuai urutan alfabet, munculah nama Abilene Christian University di Texas. Ya sudah saya daftar dan diterima dengan beasiswa penuh. Empat tahun kemudian lulus  Bachelor of Music. Tahun 2006 saya melanjutkan S2 dengan Dean scholarship dan lulus Master of Music dari Indiana University dalam pertunjukan piano, sebelum kembali ke Indonesia.

 

Kapan dan kenapa kembali Indonesia?

Tahun 2006 saya kembali ke Indonesia karena saat itu ada kemungkinan bekerja yang disarankan oleh kolega dan sahabat baik saya, Johannes S. Nugroho, yang pada saat itu merupakan Dekan Fakultas Ilmu Seni di UPH. Beliau bilang ke saya “ayo pulang dan bantuin aku di sini.” Akhirnya saya kembali ke Indonesia dan mengajar di UPH dengan beban tugas yang dipercayakan ke saya sangat sulit, yaitu sebagai ketua jurusan musik; tapi saya bersyukur karena dengan tugas ini membuat saya juga menjadi lebih matang bukan hanya sebagai seorang pribadi tetapi juga sebagai musisi. Empat tahun saya menjabat, dan pada 2010 saya mendapat beasiswa untuk melanjutkan Pendidikan S3 saya di West Virginia University. Tahun 2013 saya lulus dan Kembali ke UPH sampai sekarang menjabat sebagai Asisten Profesor di bidang piano dan sejarah musik Barat.

 

Selama proses belajar yang panjang, pernahkah mengalami  perasaan kesepian, ketidakstabilan, bosan, dan jenuh? Bagaimana Anda mengatasinya?

Ya betul, perasaan-perasaan seperti itu pernah saya rasakan. Waktu di level PK YPM, sering saya jenuh karena beban dari sekolah yang sulit dan saya tidak dapat membagi waktu dengan baik, sehingga setiap kali latihan rasanya kok gak bagus-bagus, yang ada makin jelek. Lalu ada guru yang menyarankan saya untuk pergi dulu jangan latihan piano bahkan kalau perlu 1 minggu, lalu kembali lagi; dan itu benar karena dalam bermain musik, kita harus menjaga hati kita yang selalu excited kalau mau ketemu musik itu, kalau sudah tidak ada excitement lagi, ya latihan kita akan sia-sia. Jadi menjaga hati untuk selalu passionate, love, and excited setiap kali mau bertemu dengan musik penting sekali. Waktu di Indiana University, saya ingat betul, 2 minggu pertama saya telepon orangtua saya untuk mau pulang saja. Sempat merasa minder.  “Wah pa, aku nyerah deh. Semua orang disini mainnya bagus-bagus, buat saya jadi minder,”. Untung orangtua saya terus memaksa untuk berdiri kokoh dan belajar mandiri, ditambah dengan Johannes Nugroho yang terus mendorong dan “menjaga” saya untuk tidak menyerah. Peran Johannes sangat penting untuk saya karena dia bener-bener menjadi “koko” saya yang sangat memperhatikan keberadaan saya selama 1 tahun pertama di Indiana. Waktu saya operasi tendonitis tahun 2005, saya bahkan sudah sempat pupus harapan. Satu minggu setelah operasi, dimana saya harus balik untuk buka perban dan gips di tangan kiri saya, betapa terkejutnya saya karena jari saya lurus semua dan tidak bisa membuat kepalan tangan. Kata dokter “paksa untuk bisa buat kepalan,” dan saya tetap tidak bisa. Di hati saya waktu itu ya udah lah bye-bye musik, dan siap kuliah yang lain. Lalu dokternya pegang tangan saya dan paksa jari saya untuk bisa buat kepalan tangan. Sebelumnya, ada 19 jahitan yang harus dibuka dulu. Waduh saat-saat itu membuat saya agak putus asa, apalagi 4 bulan setelahnya saya tidak dapat menggunakan tangan kiri saya. Bahkan sekarang pun selama saya bekerja, saya juga sudah merasa sulit untuk latihan. Banyak ilmu pengetahuan dan mimpi yang saya mau lakukan di musik, tapi susah karena saya mengajar full time, ditambah dengan tugas Tri Dharma saya, dan kerjaan-kerjaan lainnya, membuat saya jadi sulit berlatih dengan baik. Tapi yang saya lakukan adalah latihan secara mental terus, mikirin dan menyayikan musik terus supaya saya tidak sampai kehilangan passion tersebut.

 

Selain pianis konser, Anda juga pengajar. Bagaimana peran sebagai pianis bisa  membantu Anda mengajar lebih baik, dan sebaliknya?

Enaknya belajar musik itu adalah tidak pernah ada habisnya, sehingga saya selalu belajar, baik dari guru saya, diri saya sendiri, dan murid saya. Yang sebetulnya saya lebih banyak belajar waktu mengajar murid daripada waktu belajar sama guru saya. Kenapa? Karena guru saya memberikan filosofi dan pemikiran yang beraneka ragam, tapi pada saat itu saya mungtin tidak dapat melakukannya langsung karena usia dan maturity dalam bermusik; pada waktu saya ngajar, saya senang sekali karena bisa discover rahasia-rahasia itu semua dengan sharing itu ke murid-murid saya. Misalnya, ada pemikiran seperti ini: selalu spontan dan improvisasi dalam bermain, selama tidak merusak original intention of the composer. Nah, pemikiran ini sangat sulit untuk dicerna dan dimengerti, apalagi dilakukan. Pertanyaan penting adalah bagaimana kita tau original intention composer? Kan sudah meninggal. Jawabannya adalah bagaimana kita bisa penetrate pemikiran dan perasaan kita ke dunia komposer tanpa imitate jiwa komposer itu sendiri, dimana semuanya itu dilihat dari perspektif kita sendiri. Nah itu baru bisa saya aplikasikan penuh ke permainan saya sendiri setelah saya mengajar ke murid-murid.

 

Bagaimana pandangan Anda mengenai pandemi saat ini, khususnya bagi dunia pengajaran dan pertunjukan musik?

Jujur, saya pribadi juga kurang termotivasi dalam melakukan aktvitas musik, khususnya konser, karena tidak ada yang nonton langsung, aura penonton tidak terasakan karena melihat lewat media seperti zoom atau youtube. Tapi di satu sisi saya merasa kondisi pandemi saat ini memudahkan segala hal, karena kita bisa berinteraksi, ketemu dan berbicara serta belajar dengan siapapun yang jauh dan mungkin susah didatangkan karena kesibukan narasumbernya; dan sekarang kita bisa belajar tanpa batas. Jadi kita tetap berpikir positif karena bagaimanapun pandemi ini banyak hal positif yang bisa kita petik dan nikmati.

 

Bagaimana pandangan Anda tentang piano Steinway ?

Piano Steinway certainly provides the highest possible quality untuk seorang pianis dapat mengekspresikan dirinya sendiri secara utuh. Bagi saya pribadi, piano Steinway itu sudah menjadi sahabat bahkan pasangan sejati untuk membuat bunyi musik yang paling artistik dan hidup. Saya merasa Steinway membantu saya untuk meningkatkan permainan saya sendiri karena piano ini merespon dengan sempurna setiap touch yang saya mainkan, dan memberikan hasil suara terbaik yang bisa saya imajinasikan. Piano Steinway menyediakan semua aspek musikalitas dan fasilitas yang dibutuhkan seorang pianis untuk tampil ekselen, bahkan dengan hasil yang melampaui apa yang dibayangkan pianis. Benar-benar mengagumkan.

 

Apa saran Anda untuk pianis muda yang ingin jadi profesional?

Kalau mau jadi profesional pianis, pertama  disiplin dan kerja keras. Musik bukan cuman sekedar mengeksekusi apa yang tertulis di score, tapi juga mencari rahasia yang ada di belakang not-not tersebut. Untuk bisa mencari rahasia itu, kita musti disiplin belajar fundamnetalnya dulu. Jangan mau instan dan jangan percaya apapun yang instan. Musik adalah pembelajaran yang prosesnya lama, jadi jangan percaya sama yang instan-instan. Kedua, tanggung jawab. Belajar musik membuat kita bertanggung jawab terhadap diri sendiri maupun ke orang lain. Kita harus tau sendiri bagaimana kita latihan dan harus selalu sadar untuk terus latihan. Ke orang lain, kita juga bertanggung jawab untuk selalu share musik yang paling bermutu dan berkualitas, gak cuma asal-asalan ala kadarnya. Ketiga, persistence and determination. Ingat bahwa musik adalah proses pembelajaran seumur hidup. Diperlukan vision dan goal yang sangat jauh dan itu semua harus dilakukan dengan determinasi supaya kita gak quit di tengah jalan. Embrace semua proses, senang ataupun jenuh, dan enjoy every single step selama belajar musik. Sebagai tambahan informasi, saksian penampilan saya di YouTube House of Piano Official Channel dalam acara Steinway Concert Series-Hari Kemerdekaan RI, Sabtu 22 Agustus 2020. (*)

Article Bottom Ad