Pembaca Budiman,
SALAH satu cara paling baik untuk mengetahui perasaan seseorang adalah melalui gerak, pandangan, maupun sikapnya. Begitu pula kita mencoba mengenal jiwa seorang seniman musik, melalui liku-liku melodi, warna sebuah akord, bangunan harmoni, maupun irama. Singkatnya, kita mencoba “mengenal” sang seniman melalui musiknya.
Musik memang bukan sekadar bunyi semata. Seringkali in justru merupakan pengakuan manusia, sejarah kemanusiaan. Tak jarang ia menceritakan gemuruh dan gejolak perasaan manusia: kegetiran, penderitaan, kebahagiaan, kegembiraan, semangat, dan beragam kebutuhan hidupnya. Tetapi bagaimanapun wujudnya bunyi dan penggambaran beragam perasaan, prinsip yang tertinggi adalah: keindahan! Inilah puncak pencapaian (belajar) bermusik, sekaligus muara dari semua proses dalam bermusik. Tepat seperti yang dikatakan Beethoven, “Tak peduli bagaimanapun perasaan dalam sebuah musik, ia harus tetap memperlihatkan keindahan,”.
Masalahnya adalah, metode yang mana yang kita pakai untuk mendekati wujud musik? Bagaimana kita menemukan, merasakan, memperkenalkan, dan mengajarkan keindahan di dalamnya? Rasanya, tak ada sebuah metoda pun, kecuali kita bertolak dari musik itu sendiri, dari ciptaan, dan barulah kemudian kita menggunakan metode apa saja yang bisa membantu kita.
Sejarah misalnya, bisa membantu menyelidiki kehidupan sang seniman untuk lebih mudah mengerti musiknya. Tetapi perhatian sejarahwan, tidak selalu sama dengan seorang musikus. Dalam hal ini, sejarah harus digunakan untuk kepentingan musik, dan bukan sebaliknya. Analisa, bisa membantu untuk mengetahui struktur sebuah ciptaan, yang tak kalah peliknya dengan kerja seorang sarjana yang menyelidiki sel-sel di bawah mikroskop.
Mencari persamaan dengan cabang-cabang seni yang lain, berguna untuk mendapatkan pengertian yang lebih terang mengenai gaya dan jiwa sebuah karya musik. Dan perlunya kesadaran bahwa musik bukanlah benda mati, atau sekadar deretan notasi dan tanda-tanda dinamika, akan memberi pemahaman bahwa musik adalah sebuah organisme yang hidup, yang tak hanya mempunyai struktur, tetapi mengandung pula suatu isi, pesan, dan nilai perasaan. “Musik adalah dokumen psikologis,” kata Aaron Copland.
Tetapi semua itu rasanya belum cukup, karena menyelidiki (mengajarkan) musik hanya dari sudut biografi, analitis hermeneutis, maupun sejarah kebudayaan saja, hanya bertumpu pada pikiran (otak) saja. Dengan pikiran, kita jarang tiba pada inti sebuah karya musik. Pada akhirnya, kita harus mempergunakan perasaan, hati yang terbuka untuk segala yang indah. Mungkin ada yang menyukai musik Tchaikovsky, dan ada yang tidak mengerti. Ada yang menilai indah karya-karya Bruckner, ada yang menganggapnya sulit dan membosankan.
Bukan sebuah paradoks jika kita mengatakan bahwa kesalahan tidak terletak pada Tchaikovsky atau pada Bruckner. Seluruh musik tidak terletak hanya pada satu watak manusia! Keindahan adalah soal perasaan. Dan hanya dengan cinta, kita bisa belajar menemukan dan merasakan keindahan. Dengan cinta pula, musik mengajarkan dan diajarkan. Tak ada cara lain. Tak ada tujuan lain. Dari cintalah, semua berawal dan berakhir. “Maka,” kata Beethoven dalam Missa Solemnis, “Keindahan adalah dari hati, dan mudah-mudahan mendapat jalan juga ke hati,”. Begitulah seharusnya musik. Begitulah semestinya cinta.
Salam Musik
Eddy F. Sutanto (Pimred STACCATO)