STUDI mengenai hubungan musik dengan psikologi boleh dibilang baru muncul belakangan, setelah psikologi lahir menjadi cabang ilmu pengetahuan tersendiri. Bagaimana keterkaitan musik dengan psikologi?
HUBUNGAN psikologi dan musik adalah karakteristik sebuah ilmu pengetahuan baru dan ilmu pengetahuan yang telah mapan. Teori musik Barat memiliki sebuah tradisi yang sangat kuno, paling tidak dimulai sejak jaman Pythagoras, dimana pondasi filsafat tradisi yang telah mapan pada masa itu, sampai sekarang tetapa eksis.
Sebagian besar karaketrisik dari tradisi ini adalah rasionalismenya. Berbeda dengan disiplin berbagai ilmu pengetahuan yang lain, perkembangan teori musik lebih dari beberapa ratus tahun yang lalu tidak ditandai dengan sebuah perkembangan atau pertumbuhan dalam metoda empiris.
Ketika sebuah prinsip dari luar diminta sebagai perangkat untuk menjelaskan, maka hampir semua prinsip-prinsip itu ditemukan dan diambil dari ilmu fisika. Konsep musik sebagai sebuah produk yang secara esensi berasal dari proses mekanisme kita, dan karena itu berhubungan langsung dengan psikologi, jarang mendapat perhatian.
Alasan mengapa sudut pandang rasionalistis ini diadopsi, sebagian besar diantaranya tidak terlalu lama diaplikasikan. Satu alasan adalah kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan asal muasal suara. Dapat dimengerti bahwa ketidakmampuan untuk menggolongkan sebuah stimulus atau secara fisik ini, terkendala oleh teori-teori yang berhubungan dengan bagaimana stimulus-stimulus ini dihasilkan.
Sebuah alasan yang berkaitan dengan ini adalah kontrol stimulus yang kurang baik, yang membuat berbagai percobaan begitu sulit. Alasan ketiga adalah kurangnya teknik matematik mempelajari berbagai kemungkinan fenomena.
Bagaimanapun, alasan yang lainnya adalah masih bersama kita hingga hari ini, yakni terletak pada keanehan dan kekhasan musik itu sendiri. Tidak ada kriteria eksternal untuk membedakan musik dan non musik, atau antara musik yang baik dan musik yang kita bagaimana kita merasakan musik jelek. Adalah jelas lebih tergantung, paling tidak, pada beberapa hal dalam pengalaman pribadi. Jadi, relevansi pengalaman secara psikologikal terhadap teori musik, memerlukan definisi hati-hati.
Perspektif Sejarah
Pemikiran mengenai musik telah muncul sejak jaman kuno, namun dasar-dasar teori musik Barat secara umum telah ditemukan oleh Pythagoras, yang hidup antara tahun 570 hingga 497 sebelum Masehi. Penemuan Pythagoras paling besar dalam hal musik adalah mengenai studi tentang interval musikal. Penemuanya yang penting dalam hal itu adalah indentifikasinya atas konsonan musikal dari oktaf kelima dan keempat dengan rasio numerikal 1:2, 2:3, dan 3:4.
Ia juga melakukan beberapa percobaan dan menyimpulkan bahwa tinggi dan rendahnya sebuah getaran string bervariasi secara terbalik dengan panjangnya. Bagaimanapun, Pythagoras dan para pengikutnya pada akhirnya kehilangan rasa percaya dalam metoda empiris dan malah mencoba untuk menjelaskan semua fenomena musikal secara murni dalam pengertian hubungan angka-angka (numerial relationship).
Anaxagoras, pemikir yang hidup tahun 499-428 sebelum Masehi mengatakan bahwa, “Melalui perasaan dan persepsi yang lemah, kita tidak bisa menilai kebenaran”. Dan kemudian Boethius, salah satu tokoh sejarah musik yang hidup di Abad Pertengahan, menulis dalam sebuah buku berjudul “De Institutione Musica”, bahwa “Yang diperlukan adalah, apakah ada pembicaraan lebih lanjut mengenai kesalahpengertian ketika tingkat pengertian yang sama tidak juga sama pada semua manusia. Karena itu, setiap orang mendefinisikan kebenaran, sesuai dengan apa yang dianggap benar”.
Pandangan bahwa musik sebaiknya diteliti dengan melihat dari hubungan angka-angka melulu, merupakan bentuk perkembangan teori musik sejak jaman Pythagoras. Dalam pandangan ini, matematika memegang peranan ideal, dimana dunia perasaan dan persepsi hanya bisa ditiru. Oleh karenanya, prosedur percobaan menjadi tidak relevan. Jika hasil percobaan sesuai dengan teori, kemudian mereka berlebihan. Tapi jika hasilnya bertentangan dengan teori, mereka kemudian kecewa dan putus asa.
Pengaruh kuat lainnya pada teori musik yang berangkat dari pemikiran para pengikut Pythagoras adalah keyakinan bahwa puncak fenomena pemikiran musikal terletak pada fisika. Hingga revolusi Copernicus, keyakinan tersebut tidak berubah. Orang-orang meyakini bahwa musik adalah sebuah refleksi suara yang berasal dari para penghuni surga, atau benda-benda surgawi.
Aristoteles dalam “De Caelo”, mengatakan hal itu berangkat dari pemikiran bahwa gerakan benda-benda dalam ukuran astronomi pasti menghasilkan suara, karena di gerakan-gerakan benda atas bumi kita jauh lebih kecil dalam hal ukuran dan kecepatan gerakannya, hal itu memberikan efek.
Juga ketika matahari dan bulan, dan semua bintang, yang begitu besar dalam jumlah dan ukuran, bergerak beraturan, bagaimana mungkin hal itu tidak menghasilkan suara begitu hebat? Berawal dari argumen ini, dan dari observasi kecepatannya, sebagaimana diukur dengan jarak mereka, semua dalam rasio yang sama sebagaimana deretan musikal, mereka menyatakan bahwa suara yang dihasilkan dari gerakan memutar dari bintang-bintang adalah harmoni.
Gambar di bawah ini menunjukkan bahwa jarak relative dari gerakan-gerakan bersifat surgawi satu dengan lainnya terpampang, bersama-sama dengan interval musikal terbentuk dengan cara demikian.
Melalui gambar ini bisa dilihat jarak antara Bumi dengan Bulan membentuk sebuah nada yang luas, dari Bulan ke Merkuri sebuah semitone, dari Merkuri ke Venus sebuah semitone, dari Venus ke Matahari sebuah nada dan setengah nada, dari Matahari ke Mars sebuah nada luas, dari Mars ke Jupiter sebuah semitone, dari Jupiter ke Saturnus sebuah semitone, dan akhirnya dari Saturnus ke langit yang lebih luas sebuah semitone. Perhatikan lebih lanjut bahwa jarak antara Bumi dengan langit yang lebih luas membentuk sebuah oktav.
Teori harmoni dalam lingkaran adalah sesuatu yang atraktif, karena hal itu memberikan jawaban beberapa pertanyaan fundamental mengenai musik. Pertama, mengapa musik ada pada tempat pertama, dan jawabannya adalah bahwa ia dipergunakan sebagai sebuah refleksi dari harmony yang hebat.
Kedua, mengapa interval-interval musikal tertentu (konsonan) terasa menyenangkan kita, sementara lainnya tidak. Dan jawabannya disini adalah bahwa konsonan-konsonan adalah interval-interval yang hadir dalam harmoni hebat ini. Teori memiliki nilai normatif karena memberikan batas kondisi-kondisi untuk membedakan musik dan non musik. (eds)