TERLAHIR dengan pribadi yang cenderung pendiam dan introvert, Regina Adelia Tanujaya atau yang lebih dikenal dengan panggilan Regina Tanujaya, bertransformasi menjadi sosok yang supel, ramah, terbuka dan mudah bergaul dengan siapa saja. Piano telah mengubahnya. Bukan sekedar karena profesinya sebagai pengajar sekaligus pianis, tetapi filosofi musik sebagai bahasa universal, telah mendewasakannya untuk tidak asyik dengan diri sendiri. Berikut bincang singkatnya di Steinway Family Story
Sejak kapan belajar piano?
Mulai les piano usia 4 tahun karena disuruh orang tua. Waktu itu belum begitu tertarik dengan piano selain karena mengikuti kemauan orang tua saja. Namanya juga anak kecil, ya mesti nurut kemauan orang tuanya. Lama-lama ternyata saya mulai bisa merasakan asyik juga ya belajar piano, terutama ketika kemudian saya menang di lomba-lomba piano. Waktu itu banyak teman mamaku dan juga guru-guru bilang kalau saya berbakat. Saya sendiri belum menyadari apakah saya berbakat atau tidak. Yang jelas saya merasa senang sih waktu menang lomba piano. Ada rasa bangga dan mendorong saya untuk latihan terus, sampai akhirnya saya jadi tidak bisa lepas dari piano. Pada kira-kira umur 10 tahun saya mulai menyadari bahwa saya mulai menyukai piano
Apakah kesadaran itu muncul natural atau karena paksaan dari luar? Dari orang tua misalnya?
Rasanya natural sih… kesadaran itu muncul dari dalam diri saya sendiri. Yakni, ketika saya merasa tidak bisa lepas dari piano. Tiap hari latihan, dan saya menikmatinya. Kalau ada lomba pasti ikut. Saya juga senang main piano di hadapan banyak orang. Saya akui peran orang tua saya dalam hal ini sangat besar karena secara langsung atau tidak, merekalah yang membangun kesadaran saya sejak dini. Jadi pondasi kecintaan saya dengan musik, piano khususnya, dibangun sejak awal oleh orang tua saya yang tekun mengantar saya les, membiayai les, membelikan piano, dan tentu saja memberi kesempatan saya mengikuti berbagai kegiatan musik.
Dalam prosesnya, apakah kesadaran itu berjalan mulus-mulus saja?
Nggak juga sih hahaha….khususnya pada saat saya menginjak remaja. Usia remaja kan usia dimana seorang anak mulai banyak maunya. Misalnya, saya juga kadang perlu juga hang out dengan teman-teman, pingin inilah, pingin itulah…Nah disitu saya mulai merasa kewajiban latihan piano itu sedikit banyak menghalangi keinginan saya yang lain. Seringkali saya juga bertabrakan dengan kemauan orang tua saya. Saya maunya begini, orang tua maunya begitu. Sehingga mulai muncul perasaan malas untuk latihan. Latihan piano itu kan bisa berjam-jam, dan hampir setiap hari. Jenuh dan menjemukan. Saya juga mulai malas ikut lomba piano lagi. Yang aneh adalah, semakin saya mulai menjauhi piano, justru semakin membuat saya rindu dengan piano. Rasanya ada sesuatu yang hilang kalau nggak latihan. Kadang kalau lagi jenuh atau bad mood, saya larinya justru ke piano, bukan nonton bioskop atau jalan-jalan ke plaza hahaha…
Artinya, Anda memang tidak bisa lepas dari piano?
Kira-kira begitu, karena pada akhirnya saya harus menyadari bahwa ternyata passion saya sepertinya di musik. Karena sejak kecil sudah dibiasakan untuk latihan setiap hari, kebiasaan itu tidak bisa dihilangkan begitu saja oleh sekedar nonton bioskop misalnya, atau hang out dengan teman-teman, atau apapun yang saya lakukan untuk sekedar mengikuti kecenderungan usia remaja saya. Pada akhirnya saya dituntun untuk kembali ke piano. Muncul kesadaran bahwa kalau saya tidak latihan, maka skill pianistic saya tidak akan berkembang. Saya akan tertinggal jauh dengan teman-teman lainnya, dan membiarkan waktu berlalu begitu saja dengan sia-sia tanpa sesuatu yang berarti untuk meningkatkan keterampilan saya. Dan itu, sebuah kerugian yang besar bagi saya, juga orang tua saya yang sudah mengeluarkan investasi besar dalam hal ini. Nah kesadaran untuk meningkatkan keterampilan itu muncul alamiah sebagai respon dari passion saya yang memang ada di musik. Sampai akhirnya saya merasa bahwa, kalau nggak latihan itu kok aneh ya. Ada sesuatu yang hilang dari diri saya. Lalu muncul rasa bersalah kok tidak latihan, padahal sejak kecil sehari-hari ya latihan terus. Jadi tanpa saya sadari, saya seperti didorong dari dalam diri saya untuk kembali latihan dan latihan lagi. Seperti itu prosesnya sampai akhirnya saya memutuskan untuk serius menekuni kembali piano saya
Anda sejak kecil banyak memenangkan kompetisi piano. Apa makna kompetisi piano menurut Anda?
Ini sebuah pertanyaan yang sulit hahaha….karena ada yang pro dan kontra soal kompetisi piano. Saya pribadi berpendapat bahwa kompetisi piano bermanfaat bagi pendidikan musik anak-anak. Setidaknya anak-anak jadi lebih termotivasi. Membawa pulang penghargaan dan mendapatkan pengakuan di sebuah kompetisi tentu sangat membanggakan dan bisa menjadi daya dorong untuk lebih meningkatkan diri lagi di kemudian hari. Kompetisi juga bisa menjadi cara untuk menjadikan siswa lebih tekun, disiplin, dan fokus. Mempersiapkan sebuah kompetisi akan melibatkan latihan yang lebih terfokus dan mengajari anak cara menyelami lebih dalam dan benar-benar menguasai setiap aspek dari sebuah karya musik. Mereka bekerja lebih keras dan lebih efisien. Mengikuti kompetisi piano juga kesempatan bagus untuk mempelajari keterampilan baru dan mengasah keterampilan yang sudah ada. Selain pengembangan diri yang berharga, kompetisi piano juga bermanfaat bagi perkembangan anak secara umum. Dalam kompetisi piano, tidak semua orang bisa meraih juara pertama, namun semua orang yang terlibat tetap bisa memetik pelajaran berharga. Kesalahan, kegagalan, kritik dan masukan, mengajarkan siswa untuk mengidentifikasi masalah, memperbaiki kekurangan, mengatur ulang tujuan mereka, dan mereka memahami pentingnya proses pemecahan masalah. Anak-anak yang memiliki motivasi tinggi dalam berkompetisi, biasanya menunjukkan tingkat kreativitas, ketekunan, dan harga diri yang lebih tinggi. Sederhananya, daya saing dari berpartisipasi dalam kompetisi piano dapat mendorong kebiasaan sehat dan menghasilkan keunggulan di tempat lain dalam kehidupan anak. Bagi saya pribadi, lingkungan belajar yang diciptakan oleh kompetisi piano benar-benar berharga bagi perkembangan kemampuan bermusik saya dan mengajarkan pelajaran yang tidak dapat diperoleh melalui latihan rutin. Bagi seorang siswa piano, hanya sedikit lingkungan yang menawarkan banyak peluang untuk pertumbuhan musik, seperti halnya kompetisi piano.
Anda tidak melihat sisi negatif dari kompetisi piano?
Mungkin saja ada sisi negatifnya, dan itu tergantung persepsi setiap orang. Tapi dalam segi apapun, saya mencoba untuk selalu berpikir positif. Bahkan dalam menerima kekalahan pun, selalu ada sisi positif yang bisa kita ambil. Saya juga pernah kalah dalam kompetisi piano, tetapi saya tidak merasa itu sebagai sebuah kekalahan sehingga membuat saya down. Tidak. Saya selalu menganggap hanya karena belum beruntung saja. Jadi saya santai saja. Kemenangan dan kegagalan itu biasa dalam hidup. Hadapai dan nikmati saja hahaha…
Bagaimana Anda bisa belajar piano ke luar negeri?
Waktu SMA saya belajar dengan ibu Ivon Maria di Surabaya dan dengan pak Johannes Sebastian Nugroho di Jakarta, yang lulusan Amerika. Nah saya dapat referensi guru dari pak Johannes, namanya Steven Spooner, jika mau melanjutkan belajar musiknya di luar negeri. Maka bertemulah saya dengan Steven Spooner, dan setelah melalui serangkaian audisi, saya diterima di University of Kansas untuk program S1 dengan beasiswa penuh. Saya lulus S1 dengan predikat Magna Cumlaude dengan gelar Bachelor of Music in Piano Performance. Saya kemudian melanjutkan S2 di University of Michigan di Ann Arbor, Michigan. Nah untuk yang S3-nya, sebenarnya tidak pernah saya rencanakan.
Kenapa?
Jadi waktu itu liburan, dan saya mengunjungi teman di Kansas, bertepatan dengan tahun ajaran baru. Iseng-iseng saya cari info untuk S3 di University of Missouri di Kansas City yang ada beasiswanya. Ternyata ada. Iseng-iseng saya ikut audisi, eh…diterima dan malah menjadi asisten dosen. Ya sudah, saya ambil kesempatan itu. Saat S3 ini ketemu guru saya, Alon Goldstein, concert pianist yang banyak buka jalan buat karier saya. Dia memiliki jaringan dan relasi yang luas. Dialah yang banyak kenalkan saya dengan relasinya, dan mendorong saya untuk tampil. Untuk eksplor
Bisa diceritakan pengalaman tampil Anda?
Beberapa diantaranya adalah tampil solo di Kauffman Center for the Performing Arts di Kansas City pada tahun 2013. Lalu saat musim panas 2019, mengadakan konser tur di enam kota berbeda di Republik Ceko, termasuk Praha, tampil solo di Steinway Hall – Detroit pada Maret 2023. Saya juga aktif tampil di berbagai rangkaian konser dan pemutaran perdana karya-karya baru, dan sebagai anggota Neo-Art Piano Duo, saya menampilkan program favorit penonton dan aransemen sendiri. Pada musim panas 2021 terpilih sebagai salah satu Pedagogy Fellows untuk Conero International Music Festival dan tampil dalam konferensi pedagogi yang disiarkan di seluruh dunia. Tahun 2020, saya diundang untuk memberikan ceramah dan kelas master di Perkemahan Musim Panas Online Illumine Star Academy, Toronto, Kanada, menjadi juri di berbagai ujian dan kompetisi, termasuk seleksi pra-penyaringan Kompetisi Piano Internasional Wideman, Kompetisi Festival Musik Terbuka New York 2022, Festival Musik Online Indonesia 2021, dan Audisi Prestasi KCMTA 2019. Masih banyak sih lainnya
Apa saja kegiatan Anda saat ini?
Saya lebih banyak mengajar dan perform. Sesekali juga membuat artikel musik dan aransemen. Sekarang saya menjadi professor di Fakultas Piano di MidAmerica Nazarene University dan Kansas City Kansas Community College. Saya juga mengajar di Barstow School di Kansas City, Missouri. Sebagai pianis, saya menjadi Orchestra Pianist di Topeka Symphony Orchestra. Juga punya grup Duo Piano, namanya Neo-Art bersama pianis Italy, Matteo Generani. Barusan duo kita ini diundang main di Florida
Kelihatannya Anda kerasan di luar negeri ya? Ada keinginan untuk balik ke Indonesia?
Ada sih, tapi sekali-kali saja, sekedar kunjungan singkat hehehe….Untuk stay dan karier, mungkin saya lebih suka di sini. Kalau dipikir-pikir, saya datang ke Amerika kan waktu umur 18 tahun. Jadi saat usia anak-anak saya tinggal di Indonesia, dan setelah dewasa saya tinggal di sini. Saya pikir, nggak apa-apa sih hahaha….Kesempatan perform juga banyak di sini. Untuk mengajar juga terbuka lebar kesempatannya. Dan yang penting barangkali, setelah lulus S3 saya langsung dapat kesempatan mengajar di sini. Jadi ya saya jalani sampai sekarang
Apa yang bisa Anda sarankan untuk anak-anak muda kita yang saat ini belajar dan berkarier di musik?
Yang jelas harus terbuka, banyak bergaul dan bekerjasama dengan orang lain. Jangan jadi orang yang kaku. Lakukan banyak hal yang tidak hanya latihan-latihan piano saja. Kadang saya merasa, banyak pianis, atau murid, terlalu fokus hanya untuk latihan saja, main harus perfect ya bagus sih, tapi jika terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk hal itu, akhirnya melewatkan kesempatan untuk network sama orang, atau melakukan banyak hal di dunia nyata. Oke mainnya perfect, tapi kalau tidak banyak orang yang tahu, kan percuma? Saya dapat kerjaan dan proyek, awalnya gara-gara dikenalkan orang. Kalau saya latihan piano terus di dalam ruangan, kan nggak ada orang yang tahu saya. Latihan memang perlu, tapi perlu juga membangun koneksi dengan banyak komunitas. Saya dulu pendiam lho. Introvert. Piano mengubah saya menjadi pribadi yang terbuka hahaha…
Sebagai pianis dan pengajar musik, bagaimana pendapat Anda terhadap Piano Steinway ?
Menurut saya Steinway memang paling bagus. Orang mungkin punya skill untuk bikin musik bagus, tapi kalau pianonya jelek, musiknya nggak keluar. Steinway banyak digunakan di gedung konser di dunia, dan itu ada alasanya karena Steinway memang piano yang bisa memenuhi kebutuhan pianis untuk melahirkan musik yang bagus. (*)