Oleh: Michael Gunadi Widjaja (Gitaris Klasik dan Pemerhati Musik)
Pada paruh ke-2 dari tahun 1800, sejarah musik mencatat sebuah peristiwa besar, yakni yang dikenal dalam sejarah musik sebagai “War of The Romantics”. Istilahnya memang “perang”. Namun tanpa tanding dan jelas tak ada korban jiwa.
“War of The Romantics”, sesungguhnya lebih tepat dilukiskan sebagai perang dalam artian konflik. Antara dua faham filosofia musik yang berbeda. Aliran filosofi yang pertama adalah yang dikenal sebagai “The New German School”. Mazhab filosofia ini dimotori oleh Franz Liszt dan Richard Wagner.
Pada waktu itu, Franz Liszt melontarkan quotes nya yang sangat terkenal: “The Wines Required New Bottles”. Anggur baru selalu butuh botol baru. Ini adalah sebuah sindiran sekaligus tantangan. Bahwa Liszt sudah siap untuk sebuah pembaharuan musik dan tentu, dia sudah menyiapkan botolnya.
Berbeda dengan Liszt, Wagner memiliki aneka quotes dan konsep pemikiran yang yahud sekaligus membuat merinding dan mendirikan bulu kuduk. Bagi Wagner, Opera is the future of music. Bagi Wagner, Beethoven Ninth Symphony is the end of all Symphony. Dan Wagner benar. Sejak 1850 memang kemudian tidak ada lagi karya simfoni dengan tata gramatik dan idiom sebagaimana lazimnya simfoni di era Romantik, terutama yang khas Beethoven.
Hal lain yang cukup revolusioner adalah sebuah pernyataan bahwa, nantinya, musik tak lagi berlandaskan dan/atau berasaskan simfonikal. Namun musik akan semakin berwujud Programatik. Bersesuaian dan berkorelasi dengan pencitraan, gambaran, dan alur cerita yang ketat.
Pernyataan Wagner sesungguhnya adalah pengagungan terhadap Beethoven. Bahwa Simfonia Beethoven adalah kulminasi. Mentok. Puncak dari kehebatan karya simfoni. Maka tak berlebihan jika mazhab atau aliran ini mengklaim diri sebagai penerus Beethoven.
Kubu kedua adalah kubu konservatif atau kolot. Termasuk dalam golongan ini adalah Felix Mendelssohn, Schumann dan Brahms. Schumann sebetulnya adalah komposer yang berpikiran maju. Namun entah mengapa, ia bisa berada dalam sebuah kubu konservatif.
Mohon perhatikan gambar tersebut. Berbeda dengan kubu pertama (Liszt dan Wagner), kubu konservatif selalu dicitrakan sebagai Circle Among Friends. Dan memang ada relasi yang sulit untuk dijabarkan. Terutama menyangkut hubungan khusus antara Brahms dan Clara Schumann.
Sama halnya dengan kubu pertama, kubu konservatif pun memiliki quotes dan konsep pemikiran yang cemerlang. Mereka mengedepankan karya yang Pure dan Musik yang Absolut atau berlaku mutlak. Gayanya juga masa lalu. Tradisional dan old way of doing things. Termasuk teknik dan kelaziman membuat komposisi. Anehnya, yang konservatif pun, sebagaimana dengan yang modern, mengklaim juga sebagai penerus Beethoven.
Secara ideologis, War of The Romantics merupakan sebuah tonggak sejarah konflik dua filosofia musik. Meski demikian, keadaan masyarakat jaman itu sama sekali cuek dan tak ambil pusing. Malahan beredar saat itu bentuk budaya baru. Yakni Concert Culture.
Pertunjukan musik masuk pada babakan sebagai sebuah seni yang sangat spektakuler. Penonton konser berjumlah banyak dan dari kalangan yang sungguh beragam. Gedung konser luar biasa megah pun dibangun di mana-mana. Termasuk gedung konser di Wina yang bertahan dan menjadi lambang supremasi budaya Musik Klasik hingga hari ini.
Untuk mengimbangi kemegahan gedung konser, audiens yang selalu banyak dan beragam, penyelenggara membutuhkan established masterpiece. Nah, pada waktu itu disodorkan karya-karya Haydn dan Mozart. Namun karya tersebut terasa kurang baru.
Dalam kancah seperti itulah, Johannes Brahms secara introvert tampil dan diperhitungkan. Keberadaan Brahms didahului oleh artikel yang ditulis Schumann. Dalam artikelnya, Schumann bahkan berani mengatakan Brahms adalah The Chosen One. Seorang yang terpilih yang akan menghantarkan tatanan musik menjadi sangat berbeda.
Dengan pernyataannya ini, Schumann sebetulnya sudah keluar dari mazhab filosofia konservatif. Schumann sudah tidak konservatif lagi. Schumann sudah think of new karena memikirkan tatanan musik yang baru.
Demikian, pada akhirnya, seorang pemuda, Johannes Brahms menjadi pembaharu. Tantangannya sungguh luar biasa. Sebagai komposer debutan, Brahms harus berhadapan dengan citra para komposer yang sudah terkenal bahkan melegenda, seperti: Mozart, Haydn, dan bahkan Beethoven.
Cara yang ditempuh Brahms untuk bersaing dengan para legenda, sungguh menakjubkan. Brahms menggunakan teknik asimilasi. Teknik dan gaya komposisinya adalah gaya kuno, namun konsep musiknya fresh dan original.
Bagi Brahms, mengasimilasi gaya dan teknik kuno ke dalam konsepsi yang fresh bukanlah hal baru. Ini akibat kematangannya dalam studi karya komposisi Bach dan beberapa komposer kenamaan era Barok. Hasilnya saat berusia 23 tahun, Brahms mengejutkan blantika musik dengan karyanya Sacred Song. Yang pada dasarnya adalah sebuah sajian Double Cannon.
Pada usia ini pula, Brahms memulai pembaharuan dengan sketsa Simfoni-nya. Sayangnya, sketsa simfoni ini baru selesai untuk first movement nya saja setelah dikerjakan selama 6 tahun. Dan orang pertama yang mendengarkannya adalah Clara Schumann. Begini komentar Clara: “Everything is so interestingly interwoven, yet as spirited as the first outburst; One is thrilled by it to the full, without being reminded of the craft.”
Setelah first movement selesai, masih butuh 14 tahun bagi Brahms untuk menyelesaikan Simfoni pertamanya. Dan itu terjadi saat dirinya di usia 43 tahun. Lanskap kompositoris dari Simfoni 1 Brahms sangat Beethoven. Beethovenian, struggle to Victory. Triumph over Struggle.
Sedemikian miripnya alur Simfoni Brahms dengan Simfoni Beethoven, hingga Hans von Bulow, mensitir bahwa karya simfoni Brahms adalah The Beethoven’s Tenth Symphony. Namun demikian, kritik dari Hans von Bulow ini memiliki nilai ambiguitas. Von Bulow sendiri berada di kubu New German School bersama Wagner. Ucapan Von Bulow bahwa Sinfoni Brahms setara dan pantas disebut simfoni ke-10 alla Beethoven menunjukkan keberpihakannya pada kubu konservatif.
Jika ingin obyektif, sebetulnya, Simfoni karya Brahms bersifat ultra motivic. Banyak motif yang terajut tiba-tiba. Tidak seperti Simfoni Beethoven yang simetris dalam motif. Berikut
ini ilustrasi ultra motivic dari Simfoni Brahms:
Terlihat rangkaian begitu banyak motif yang bisa terajut dengan mendadak dan seketika. Depan dan development serta rekapitulasinya bisa memiliki berbagai motif melodi. Tidak seperti alur Simfoni Beethoven yang simetris dan runut dari awal, development dan rekapitulasinya. Jadi jika demikian, siapakah sang pembaharu. The new German School bersama Wagner, ataukah Brahms?
Di era sekarang ini, sang pembaharu masih saja terus dan akan terus dicari karena memang sangat dibutuhkan. Konflik antara dua kubu sebagaimana German School VS Brahms, masih ada relevansinya di jaman sekarang ini. Bahkan ketika musik digerus dan dikeremus oleh Pandemi COVID-19.
Kubu-kubuan semacam ini masih saja kental. Banyak dan bahkan terlampau banyak, kursus musik, sekolah musik, bahkan yang menamakan dirinya sebagai sebuah “Konservatori” , terjebak dalam dikotomi semacam ini. “Perseteruan” masih saja berlangsung. Banyak yang tetap tidak mau meninggalkan zona nyamannya.
Yang old school masih saja bersikukuh dengan Beyer, Devernoy, Heller, Lemoine dan etude Hanon, meskipun siswanya terkantuk-kantuk dan setengah menjerit-jerit dalam hati kecilnya. Ada juga yang berusaha ikut arus modern dengan mengajarkan Musik Pop secara serampangan dengan didaktik dan metodik yang hwarakadah bubrah tidak karuan juntrungannya.
Mulai marak juga yang menggunakan mix method. Ya klasik dicampur dengan musik-musik yang “ringan” agar siswanya tidak depresi, sehingga tetap les terus dan nafkah jadi lancar. Masih sangat jarang yang memberlakukan “tailor made method” atau methode yang berbeda untuk tiap siswa , karena dalam musik, setip siswa adalah unik.
Sama seperti War of Romantics, kubu-kubuan Wagner vs Brahms, jaman sekarang, tiap kubu juga ada pengikutnya. Mereka adalah para parents. Sebetulnya mereka, para parents ini adalah sekumpulan orang yang sok pintar. Mengerti sedikit tentang musik, namun lagak dan gayanya seperti maha Professor. “Apa?! Kok anak saya diberi Jazz? No! Dia harus main Chopin!” (Padahal melafalkan Chopin saja keliru dan hanya ikut ikutan).
“Lho? Apa ini? Kok anak saya diajarin pop pop an….Itu sih sopir saya juga bisa main begitu!” Dia tidak tahu, bahwa ABRSM, dan RSL AWARD sudah tidak 100% klasik dalam materi ujiannya.
War of Romantics, kubu-kubuan, telah tercatat dalam sejarah sebagai rona napak tilas musik dalam peradaban umat manusia. Imbasnya tetap ada dan tak lekang oleh jaman. Manusianya tentu berganti, adab dan adat serta istiadat tentulah sudah banyak berkembang. Namun ada satu esensinya. Manusia rupanya tetap suka kubu-kubuan. Dan nampaknya, akan selalu ada “perang” antar kubu. Apa yang dicari?
Perekembangan jaman sekarang ini mengkeremus hampir segala kemapanan. Sulit untuk menetapkan apa hasil dari ontran-ontran kubu-kubuan. Sesekali mungkin dengan permenungan, kita bisa menarik simpul kebaikan. Atau biarlah musik tetap menjadi dirinya.Sebagai musik. Bukan sebagai matra, marka dan entitas yang diperlakukan seperti sepotong kue coklat. (*)