Sejarah Musik, Antara Persepsi dan Empirik

287

Article Top Ad

SEJARAH teori musik terbelah dalam dua pandangan. Yang pertama, apakah musik sesuatu yang lebih bersifat persepsi? Dan kedua, apakah musik sesuatu yang bersifat empirik, yang harus didekati dengan pendekatan matematikal?

Secara umum para ahli teori jaman Yunani kuno mengikuti pendekatan numerological (logika angka-angka) yang dikembangkan Phytagoras dan para pengikutnya dalam melihat fenomena musik. Hal ini, pengecualian yang terkenal.

Namun agak sedikit berbeda, bahwa salah seorang pengikut Pythagoras, yakni Aristoxenus (lahir tahun 320 sebelum Masehi), justru melihat scara jelas bahwa musik tidak bisa dipahami dengan kontemplasi hubungan secara matematika saja. Dia berargumen bahwa mempelajari musik seharusnya dimengerti sebagai sebuah ilmu pengetahuan empiris dan bahwa fenomena musikal secara mendasar dimengerti dalam konteks alam raya.

Article Inline Ad

Dalam karyanya, Harmonic Elements, Aristoxenus menulis bahwa untuk membedakan sesuatu bersifat melodius dan tidak melodius, secara sederhana dapat ditemukan dalam kata-kata pada sebuah kalimat. Dalam sebuah bahasa, terdapat huruf-huruf berperan sebagai penghubung, dan manusia menyuarakannya dalam berbagai cara, ada yang tampak sebegitu merdu, ada pula yang tidak merdu.

Aristoxenus juga mengatakan, secara sederhana dapat dikatakan bahwa untuk memahami sebuah melodi diperlukan rasakan dan daya cerap atau intelek, sebagai sebuah persepsi. Jelas hal ini kemudian ada hubungannya sama sekali dengan pendekatan numerical yang diusung Pythagoras.

Sayangnya, pendekatan Aristoxenus ini tidak dikembangkan lebih jauh. Bahkan para ahli teori musik di abad Pertengahan dan Renaissance kembali ke pendekatan numerikal.
Revolusi ilmu pengetahuan di abad 16 dan 17 memiliki sebuah dampak besar pada teori musik. Pertama, kemajuan dalam bidang astronomi memaksa para ahli teori untuk menjauhkan pandangan bahwa alam raya adalah sebuah harmoni, dan bahwa konsonan musikal merefleksikan harmoni ini.

Kedua, kemajuan dalam pemahaman sifat-sifat dari senar yang bergetar membawake sebuah re-evaluation sejumlah aturan dalam penjelasan musikal, dimana rasio numerikal lebih berarti dalam pemakaiannya pada sifat-sifat instrument yang menghasilkan suara.
Penyelidikan dan penelitian terus dilakukan untuk menguji sejauhmana musik memiliki hubungan dengan angka-angka, hubungan antara tinggi rendahnya nada dan prekuensi, dan korelasi fisikal antara konsonan dan disonan. Para pemikir mulai banyak mengadopsi pendekatan-pendekatan empirik terhadap masalah-masalah musikal secara umum.

Giovanni Battista Benedetti (1530-1590) dan Vincenzo Galilei (1520-1591) adalah pemikir-pemikir yang begitu getol meneliti aspek-aspek musikal dengan pendekatan empirik. Benedetti barangkali orang pertama yang menghubungkan sensasi tangga nada dan konsonan untuk membuat tingkatan vibrasi.

Sementara Galilei mendemontrasikan dengan percobaan bahwa gabungan konsonan interval dengan rasio numerikal sederhana bisa terjadi hanya ketika mereka merepresentasikan panjang tabung atau senar dan juga ketika faktor-faktor lainnya bergabung secara konstan.

Ia memberi contoh, bahwa hubungan seperti itu tidak dapat berlaku untuk daya berat relative dari palu pemukul, atau tidak juga untuk volume-volume yang mengelilingi lonceng. Ia juga berargumen bahwa perdebatan mengenai system tuning adalah sia-sia, karena telinga tidak bisa mendeteksi nada-nada rendah yang berbeda di bawah perdebatan. Ia menawarkan sebuah teori baru dasar-dasar counterpoint melalui latihan-latihan musikal, daripada menampilkan fenomena-fenomena musikal. Dan dia menekankan dengan kuat bagi penggunaan metode empiric dalam mempelajari musik.

Bagaimanapun, pemikir seperti Galilei tidak terlalu banyak, dan hasil pemikirannya tetap menantang untuk terus diperdebatkan secara rasional. Sejajar dengan kemajuan para ahli dalam menyelidiki suara, para komposer abad 16 dan 17 secara khusus mulai aktif dalam percobaan-percobaan dengan teknik-teknik baru.

Pada saat yang sama muncul sebuah kebutuhan sebuah sintesa teori baru untuk membenarkan secara umum latihan-latihan musikal dan untuk menghubungkan ini dengan pengetahuan dan penemuan-penemuan baru ilmu pengetahuan. Jean-Philippe Rameau (1683-1764) adalah komposer yang terus menerus mengeksplorasi hal ini. Sistematika dasar-dasar teori harmony tradisional Rameau masih dikenal hingga saat ini.

Dengan melakukan analisa komposisi dari para komposer pendahulu maupun sejamannya, dan dengan menggabungkan hasil analisa mereka, Rameau tiba pada konsep dan hukum-hukum fundamental yang sangat penting, seperti susunan chord, pembentukan chord dari akarnya, dasar-dasar perpindahan chord, dan sebagainya.

Dalam satu hal, sintesa yang dibuat Rameau dapat dianggap sebagai sebuah kemajuan besar dalam psikologikal, dimana iamerangkai semua data dari latihan-latihan musik yang dilakukannya untuk membuat formulasi sebuah teori yang jelas dari struktur musik yang abstrak.

Bagaimanapun, Rameau tidak menganggap musik sebagai produk yang secara esensial berasal dari mekanisme penerimaan dan persepsi. Sebaliknya, dia merasa perlu membenarkan sistemnya dalam pengertian sebuah prinsip fisikal, yang tidak bisa menghindarkan diri dari matematika, dalam penga pengambilan kesimpulan.

“Musik adalah sebuah ilmu pengetahuan aturan-aturan, dimana aturan-aturan ini sebaiknya dipisahkan dari sebuah prinsip yang terbukti sendiri, dan dan prinsip ini bisa saja tidak mungkin diketahui kita tanpa bantuan matematika,” kata Rameau.

Pendekatan Rameau memberi isnpirasi bagi pemikir-pemikir lain untuk menmengeksploitasi musik, terutama yang berhubungan dengan suara. Mereka antara lain Galileo, Mersenne, Descartes, Kepler, dan Huygens. Tetapi ahli teori musik paling terkenal adalah Hermann von Helmholtz (1831-1894), dengan bukunya “On the Sensations of Tone”, yang masih menjadi acuan sarjana-sarjana musik hingga saat ini.

Helmholtz melihat dengan jelas bahwa fenomena musical membutuhkan pengertian yang jelas dari mekanisme proses pendengarnya. Ia melakukan percobaan penting dalam hal menyangkut persepsi tangga nada, kombinasi nada, irama, ketukan, konsonan dan disonan. Kemajuan teknologi dewasa ini, telah membawa pemahaman yang lebih rumit di kalangan ahli teori musik.

Perkembangan chromaticism di dalam dasar-dasar musik abad 19 dan awal abad 20 seperti yang terdapat pada musik-musik Wagner, Debussy, Moussorgsky, dan Mahler, menampakkan sebuah perubahan mendasar dalam konsep harmoni. Belum lagi konsep tonal dan atonal, dan munculnya system 12 nada yang dikembangkan Schoenberg.

Dengan bantuan teknologi komputer, para ahli psikologi saat ini secara umum dapat mengenali gejala-gejala dengan presisi tepat dan untuk mencoba menelaah musik dalam sebuah pola ekseperimen yang terkontrol. Pada saat yang sama, para komposer juga begitu tertarik dalam memanfaatkan computer sebagai alat untuk membuat komposisi.

Sebagai sebuah hasil dari perkembangan dua bidang ini: musik dan psikologi, bukan hanya memungkinkan terjadinya ekspansi dari dan ke dua bidang itu, tetapi memungkinkan juga kolaborasi antara para musisi dan psikolog. Bukan tidak mungkin, dalam dekade-dekade mendatang, psikologi memiliki tempat menetap dalam teori musik. (eds)

Article Bottom Ad