MENJALANI berbagai macam pekerjaan sejak usia muda, tak membuat Widyanti bisa melupakan kecintaannya pada musik. Menjadi loper majalah, jurnalis, penyiar radio, kerja di kantor pemerintahan, kerja di kantor advokat, menjadi asisten dosen, kerja di perusahaan farmasi, kerja di otomotif, semua pernah dijalaninya. Tetapi musik agaknya denyut nadinya. Musik adalah detak jantungnya. Musik adalah hidupnya. Pekerjaan apapun yang dijalani, tetap musik ada di hatinya. Dan ketika harus eksodus ke Pontianak mengikuti sang suami, Widyanti mewujudkan kecintaanya pada musik dengan membuka kursus musik. Banyak hal unik dan menarik bagaimana mengajar musik di kota yang jauh dari gemerlap kota-kota besar. Sebuah tantangan yang mengasyikan. Berikut bincang singkatnya dengan Staccato
Sejak kapan Anda mengenal musik?
Saya mengenal musik sejak usia dini, karena begitu lahir sudah ada mainan alat alat musik seperti grand piano kecil dari kayu, harmonica kecil, gitar mainan, seruling bambu, gamelan betulan dari perunggu milik kakek nenek saya. Dan sepertinya mainan mainan musik tersebut sesungguhnya, pada awalnya oleh orangtua saya ditujukan untuk kakak saya agar kakak saya bisa musik.Tapi ternyata takdir yang menentukan saya (adiknya) yang cinta mati dengan musik. Kebalikan dengan kakak saya yang sama sekali tidak bisa main alat musik.Tapi masih mau jadi pendengar musik kok haha…
Melihat Anda yang sangat cinta musik sejak dini, pasti orangtua Anda senang sekali ya?
Hmm..,tidak juga. Orangtua saya, Ibu saya justru tidak senang saya suka musik. Kalau Ayah saya sih ngikut aja apa yang saya suka. Beliau iya aja. Beda dengan ibu saya yang menentang habis-habisan kesukaan saya dengan musik hehehe…Tapi jangan kuatir, saya tetap berusaha berbakti lho.
Lalu cita cita Anda apa saat itu?
Cita cita saya sih sesungguhnya mau jadi penyanyi terkenal hahaha….Banyak saksinya jika dulu saat saya kecil setiap ada orang, tetangga kakek nenek saya atau siapa saja yang bertanya kepada saya, cita-citamu opo Nduk(Cita-cita kamu apa Nak)? Saya selalu dengan percaya diri menjawab Sinden (penyanyi dalam bahasa Jawa). Dan kalimat tanya serta kalimat jawaban tersebut hingga sekarang kalau berkumpul dengan keluarga masih selalu dibahas dan kita semua jadi tertawa mengenang masa lalu.
Kenapa Anda dulu ingin menjadi penyanyi?
Saya ingin seperti Ayah saya. Ditahun ‘80 an hingga ‘90 an saya hampir tiap hari dengar suara Ayah saya di radio.Ayah saya dulu sering ikut siaran di RRI (Radio Republik Indonesia) Madiun. Mendengar suara Ayah saya nyanyi di Radio itu kok sepertinya enak dan asyik ya. Dunia yang digemari Ayah saya kelihatannya menggembirakan banget hahaha… Jadinya saya pengen mengikuti jejaknya. Namanya anak kan ya sudah pasti inginnya mengikuti orang tuanya.
Ayah Anda berprofesi sebagai musisi atau bagaimana?
Bukan. Profesi utama Ayah saya dulu Polisi.Tapi karena cinta seni, ya tiap hari juga melakukan pekerjaan seni. Seni sebagai hiburan dan sampingan. Meski sebagai sampingan,tapi penghasilan dari seni lebih menjanjikan kayaknya…hehehe..
Anda cinta musik,tapi tidak didukung Ibu Anda, lalu bagaimana Anda menjalani hari-hari Anda tanpa support tersebut?
Saya benar-benar memendam keinginan saya akan musik. Saya dulu sangat takut jika dimarahi Ibu saya. Jadi apapun yang saya rasakan, saya pendam dalam hati sekuat mungkin, karena Ayah saya sendiri juga takut dengan Ibu saya hahaha… Beruntungnya saya sering disupport dan disemangati guru saya waktu SD, SMP dan SMA.Waktu SD saya diikutkan lomba menyanyi secara diam-diam oleh guru saya dan diantar guru saya dengan dibonceng motor dan diberi bonus nasi pecel hahaha…Waktu SMP saya diajari guru kesenian saya tentang not balok.Waktu SMA saya ikut paduan suara juga diam-diam. Jadi saya menjalani hari hari saya dengan sembunyi sembunyi. Kalau di luar saya berani menyanyi keras, tetapi jika di rumah orang tua saya menjadi penyanyi batin, menyanyi dalam hati saja. Kan takut ketahuan, jadi semua harus dilakukan sembunyi-sembunyi hehehe…Cita-cita Ibu saya kan saya wajib kerja di bidang kesehatan, jadi dokter, bidan dan lain-lain
Bagaimana Anda bisa terjun ke musik tanpa support orangtua?
Setelah lulus SMA 2001 saya berniat melanjutkan kuliah di Institute Kesenian Jakarta. Guru SMA saya pun dulu juga tahu kalau saya pengen kuliah musik di IKJ. Guru saya support semua cita-cita muridnya.Tapi kembali terhalang oleh Ibu saya yang masih juga menentang dan menganggap musik itu tidak baik, musik itu cenderung ke pergaulan bebas, musik itu tempatnya narkoba, dan sebagainya. Lalu dengan hati yang hancur saya kuliah di Surabaya. Saya kos di Karang Menjangan. Di Surabaya dulu saya kuliah 2 jurusan sekaligus, Manajemen dan Bahasa Inggris. Jurusan ini pun juga tidak direstui Ibu saya. Kan wajib kuliah kesehatan. Lah, di Surabaya pula saya kembali dekat musik, diajak ngeband pula. Kemudian ada kawan yang ajak ikut model juga. Saya melakukan apapun pengennya mendapat ijin Ibu saya. Tapi lagi- lagi tidak dapat restu, malah semakin dimarahi habis-habisan hahaha…Saya super stress tingkat dewa. Stress yang saya alami sudah tidak tertahankan. Saya capek,l elah sejak balita hingga dewasa wajib mengikuti kemauan orangtua. Saya sempat depresi dan minum obat tidur dosis tinggi setiap hari saat kos di Karang Menjangan. Saya sudah meninggalkan surat wasiat kala itu, hehehe…Saya berharap tidak akan terbangun dari tidur lagi.
Apa yang Anda lakukan kemudian dengan kondisi seperti itu?
Saya hampir menyerah kala itu dan berfikir mengikuti semua kemauan Ibu saya. Saya merasa sudah mati dan tidak ada harapan. Apalagi kuliah di Surabaya juga tidak dibiayai orangtua karena jurusan tidak sesuai kemauan orangtua. Biaya hidup di Surabaya juga tidak murah. Saya meninggalkan kuliah saya di Surabaya dan pulang ke rumah orangtua untuk kedepannya bersiap siap kuliah kesehatan.
Lalu bagaimana Anda mulai mengajar musik?
Saat menganggur tidak kuliah, saya jalan-jalan entah kemana tak tentu arah, yang penting jalan aja. Hingga suatu ketika saya membaca sebuah iklan tentang beasiswa di sebuah kampus. Di kampus tersebut ada beasiswa bagi mahasiswa yang mempunyai keahlian khusus dan bersedia mengabdi pada almamater. Akhirnya saya kuliah mengambil jurusan Hukum, karena memang fakultas yang tersedia tidak banyak. Saya kuliah Hukum untuk pelampiasan. Di kampus baru ini pula saya mendapat harapan baru. Saya melatih kawan-kawan mahasiswa Paduan Suara. Saya ketemu banyak kawan yang sangat support saya, termasuk dosen-dosen yang menganggap saya seperti anak sendiri. Mereka melihat bakat saya di musik, saya difasilitasi, saya dicarikan job musik. Mulai akhir 2002 saya jadi guru musik di Kota Kediri dan sekitarnya. Saya mengajar anak-anak dosen saya, anak-anak kawan kuliah saya, dan meluas kepada relasi lain. Sama almarhum kawan saya, saya diikutkan klinik vocal Mbak Bertha tahun 2005, saya dipinjami piano juga, akustik upright dan baby grand, tinggal pilih
Apakah pada akhirnya orangtua support Anda ?
Belum.Tapi sudah mulai melunak dan suatu ketika tiba- tiba saya ditelpon Ayah saya, diminta pulang, mau diberi sesuatu. Di akhir 2002 itu pula Ayah saya mengajak ke rumah kawannya, saya dibelikan Keyboard Casio. Ayah saya yang diam-diam berjuang melunakkan hati Ibu saya yang super keras. Jadi berlinang air mata saya jika ingat perjuangan jaman dulu hehehe …
Hal apa yang menantang Anda saat mengajar musik?
Jika saya bertemu ortu anak yang ortunya sendiri juga bisa musik, deg degan banget.Tapi saya selalu berterus terang di awal jika saya mengajar sesuai kemampuan saya, jika nanti kemampuan anak sudah melebihi saya, saya pasti memberi tahu kepada orangtua. Dan saya selalu minta saran dan masukan dari para orantua siswa, baik yang bisa musik maupun tidak, agar kedepannya pelayanan yang saya berikan semakin baik dan anak semakin nyaman, semakin bahagia saat bersama saya.
Bagaimana cerita Anda bisa pindah dari Jawa ke Kalimantan Barat?
Pada tahun 2016 saya sudah berencana membuka Kursus Musik di rumah yang saya beli di kawasan Citraland Surabaya Barat. Maksimal pertengahan 2017 saya sudah harus membuka kursus tersebut, dengan dibantu kawan saya yang mengajar Biola dan Melukis.Tapi mendadak Maret 2017 suami saya mengajak pindah ke Kalimantan Barat. Suami saya join dengan pengusaha Kalimantan Barat. Syok berat saya saat itu. Dan sudah pasti ‘perang dunia’ terjadi hehehe…Tapi pada akhirnya saya mengalah, tapi tak menyerah karena kan punya pengalaman dengan kisah dengan Ibu saya dulu.Tanpa persiapan, saya ikut pindah ke Kalimantan Barat. Rumah di Surabaya yang baru dibeli tak jadi ditempati dan disewakan. Awal tiba di Pontianak, Kalimantan Barat, bingung karena ternyata di Pontianak belum ada tempat tinggal. Teman join suami saya tak menyediakan tempat tinggal. Beruntung kami ada kawan, dan mengungsi sementara di rumah kawan,sambil cari tempat tinggal.
Bagaimana Anda bisa mengajar musik kembali, sementara Anda sudah pindah ke Kalimantan Barat?
Ya mungkin karena memang hokinya di musik, jadi tetap bisa jalan walau saat itu belum punya alat musik. Kawan belajar musik saya pertama kali justru dari luar Pontianak. Saya menyebutnya murid saya dengan kawan, biar akrab. Ada satu keluarga yang ingin belajar musik bersama. Kebetulan keluarga ini dulu langganan dagangan kami di Surabaya. Jadi sudah kenal. Saya mengajar datang ke rumah mereka. Jadi kita mengajar sekalian jalan jalan, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Tahun 2018 saya beli rumah di Pontianak dan baru mulai menerima mengajar di rumah, tapi masih terbatas kalangan sendiri, karena saya menyadari tenaga saya terbatas. Saya juga mengurus anak saya yang masih balita. Tahun 2020 semenjak Covid 19 masuk, banyak tempat kursus musik tutup dan mengganti dengan mengajar online tetapi tetap membayar biaya belajar offline hehehe…Disitu saya mulai tergerak,arena bagaimanapun juga berat lho biaya les tetap seperti kondisi normal, sementara tidak ada tatap muka. Saya mengadakan les gratis online pada bulan April-Juni 2020. Les via Video call, sepuasnya hahaa.. Itu menjadi hiburan tersendiri buat saya. Covid gak kunjung selesai hingga 2021,banyak para mama yang mulai stress dan datang ke rumah saya minta les offline. Hingga akhirnya saya buka lagi les offline, tapi super ketat ya dan berjalan hingga saat ini.
Apa suka duka Anda merintis sekolah musik disana?
Sukanya banyak, kita jadi tahu macam-macam bahasa daerah di Kalimantan Barat. Tahu aja ya, tapi belum menguasai bahasanya hingga sekarang. Yang bikin saya sangat suka dengan Kalimantan Barat ini adalah toleransinya yang luar biasa hebat. Jadi disini dalam satu kelurahan bisa ada Masjid, Gereja, Vihara, Pekong, merinding saya melihat ini. Juga disini itu tidak ada polusi asap pabrik, kecuali pas ada kebakaran hutan saja hehehe…
Bagaimana dengan dukanya?
Dukanya juga lebih banyak. Karena, banyak yang belum paham perbedaan piano, keyboard, elekton. Disiplin juga kurang. Banyak orangtua siswa yang ingin anaknya cepat bisa secara instan. Ada juga yang sampai menekan saya, saya diberi deadline dalam 1 bulan anak harus bisa minimal 3 lagu hehehe…Ada juga yang anaknya pengen punya prestasi di bidang piano tapi orangtuanya tak mau membiayai, semua dibebankan ke saya, ya gurunya lah yang urus ini itu. Ada juga yang datang ke rumah semaunya sendiri tidak sesuai jadwal, ada yang sudah les banyak pertemuan belum bayar biaya les tiba-tiba kabur, dan lain-lain. Seru deh pokoknya.Tetapi tetap enjoy saya.
Bagaimana menghadapi anak dan orangtua yang awam dengan pengajaran piano, bahwa prosesnya gak bisa instan. Bagaimana Anda menanamkan pemahaman dan kesadaran itu?
Sebelumnya saya katakan di awal, bahwa segala sesuatu butuh proses, saya tak menjanjikan bahwa anak akan cepat bisa. Semua tergantung kerja sama kita semua,antara saya,orangtua dan anak. Kuncinya ada di kebahagiaan anak, saat anak kita buat bahagia dengan hal yang positif, tanpa terasa anak akan menjalani proses belajar dengan senang. Saya buat contoh nyata kepada para orangtua adalah Jehovalena Jocellyne, dia benar-benar belajar mulai dari nol sejak usia dini dengan gembira, jadi tidak tiba-tiba otomatis bisa ikut kompetisi piano. Kita bukan pesulap, hehehe…
Lalu bagaimana Anda membangun kecintaan musik pada anak anak?
Anak-anak saya ajak bermain sekaligus belajar, jadi tidak melulu full duduk di depan alat musik. Anak- anak saya tanamkan jiwa cinta musik dengan cara saya harus memahami psikologi si anak terlebih dahulu. Dengan membiarkan mereka bercerita apa adanya sesuai apa yang mereka rasakan, saya jadi tahu anak A suka begini, anak B suka begitu. Dan lagu yang saya ajarkan juga saya beri cerita berupa dongeng. Saya ajak mereka bernyanyi juga, bernyanyi dengan lirik dan solfegio-nya. Mereka bernyanyi sambil main perosotan, sambil main camping, sambil menggambar, dan lain-lain. Para mama yang antar juga saya ajak bernyanyi sama-sama, jadi anak gembira mamanya juga ikut ambil bagian, haha…Kita bikin suasana se-happy mengkin.
Apa rencana Anda ke depan?
Jika masih tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat saya berencana membuka kelas secara umum. Saya juga mau mencari bakat anak-anak usia dini yang belum tergali dan terekpos, terutama bakat anak-anak dari kalangan menengah ke bawah. Belajar musik bisa dilakukan semua kalangan, dengan biaya terjangkau,atau bahkan mungkin tanpa biaya. Syarat dan ketentuan berlaku hahaha…Dan pastinya anak anak yang belajar musik bersama saya wajib dibuat bahagia hehehe…
Bagaimana sikap hidup dan filosofi Anda dalam menjalani karier di bidang pengajaran musik?
Sikap hidup yang disiplin, menghargai waktu. Filosofi saya, mengajar dengan hati bahagia agar semua juga bahagia.
Baiklah.Terima kasih kesediaannya untuk berbincang- bincang. Tetap semangat ya?
Sama sama. Jangan lupa bahagia ya. Sukses selalu buat Majalah Staccato. (*)