WILSON CHU

786

Article Top Ad

Wilson Chu:

BELIEVE YOURSELF

SEMPAT gamang memilih musik atau meneruskan usaha orangtuanya, Wilson Chu akhirnya memilih musik jadi jalan hidupnya. Sebagai anak sulung, tidak mudah meyakinkan kedua orangtuanya atas pilihannya di musik, sampai bisa membuktikan bahwa dia bisa hidup dengan musik. Berikut bincang singkatnya di Steinway Family Story

Article Inline Ad

Sejak kapan mengenal musik dan bagaimana Anda terhubung dengan musik?
Saya mengenal musik sejak usia 4 tahun. Saya tinggal di Medan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang bukan dari keluarga musisi. Orangtua saya pengusaha, yang sama sekali tak terpikir bahwa saya harus belajar musik dengan serius. Apalagi anak laki-laki biasanya kan susah untuk jadi pianis. Saya belajar piano pertama dengan Miss Mili Kusuma. Waktu kelas 5 SD belajar dengan Miss Rosemary Halim. Kedua beliau inilah yang turut andil membangun musikalitas saya. Sejak kecil saya lebih suka membuat komposisi atau aransemen, tapi kan saya harus menguasai teknik piano untuk bisa menggubah lagu. Kemudian saya belajar komposisi dengan Daud Kosasih.

Apakah sejak awal memang tertarik berkarier di musik?
Sebenarnya tidak sih. Saya nggak kepikiran mau ambil musik. Dari awal saya fokusnya ke kimia karena orangtua saya kan usaha di bidang itu. Makanya waktu SMA saya banyak ikut lomba olimpiade kimia, dan dapat jalur undangan untuk kuliah di UI dan ITB. Saya juga dapat tawaran kuliah di bidang teknik di Singapura. Jadi waktu itu saya tidak benar-benar fokus di musik, sampai suatu titik dimana saya merasa kok sepertinya saya punya talent di musik. Ini setelah saya mendapat penghargaan sebagai peraih nilai tertinggi ujian ABRSM grade 8 dengan nilai sempurna. Waktu itu kelas 1 SMA. Lalu saya coba-coba apply ke Nafa atau Nanyang Academy of Fine Arts di Singapura. Ternyata diterima dan dapat beasiswa penuh. Nggak usah bayar kuliah, malah dikasih uang saku. Saya pikir ya sudahlah, barangkali ini jalan dari Tuhan. Akhirnya saya tinggalkan teknik kimia, pindah ke musik, ambil piano dan komposisi.

Berapa lama belajar di Singapura?
Saya lulus D3 di Nafa karena memang programnya 3 plus 2. Jadi 3 tahun di Nafa dan 2 tahun ambil programnya London Royal College. Nah waktu mau lulus D3 ada Dekan dari Royal Conservatory of Scotland konser di Singapura. Kebetulan saya ditunjuk untuk main dengan dia, dan ternyata dia menyukai permainan saya, lalu menawari saya untuk masuk ke Royal Conservatory of Scotland. Waktu itu saya nggak ngerti Scotland. Orang taunya kan London. Saya ikut audisi di Scotland dan ternyata diterima dengan beasiswa penuh. Tiga setengah tahun di Scotland saya lulus S1 dan S2 tahun 2018. Karena ada Brexit dimana United Kingdom keluar dari Uni Eropa, semua pelajar asing harus keluar dari negara itu

Lalu kembali ke Medan?
Ya. Seminggu sekembali ke Medan, saya pindah ke Jakarta jadi supervisor guru-guru Yamaha. Setengah tahun kemudian, Maret 2019 saya pindah ke Cina dan mengajar di Chengdu University sampai sekarang menjadi kepala program pendidikan untuk fakultas musik

Bagaimana reaksi orangtua ketika Anda memilih musik?
Awalnya orangtua tidak setuju sih saya di musik. Saya ini anak sulung dari tiga bersaudara. Mungkin sebagai anak sulung rasanya wajar saya diproyeksikan untuk meneruskan usaha orangtua. Tapi di sisi lain saat itu saya sedang jatuh cinta dengan musik. Pasti ada dilema. Ketika saya mendapatkan beasiswa dari Singapura, dan dari Scotlandia dimana dari D3 sampai Master saya gak bayar sepeser pun, orangtua saya mulai berpikir mungkin ini memang jalan Tuhan, jadi ya sudahlah biarin saja.

Apa yang membuat orangtua yakin dengan pilihan Anda?
Pertama, mungkin dari prestasi saya di musik. Itu bukti nyata. Dari kecil saya sudah main musik. Kedua, dari komitmen dan keseriusan saya di musik. Saya meyakinkan orangtua bahwa saya bisa hidup di musik. Dan itu saya buktikan bahwa dari D3 sampai Master, semuanya gratis. Saya tidak minta biaya dari orangtua, kecuali doa saja.

Peran seperti apa yang sebaiknya dilakukan orangtua saat anak-anaknya belajar musik?
Yang paling utama orangtua harus respek dan mendengarkan hati nurani anaknya. Karena, kebanyakan suara dari anak kecil itu selalu ditentang oleh otoritas orangtuanya. Kalau kita lihat ya, banyak kok saat ini anak laki-laki masuk ke dunia jasa, misal sebagai chef, dan di bidang jasa lainnya. Peran orangtua yang paling penting adalah men-support dan mengawasi. Komunikasi dan respek juga diperlukan

Pernahkah Anda mengalami bad mood dan bagaimana Anda mengatasinya?
Pernah. Beberapa kali. Yang saya tahu dan rasakan ketika saya kalah dalam lomba. Banyak orangtua tidak mengerti hakikat lomba dan menempatkan lomba-lomba itu sebagai tolok ukur. Kalau nggak juara satu berarti kamu nggak ada talent. Kamu juara dua berarti kamu nggak ada usaha. Padahal juara 1, 2, dan 3 itu tidak mencerminkan kita punya talent atau tidak. Banyak orangtua yang menjadikan ini sebagai parameter, termasuk orangtua saya. Dan itu memberi pengaruh besar bagi anak-anak. Seringkali karena ketidaktahuan orangtua, dan pendekatan yang salah, menjadikan bakat anak menjadi layu sebelum berkembang. Bagaimana saya mengatasinya? Ya saya harus bisa membuktikan kepada orangtua bahwa saya berkomitmen penuh dengan pilihan saya

Bagaimana membuktikanya?
Kadang kalau pas lagi kalah kompetisi, muncul perasaan putus asa. Ya sudahlah saya nggak mau main lagi. Saya main biasa-biasa saja, jadi pengiring di gereja saja. Tapi yang membuat saya bangkit lagi itu karena saya merasa bahwa saya belajar banyak hal, tapi saya tahu tidak mungkin bisa seperti di musik yang bisa begitu dalam, dan expert. Saya belajar bisnis dan kimia, tapi cuma sampai level tertentu saja, tapi kalau di musik saya bisa begitu dalam. Jadi saya mulai sadar, ini mungkin panggilan Tuhan. Itu yang kemudian menguatkan saya dan meyakinkan orangtua saya. Saya beruntung juga karena berada di lingkungan yang positif, dimana orang-orang terdekat, teman-teman saya memberi semangat dan dukungan. Ketika saya merasa down tetap ada orang-orang yang memberikan semangat di samping saya

Banyak yang merintis karier performer dan pengajar. Anda melihat itu sebagai saingan?
Hahaha…ya enggaklah. Saya tidak pernah menganggap seorangpun sebagai saingan di dunia musik. Lebih baik saya berkolaborasi daripada mencari musuh karena dunia sekarang ini kita nggak bisa musuh-musuhan. Saya bukan tipe seperti itu. Semakin banyak orang yang belajar dari luar negeri kembali ke Indonesia, itu hal yang bagus. Menjadikan musik makin berkembang. Menurut saya itu seperti bisnis lainnyalah. Ketika di suatu jalan kita melihat banyak yang jualan makanan, berarti marketnya ada. Kalau makin banyak orang mengajar dan semakin berkualitas, maka market itu akan terbentuk dengan sendirinya. Jadi saya tidak melihat itu saingan, karena saya confident dengan pencapaian saya. Skill dan talenta saya nggak kalah-kalah juga kok hahaha…

Anda memilih musik sebagai pilihan hidup. Anda tidak khawatir dengan masa depan?
Sejujurnya pasti ada kepikiran juga sih. Saya sendiri ada sedikit-sedikit basic pengetahuan soal finance, akutansi, dan trading-trading sendiri, juga ada bisnis lain bersama beberapa teman. Jadi sekarang ini menurut saya, sebagai pianis, kita harus belajar lebih, karena semua orang sudah bisa main piano, sudah banyak yang mengajar, sudah banyak yang jadi content creator. Kita tidak bisa mengandalkan hanya dengan satu skill saja. Seorang musisi juga harus fleksibel, dan selalu ingin mencari tahu yang lebih dalam. Bukan hanya oh..saya bisa main piano, sudah. Saya bisa ngajar, oh sudah cukup. Semakin cepat generasi sekarang berkembang, semakin cepat berubah trend-nya. Jadi kita harus belajar banyak hal. Bagaimana editing vidio, bagaimana merekam. Singkatnya, saat ini seorang pianis dituntut harus menguasai banyak hal.

Jadi jangan hanya jadi pianis saja maksudnya?
Yaaa…pianis saja kalau dalam konteks Indonesia, kita masih susah sih. Kita kalau di Jerman atau Amerika sih mungkin masih oke. Tapi bahkan di Jerman dan Amerika pun saat ini market musik klasik semakin kecil. Banyak orkestra yang tutup dan berubah haluan. Jadi menurut saya semakin kita punya banyak ban serep semakin bagus sih hahaha….

Tapi tidak semua dianugerahi multi talenta seperti Anda
Yaaa… mungkin memang masih sedikit ya. Teman saya yang pianis dan ngajar, juga ada yang nyambi sambil bantu usaha orangtuanya. Bukan satu dua. Tapi banyak. Tapi kalau menurut saya, yang saya tidak pegang usaha orangtua sendiri, ya why not kita eksperimen sendiri seperti editing video, bikin content seminar, webinar, dan banyak hal yang bisa kita lakukan. Another things, kalau memang kita punya passion di luar musik, misalnya jadi barista, kenapa tidak? Semakin banyak kita punya skill yang lain, maka kita akan semakin kaya dengan pengalaman hidup dan lingkungan kita pun makin luas, karena musik itu sebenarnya lonely lho

Maksudnya?
Musik itu sendirian. Kesepian, menurut saya. Karena kalau kita ngajar misalnya, kita ada di satu ruangan sama murid, satu lawan satu. Terus begitu sepanjang waktu. Kalau saya perhatikan, guru-guru musik itu rata-rata temannya sedikit, ya itu-itu saja. Mind-nya nggak out the box. Dan menurut saya, guru musik itu nggak boleh lakukan dua hal, pertama nggak boleh jalan-jalan. Kedua, nggak boleh sakit, hahaha…..karena kalau dua hal itu terjadi kita nggak bakal dapat duit.

Saran Anda untuk mereka yang sedang belajar musik?
Untuk anak-anak muda, junior saya yang sedang merintis karier di musik, yang barusan lulus atau selesai belajar, pesan saya tingkatkan terus skill kamu bukan hanya di satu tempat, tapi di beberapa tempat. Contoh, saya sendiri kan musisi, pianis dan pengajar, tapi saya juga sebagai komposer, saya cipta lagu, saya nulis aransemen, bikin improvisasi, saya juga bikin score dan jualan lagu. Jadi kita harus tahu brand kita mau seperti apa. Branding itu penting. Jadi kita harus menemukan identitas diri, kita mau seperti apa.

Apa pesan Anda kepada mereka yang berkarier di musik?
Yang pertama, believe yourself, karena Anda dengan masuk ke dunia musik, memilih musik sebagai pilihan hidup, itu sudah merupakan keputusan yang berani dan sulit. Jadi jangan menyerah, karena kesulitan akan tetap ada. Kedua, jangan tertutup dengan segala kemungkinan, dan ketiga jangan menyalahkan diri kalau pada akhirnya Anda tidak jadi pemusik. Mengapa? Karena yang saya tahu, banyak yang lulus musik, eh jadinya malah jualan. Karena, untuk jadi pemusik hebat kita mungkin harus juara di Chopin Competition, Van Clibrun Competition, tapi itu juga belum menjamin hidup kita selesai, karena lima tahun mendatang akan muncul musisi-musisi hebat lainnya. Tetapi apapun itu, tetap lakukan yang terbaik, dan banyak bersyukur

Bagaimana penilaian Anda terhadap piano Steinway?
Steinway itu piano bagus banget. Bagi saya, apapun mereknya, yang membedakan piano itu cuma dua, suara dan touch-nya. Dan bagi saya, Steinway punya pembeda yang jelas dengan piano lain, yakni dalam hal touch dan warna suara. Saya mau buat apa saja, dengan Steinway semua jadi mudah. Dia menyediakan suara apapun yang saya mau. Steinway itu teman kolaborasi saya. (*)

Article Bottom Ad