Motivation Traps pada Musisi Berbakat

509

Article Top Ad


KITA semua mengetahui bahwa motivasi merupakan salah satu faktor kunci dalam menentukan keberhasilan seseorang, termasuk keberhasilan seorang dengan bakat musik yang baik, agar mampu memberikan performa yang optimal dan sukses.

Secara umum istilah motivasi merujuk pada kecenderungan, energi, dorongan untuk belajar, bekerja secara efektif, dan mencapai prestasi sesuai potensi yang dimiliki. Motivasi seseorang untuk melakukan suatu tugas tidak bisa dilepaskan dari minat terhadap tugas, kesenangan melakukan tugas tersebut, keterlibatan dalam proses menyelesaikan tugas, yang berakhir pada unjuk kerja atau prestasi.

Hal yang sama berlaku juga pada musisi. Untuk mencapai performa musik dengan baik dari seorang calon musisi berbakat, dibutuhkan motivasi yang tinggi untuk mengolah musikalitasnya yang sebelumnya hanya merupakan potensi menjadi sebuah performa musik yang baik dan nyata. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari minat dan talenta musik, kemampuan menikmati proses dalam belajar, kesungguhan dan komitmen untuk terlibat secara penuh dalam mempelajari karya musik.

Article Inline Ad

Tidak kalah pentingnya adalah kesempatan dan dukungan dari lingkungan dan orang-orang terkait, namun ini bukanlah yang hendak dibahas dalam artikel ini. Artikel ini mencoba untuk mengkaji hambatan motivasi (motivation traps) yang tidak jarang dapat menghambat seorang musisi berbakat dalam mengembangkan musikalitasnya untuk mencapai permainan musik yang baik bahkan exceptional.

Motivation traps secara literalis merujuk hambatan motivasi dimana seseorang hanya bisa menunggu agar termotivasi sebelum akhirnya bertindak (action). Singkatnya, motivation traps merujuk pada hambatan untuk action. Motivation traps tidak jarang dijumpai di kalangan musisi berbakat (prodigious musician). Terhadap seorang yang sangat berbakat musik, secara otomatis orang-orang di sekitarnya secara sadar atau tidak sadar dapat saja mengharapkan suatu saat ia akan menjadi seorang musisi yang berhasil. Apakah harapan ini selalu terwujud menjadi kenyataan?

Ironisnya, tidak selalu demikian. Tidak sedikit diantara para musisi berbakat dan berminat di musik (termasuk prodigious musician), memiliki peluang, fasilitas, dan guru yang baik, ternyata kandas di tengah perjalanan merintis karir musiknya. Ketika diselidiki, ternyata tidak sedikit diantara mereka ini memiliki masalah motivasi. Pertanyaannya, mengapa? Dimana akar permasalahannya dan bagaimana mengatasinya?

Fenomena ini agaknya dapat bermuara dari motivation traps. Mereka terjebak dalam hambatan-hambatan psikisnya sendiri (dalam hal ini hambatan motivasi), sehingga tidak dapat memperlihatkan kinerja yang optimal, padahal memiliki potensi, minat, dan bahkan mungkin peluang yang besar. Apa saja yang termasuk dalam motivation traps yang sering dialami oleh musisi, khususnya musisi yang berbakat (prodigious musician) itu?

Andrew J. Martin, Ph.D – seorang educational psychologist yang mengambil spesialisasi di bidang motivation, engangement, & achievement dari University of New South Wales di Australia, menyebutkan beberapa motivation traps yang dialami oleh para prodigious musicians, yaitu: keyakinan mengenai kemampuan yang tinggi, keyakinan implisit yang mengutamakan bakat, self-worth (martabat diri), takut gagal, takut sukses atau impostor syndrome, perfeksionis, ketidakseimbangan antara tantangan dan keterampilan, serta kompetisi.

Meskipun faktor-faktor tersebut ditemukan berdasarkan riset yang dilakukan terhadap prodigious musicians, saya berpendapat hal tersebut juga dapat diterapkan pada anak-anak kecil dan anak-anak muda yang memiliki bakat dan minat di bidang musik (meskipun tidak exceptional) namun mengalami kesulitan atau hambatan motivasi (motivation traps) dalam mengembangkan musikalitasnya secara optimal dan menjadi musisi yang berhasil / sukses.

Berikut akan diuraikan faktor-faktor motivation traps tersebut.

Keyakinan Mengenai Kemampuan yang Tinggi
Banyak musisi berbakat memiliki keyakinan yang begitu tinggi mengenai bakatnya sehingga dalam kesehariannya mereka merasa tidak perlu berusaha keras untuk mencapai sukses. Seringkali keyakinan ini sifatnya tidak disadari. Akibatnya, meskipun secara sadar mereka tahu bahwa dibutuhkan usaha keras untuk mencapai sukses, namun dalam praktek sehari-hari mereka tidak siap menghadap tantangan atau kesulitan yang dihadapi.

Angela Lee Duckworth (seorang psikolog berkebangsaan Amerika), memperkanalkan konsep Grit, yang didefinisikan sebagai perseverance and passion for long term goals (kegigihan dan kegairahan dalam mencapai tujuan jangka-panjang). Seseorang dengan grit yang tinggi akan tetap berusaha meskipun melalui perjalanan yang sangat sulit, keras, dan terjal, sehingga berpeluang lebih besar untuk berhasil dan sukses. Grit penting dimiliki agar seseorang memiliki komitmen dalam mencapai tujuan jangka-panjang. Musisi dengan grit yang tinggi biasanya akan lebih banyak berlatih, lebih berhasil dalam mencapai tangkat keterampilan yang lebih tinggi, dan akhirnya juga lebih menikmati proses belajarnya.
Bagaimana mengatasi rasa putusasa, bosan, dan jenuh yang melanda ketika sedang berproses ? Dikatakan juga oleh Maslow,”Appreciate again and again, freshly and naively the basic of good life, with awe, pleasure, wonder, and even ecstacy, however stable these experiences may have become to others.”

Dengan perkataan lain, penting bagi kita untuk bisa menghargai setiap moment dari proses belajar, menemukan hal-hal baru yang segar, menemukan nuansa-nuansa baru dari karya musik yang dipelajari yang berbeda dari sebelumnya sebelumnya. Setiap proses belajar, selalu berhadapan dengan sesuatu yang baru yang dapat diikuti dengan rasa kagum.
Kita perlu berpikiran terbuka (open minded), polos, seperti anak kecil yang siap menerima nuansa baru dan belajar dengan penuh takjub dan apresiasi. Jika ini menjadi kebiasaan, lambat laun kita akan berkembang dan memasuki jenjang yang lebih tinggi dalam permainan kita.

Melalui mindset yang mendasar ini, diharapkan para anak muda yang berbakat musik akan lebih menyadari dan termotivasi untuk menumbuhkan usaha yang lebih keras, komitmen yang lebih tinggi, serta konsistensi dalam usaha. Tidak kalah pentingnya juga menetapkan goal atau tujuan yang jelas baik jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Hal ini akan membuat seseorang menghayati kemajuan setahap demi setahap, merasa memiliki kendali terhadap kemajuannya, serta lebih dapat bertahan ketika menghadapi kesulitan – tidak mudah putus asa.

Keyakinan Implisit yang Hanya Mengutamakan Bakat

Tidak jarang orang-orang meyakini bahwa sukses dalam musik hanya dipengaruhi oleh kemampuan alamiah semata. Keyakinan ini seringkali tertanam ketika masih kanak-kanak ketika mereka sejak kecil sudah memperlihatkan kemampuan musik yang menonjol melebihi anak-anak lain seusianya. Selanjutnya, keyakinan seperti ini berimplikasi bahwa mereka tidak perlu berusaha keras melampaui kemampuan alamiahnya karena sekeras apapun usaha yang dilakukan, kesukesan mereka tidak akan melebihi kemampuan yang secara alamiah dimiliki. Dengan perkataan lain, kesuksesan dalam musik lebih ditentukan oleh faktor yang sudah terberi sejak lahir. Pandangan dasar ini selanjutnya berdampak pada motivasinya dan merupakan salah satu bentuk motivation traps. Bagaimana cara mengatasinya?

Untuk meng-counter pandangan ini, ingatlah pendapat Wolfgang Amadeus Mozart, sang musisi jenial yang pernah mengatakan sebagai berikut, ”People err who think my art comes easily to me, I assure you, dear friend, nobody has devoted so much time and thought to composition as I. There is not a famous master whose music I have not industriously studied through many times.”

Ternyata, untuk musisi sejenius Mozart sekalipun, dibutuhkan usaha yang luarbiasa untuk dapat sukses. Prestasi yang diraih oleh Mozart, tidak semata-mata merupakan hasil dari kemampuan alamiah, namun usaha keras dan dedikasi penuh yang luarbiasa tanpa henti. Karya musik yang luarbiasa tersebut tidak muncul dengan sendirinya atau gampang saja, atau hanya dengan usaha yang biasa-biasa / wajar-wajar saja.

Self Worth (Martabat Diri)

Hambatan lain yang membuat musisi berbakat kurang termotivasi adalah merasa diri tidak pantas / tidak layak menjadi musisi yang berhasil atau bahkan merasa ragu-ragu terus ketika berupaya mewujudkannya. Hal ini secara khusus dialami oleh mereka yang kurang memperoleh dukungan dan kesempatan untuk mengembangkan bakatnya, misalnya karena faktor keterbatasan finansial atau fasilitas pendukung lainnya, orangtua mengharapkan atau menuntut anaknya mengambil profesi lain, hubungan yang terganggu dengan guru, dan lain-lain.

Bagaimanapun juga, dukungan dan penerimaan dari orangtua dan guru merupakan hal yang penting, khususnya di masa awal perkembangan. Ada kasus dimana terdapat seorang yang sejak bayi sudah memperlihatkan bakat musikal yang menonjol. Sejak bayi hingga dewasa selalu bergolak dan ingin menjadi musisi yang berhasil. Namun karena situasi kondisinya yang sulit, ia berkorban demi keluarganya, merasa diri tidak layak memperjuangkan passion utamanya untuk belajar musik dan menjadi seorang profesional di bidang musik. Demikian sepanjang hidup ia bergolak terus meskipun sudah dewasa dan bekerja di bidang lain. Orangtua juga tidak mendukungnya karena menganggap menjadi musisi bukanlah jalan hidupnya.

Di sisi lain terdapat juga kasus dimana seorang anak berbakat musik yang hanya dihargai dan dicintai oleh orangtuanya apabila anak tersebut perform dengan memukau atau menjadi juara pertama dalam kompetisi. Apabila anak gagal memenuhi target tersebut, orangtua mengkritik dan mengabaikannya. Kemajuan-kemajuan kecil yang sudah dicapai, dianggap tidak berarti oleh orangtuanya. Akibatnya, sejak kecil anak tersebut melandaskan nilai diri atau martabat dirinya berdasarkan penghargaan orang lain terkait dengan keberhasilan musiknya.Situasi seperti ini dapat membuat seorang yang sebenarnya potensial di bidang musik mengalami blocking atau motivation traps dalam musik.

Wolfgang Amadeus Mozart mengatakan, ”I pay no attention whatsoever to anybody’s praise or blame. I simply follow my own feelings.” Menurut saya pribadi, pernyataan Mozart ini tidak berarti bahwa musisi berpotensi boleh berbuat sesuka hatinya sendiri, bebas merdeka tanpa batasan. Pesan utamanya adalah bahwa “Jangan takut menjadi diri sendiri dan janganlah kita meletakkan nilai diri pada penghargaan atau kritik orang lain (tanpa mengingkari bahwa sikap terbuka terhadap bimbingan, kritik, feedback yang membangun, merupakan hal yang mutlak dimiliki).”

Selanjutnya, merujuk pada pendapat Andrew J. Martin, Ph.D, penting agar musisi memiliki personal best goals yang bersifat adapatif sehingga musisi harus fokus dalam mengarahkan pengembangkan musikalitasnya pada upaya-upaya yang konstruktif untuk meraih goal yang sesuai dengan individualitas masing-masing musisi (meskipun dalam upayanya ini juga harus melibatkan konteks sosial, seperti kurikulum, sistem pengajaran di sekolah musik atau konservatorium, dan lain-lain yang sudah menjadi konvensi / kebiasaan/ norma umum yang biasanya berlaku).

Takut Gagal

Hambatan lain yang dialami oleh musisi berbakat adalah takut gagal (fear of failure). Banyak diantara para exceptional performer melandaskan self-worth dan identitasnya pada potensi dan kemampuannuya untuk perform di hadapan publik. Tidak heran jika situasi tampil dapat menjadi stresor berat yang mengancam martabatnya dan sumber bagi rasa takut gagal. Terhadap ketakutan gagal, mereka dapat berperilaku menghindari tantangan atau menghindari kemungkinan gagal.

Menurut Andrew J. Martin, Ph.D, untuk menghadapi hal ini, mereka dapat melakukan tiga strategi, yaitu: (1) melakukan upaya berlebihan, (2) besikap pesimis, atau (3) menyabot diri sendiri (self-sabotage). Upaya berlebihan terutama bertujuan untuk menghindari kegagalan, kritik dari orangtua atau guru, serta menghindari dinyatakan bodoh. Meskipun upaya berlebihan dapat menggiring pada prestasi yang lebih baik, cara ini dapat menimbulkan kecemasan, selalu meragukan diri sendiri, serta ketegangan sehingga proses belajar menjadi tidak menyenangkan. Sikap pesimis merupakan cara untuk menghindari rasa takut gagal dengan cara menunrunkan ekspektasi terhadap diri sendiri sehingga standard performanya juga menjadi lebih rendah.

Sikap pesimis ini merupakan mekanisme melindungi diri atau mengelola rasa takut yang sifatnya tidak sehat dan berdampak merugikan karena menunrunkan kinerja, menimbulkan rasa kecewa karena berprestasi lebih rendah dari yang sebenarnya mampu dicapai. Sementara self-sabotage merupakan tindakan menggagalkan diri sendiri dengan cara melakukan prokrastinasi (menunda-nunda), menghabiskan waktu tidak berguna, tidak belajar atau mempersiapkan diri dalam menghadapi ujian, ataupun melakukan hal-hal lain yang tidak relevan dengan belajar musik.

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengurangi takut gagal adalah menumbuhkan cara pandang yang positif, berani, dan bersikap konstruktif ketika melakukan kesalahan dan tampil secara kurang baik. Kesalahan dapat dianggap sebagai informasi penting mengenai bagaimana meningkatkan, memperbaiki yang ada demi mencapai keberhasilan di masa yang akan datang, maupun sebagai peluang untuk bertumbuh menjadi lebih baik. Kesalahan itu tidak mencerminkan martabat seseorang, dan juga tidak akan mengantar seseorang pada kegagalan di masa depan.

Apabila kesalahan dan performa yang buruk dipandang dengan cara ini, maka orang-orang muda akan tidak terlalu dihantui oleh rasa takut gagal dan akan mengurangi kecenderungan mereka melakukan cara-cara maladaptif, seperti menghindar atau bersikap perfeksionis. Berikut ini ada beberapa kutipan dari tokoh yang berhasil, yang semoga dapat membantu Anda yang takut gagal:
”There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure.”
– Paulo Coelho
“Success is the ability to go from failure to failure without losing your enthusiasm.” -Winston Churhill
“When we give permission to fail, we, at the same time, give ourselves permission to excel” – Eloise Ristad

Takut Sukses dan Impostor Syndrome

Tidak sedikit orang berbakat yang terjebak dalam rasa takut untuk sukses (fear of success). Takut sukses lebih berkaitan dengan antisipasi mengenai bagaimana orang lain akan bereaksi terhadap keberhasilan kita. Istilah lain dari fear of success adalah success anxiety, atau success phobia, atau achievement phobia. Menurut riset yang dilakukan terhadap sejumlah atlet dan performing artists pada tahun 2001, fear of success seringkali bercampur-aduk dengan emosi lain, seperti: rasa bersalah (karena harus unjuk-diri dalam kompetisi), cemas (karena melampaui orang lain yang biasanya yang sudah sukses terlebih dahulu), serta tekanan psikis (karena setiap kali harus perform setara atau bahkan melampaui performanya sendiri sebelumnya).

Menurut Andrew J. Martin, Ph.D, takut sukses dapat dikarenakan oleh keyakinan bahwa semakin sukses berarti semakin dekat dengan kegagalan di lain waktu. Kata Abraham Maslow, ”We fear our highest possibility. We are generally afraid to become that which we can glimpse in our most perfect moments.” Seakan-akan, “Performa yang baik hanya sebuah posisi dimana seseorang kelak akan jatuh ke bawah”. Sukses juga dapat membuat seseorang berada di posisi yang menonjol diantara kawan-kawan. Karena anak dan remaja seringkali memiliki konformitas yang tinggi dengan kawan-kawannya, beberapa diantara mereka menjadi takut sukses dan berbeda atau tidak popular diantara kawan-kawan.
Takut sukses juga dapat dikarenakan orang berbakat terjebak terjebak dalam impostor syndrome – suatu gejala dimana kesuksesan akan menimbulkan kecemasan karena menganggap bahwa suatu hari mereka akan “ditemukan” atau diekspos ke publik sementara mereka merasa tidak memiliki kemampuan setinggi itu. Disebutkan bahwa impostor syndrome sering dialami oleh high achiever.

Menurut Andrew J. Martin, Ph.D, takut sukses seringkali bermuara dari kurangnya self-efficay dan konsep-diri yang rendah, dimana keduanya bermuara dari negative self-talk mengenai kapasitasnya dalam menangani tugas-tugas dan tantangan-tantangan yang dihadapi karena dianggap sudah melampaui kemampuannya. Bagaimana mengatasinya?
Untuk mengatasinya, saya akan mulai mengutip pendapat Abraham Maslow yang menyatakan, ”It seems that necessary thing to do is not to fear mistakes, to plunge in, to do the best that one can, hoping to learn enough from blunders to correct them eventually.”

Menurut Andrew J. Martin, Ph.D., salah satu cara yang dapat ditempuh untutk mengatasi rasa takut sukses adalah berlatih menantang pikiran-pikiran negatif dan menyadari bahwa interpretasinya mengenai diri sendiri, orang lain, dan kejadian-kejadian itu tidak realistis atau berlebihan. Disamping itu, mereka juga perlu didorong untuk berfokus pada hal-hal yang dapat dikontrol. Contohnya: fokus pada upaya-upaya yang dilakukan, strategi yang ditempuh, sikap terhadap diri sendiri dan tugas yang dihadapi – sebagai hal-hal yang masih berada dalam kontrol / kendalinya.

Mengutip Abraham Maslow:
”One can choose to go back toward safety or forward toward growth.”
“What man can be, he must be. This need we call self-actualization.”

Perfeksionis

Motivation trap lainnya yang dihadapi musisi berbakat adalah perfeksionis. Perfeksionis biasanya bermuara dari kebiasaan menerima penerimaan dan penghargaan bersyarat (conditional positive regard) dari orangtua, guru, atau sosok penting dalam hidupnya, termasuk sejak kanak-kanak. Penghargaan bersyarat berarti hanya dihargai dan diterima oleh orangtua dan guru (sebagai orang dekat atau significant others) apabila memenuhi standard tertentu. Apabila tidak memenuhi standard atau mengikuti harapan, mereka cenderung dicela, ditolak, diabaikan, dan sejenisnya. Ini berbeda dari penghargaan tidak bersyarat (unconditional positive regard) dimana mereka diterima, dihargai apapun kondisinya sebagaimana adanya.

Umpan balik, pujian, kritik, hanya ditujukan pada kinerja dengan tujuan membangun, memajukan, membangun semangat, mengilhami / menginspirasi ; tidak ditujukan ke pribadinya, tidak mencederai self worth, dan menurunkan motivasi (demotivasi). Penghargaan bersyarat dapat membuat anak didik mengusahakan kesempurnaan secara ekstrim dan mutlak yang sifatnya obsesif. Mereka akan menghindari performa yang tidak sempurna karena ingin memenuhi harapan orang-orang yang dianggap penting baginya. Masalahnya, seringkali kesempurnaan itu sulit dicapai (bahkan tidak mungkin) dan kadang dalam upaya meraihnya mengorbankan aspek-aspek lain dari kehidupan.

Bagaimana mengatasi perfeksionis pada musisi berbakat? Caranya, mendorong anak-anak muda untuk fokus pada tujuannya sendiri dan tidak terfokus pada persepsi dan harapan orang-orang lain. Menyadari bahwa mereka layak, berharga terlepas dari performanya apakah excellent atau tidak. Cara ini membuat mereka lebih bisa menerima diri sendiri, fokus pada tugas, dan menikmati prosesnya. Mendorong untuk menikmati aspek-aspek lain dari kehidupan juga dapat membuat mereka lebih menikmati hidup, mengenal nuansa-nuansa hidup, yang biasanya hal ini juga akan memperkaya musikalitasnya. Melalui penghargaan tak bersyarat, diharapkan para calon musisi muda akan merasa lebih bebas, bersemangat, kreatif, proaktif dalam proses belajar, tidak takut gagal, tidak takut tidak sempurna, dan menikmati proses belajar dari waktu ke waktu.

Ketikdaseimbangan antara tantangan dan keterampilan merupakan faktor lain yang menurunkan motivasi seorang musisi berbakat. Untuk membahas ini kita dapat merujuk pada pendapat Csikszenmihalyi – seorang Psikolog yang memperkenalkan konsep mengenai flow. Menurut Csikszenihalyi, ketika berada dalam flow state, perhatian dan seluruh aktivitas seseorang akan sepenuhnya tercurah pada tugas yang dihadapi dan tidak kuatir karena membandingkan dirinya dengan orang-orang lain atau bagaimana dirinya akan dievaluasi. Dalam flow state, seseorang akan memiliki fokus yang tinggi dan ini akan menggiring pada produktivitas. Konsep ini sangat relevan untuk diterapkan pada musisi berbakat yang kurang dapat terlibat dalam tugasnya dan terlalu kuatir mengenai bagaimana dirinya dievaluasi oleh orang lain.

Menurut Csikszenmihalyi, seseorang akan berada dalam flow state dan memiliki keterlibatan yang tinggi ketika menangani tugas-tugas dengan tingkat kesulitan atau tantangannya seimbang (atau sedikit melampaui) tingkat keterampilan yang dimiliki. Apabila tingkat keterampilan yang dimiliki melampaui tingkat kesulitan / tantangan tugas, maka seseorang akan merasa bosan.

Musisi berbakat dengan tingkat keterampilan yang tinggi, perlu dihadapkan pada tugas-tugas yang seimbang agar tidak bosan, sehingga kurang terlibat, dan akhirnya menjadi underachievers. Disamping itu, pada musisi berbakat juga perlu ditumbuhkan keyakinan bahwa ia mampu dan memiliki kendali atas performanya, dengan cara mempelajari karya musik yang secara bertahap yang seimbang dengan tingkat kemampuannya.

Kompetisi

Bagi sebagian orang, kompetisi bukanlah pengalaman yang mudah, terutama karena dalam kompetisi seakana-akan harga-diri seseorang dipertaruhkan oleh kondisi apakah ia mampu perform lebih baik dari orang lain, atau tidak. Bagi musisi berbakat, pengalaman “kalah” dapat diikuti dengan kehilangan jati diri sebagai sosok yang istimewa – yang tidak jarang melukai harga dirinya. Takut gagal yang seringkali menghantui anak muda berbakat musik dapat mendorong mereka untuk menghindari kompetisi karena tidak berani mengambil risiko kalah.

Namun demikian, kompetisi merupakan hal penting dalam dunia musik. Mau tidak mau musisi harus menghadapi kompetisi. Pertanyaannya bagaimana cara mengatasi rasa takut kalah? Salah satu cara yang dapat diupayakan adalah mengajak para musisi ini untuk berkompetisi dengan dirinya sendiri, dengan membandingkan performa atau kinerja mereka sendiri di masa sebelumnya. Jadi masing-masing musisi tidak membandingkan performa dirinya dengan performa musisi lain.

Dengan demikian tujuan kompetisi adalah menjadi lebih baik dari dirinya sendiri ketika menangani sebuah tugas atau kompetisi. Cara ini ternyata dapat membuat energi mereka tetap terjaga dan tetap mau berusaha agar performanya lebih baik dari waktu ke waktu, karena mereka berkompetisi dengan dirinya sendiri. Cara ini dapat mengurangi rasa takut dan pengalaman-pengalaman menyakitkan yang dihayati ketika berkompetisi dengan musisi lain.

Masing-masing peserta hanya fokus pada upayanya sendiri untuk menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Cara ini juga dapat mengurangi rasa tidak berdaya (helpless) ketika berkompetisi dengan peserta lain. Singkatnya, cara ini dapat meningkatkan motivasi, keterlibatan, dan prestasi. Abraham Maslow pernah mengatakan sebagai berikut, ”One’s only rival is one’s own potentialities. One’s only failure is failing to live up to one’s own possibilities. In this sense, everyman can be a king, and must therefore be treated like a king.”

Ini berarti meskipun terdapat kompetisi, meskipun kadangkala musisi harus turut kompetisi, namun pada akhirnya, masing-masing hanya berkompetisi dengan dirinya sendiri, sejauh mana berhasil mengalahkan capaiannya di masa lalu dan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, sesuai potensi masing-masing.

Sebagai penutup saya akan mengutip kata-kata Abraham Maslow, ”A musician must make music, an artist must paint, an poet must write, if he is to be ultimately at peace with himself. What a man cab be, he must be. This we call self-actualization…It refers to man’s desire for self-fulfillment, namely to the tendency for him to become actually in what he is potentially: to become everything one is capable and becoming.”

Mengembangkan bakat sesuai potensi yang dimiliki merupakan kecenderungan dasar setiap manusia. Meskipun demikian, seringkali kecenderungan dasar untuk maju ini terkendala karena terjebak dalam hambatan-hambatan internal, seperti motivation traps. Untuk mengatasi hal ini adalah penting untuk justru tidak bersikap terlalu serius, terlalu tegang, dan negatif dalam menghadapi segala sesuatu. Bersikaplah positif, open minded, tetap serius namun santai dalam menjalani semuanya,

Victor Hugo (seorang penulis dari aliran Romantisme abad 19 dan salah satu penyair terbesar Perancis) pernah mengatakan, “Music expresses that which cannot be said and on which it is impossible to be silent.” Ada banyak hal yang dapat diungkapkan melalui musik namun tidak terungkap melalui kata-kata. Banyak hal yang dapat diungkapkan melalui musik yang akan mengantar manusia untuk menjadi semakin manusiawi. Peran dari orang-orang yang berbakat dalam musik penting, khususnya prodigious musician.

Tidak hanya bagi manusia lain, bagi para siswa musik sendiri, alangkah indahnya apabila Anda dapat mengembangkan musikalitas Anda secara positif, sehat, konstruktif, mengalir (flow), demi Anda sendiri, manusia lain, dan kehidupan yang lebih baik. Jangan biarkan secara kronis dikuasai oleh motivation traps. Apabila motivation traps dapat diatasi, para musisi berbakat akan terbantu menikmati, menginginkan, dan berjuang dalam mengembangkan musikalitasnya. Pada akhirnya, kita bertugas untuk berkembang sesuai talenta yang telah dianugerahkan oleh Sang Pencipta, yang dalam artikel ini difokuskan pada musisi berbakat (yang merupakan salah satu dari kelompok yang diberi anugerah). (*)

Penulis: Benedictine Widyasinta (Pianis dan Psikolog Klinis Sains)

Article Bottom Ad