“SELALU BERIKAN YANG TERBAIK”
ANDI RIANTO adalah salah satu musisi paling produktif di Indonesia. Lini kerjanya menyebar di dunia musik pop Indonesia dari komposer, aranjer, penata musik, direktur musik, komposer musik untuk film, hingga pimpinan orkestra pop pertama di Indonesia, Magenta Orchestra. Konsistensinya pada musik sejak kecil, telah mengantarkannya dengan sukses ke dunia yang kemudian membesarkannya: musik pop. Berikut obrolan singkatnya di Steinway Family Story
Sejak kapan dan bagaimana Anda terhubung dengan musik?
Saya lahir tahun 1972 di Sorong, Papua, dari keluarga yang senang musik, meski bukan keluarga pemusik. Pada usia 4 tahun saya mulai tertarik dengan musik, khususnya setelah melihat kakak saya belajar piano. Setiap kakak saya belajar piano, saya selalu menontonnya. Kadang saya memainkan pianonya setiap kakak saya selesai belajar. Melihat ketertarikan saya ke piano itu, ibu akhirnya memberi kesempatan saya untuk juga belajar piano dengan guru kakak saya. Eh…enam bulan kemudian kakak saya malah berhenti belajar piano. Katanya, saya lebih pintar hahaha….Akhirnya saya meneruskan belajar pianonya, kakak saya berhenti
Kabarnya dalam usia 5 tahun sudah tampil di televisi?
Oh ya…saya ingat betul. Waktu itu usia saya 5 tahunanlah, dapat kesempatan untuk mengiringi acara anak-anak di TVRI yang dipimpin Kak Seto dan Henny Poerwonegoro. Itu pengalaman pertama saya tampil di depan publik mengiringi anak-anak menyanyi. Dari pengalaman itulah saya merasa ketertarikan saya ke musik makin besar. Pada usia 8 tahun saya belajar piano dengan Baartje Sitindjak dan selanjutnya belajar di Yamaha Music Foundation di bawah pimpinan Mr. Watanabe, dan tergabung di kelas Junior Original Concert, sebuah kelas yang mengeksplorasi kemampuan anak-anak di bawah usia 16 tahun untuk membuat aransememen sendiri. Usia 9 tahun saya sudah bisa bikin aransemen sendiri, dan saat itu saya banyak tampil di berbagai kota di Indonesia. Puncaknya, saya tampil di markas PBB di New York tahun 1987 dalam sebuah konser amal untuk UNICEF. Ini pengalaman masa kecil saya paling berkesan
Bagaimana proses belajar Anda selanjutnya?
Tahun 1990 saya melanjutkan jenjang SMA di Amerika Serikat dan belajar di Forest Hills High School, New York. Tahun 1992 mimpi saya terwujud ketika saya diterima di Berklee College of Music. Ini suatu institusi pendidikan musik papan atas di dunia, terutama untuk musik pop dan jazz. Di Berklee saya mengambil bidang komposisi dan aransemen, yang waktu itu belum banyak ditekuni musisi Indonesia. Di Berklee, saya juga membuat beberapa komposisi, bukan hanya dalam bentuk manuskrip, tetapi juga dipentaskan. Tahun 1996 saya lulus dari Berklee dengan predikat Cum Laude, dan sempat menjadi Asisten professor sebelum pulang ke Indonesia pada tahun 1999
Apa yang mendorong Anda kembali ke Indonesia dan apa yang kemudian Anda lakukan?
Sejak awal saya belajar di Berklee, saya memang berniat berkarier di Indonesia setelah lulus. Interest saya di musik pop, dan kebetulan juga di tahun-tahun saya kembali ke Indonesia itu, musik pop di Indonesia sedang jaya-jayanya. Jadi, saya pulang ke Indonesia di saat yang tepat hahaha… Setahun sebelum pulang ke Indonesia, bersama Titi Dj dan Dorrie Kalmas sempat membuat lagu Bahasa Kalbu dan dibawakan Titi Dj yang ternyata sukses. Dari sinilah, setelah kembali ke Indonesia, saya kemudian banyak terlibat dalam menciptakan lagu, dan mengaransemen lagu untuk banyak penyanyi Indonesia, dan sebagian besar sukses di pasaran. Ada seratusan lebih lagu yang saya buat sampai saat ini, dan juga mengaransemen lagu untuk penyanyi-penyanyi Indonesia. Saya juga menjadi music director untuk banyak film layar lebar, tayangan serial di televisi, dan acara lain mulai dari Indonesia Idol hingga yang terakhir tahun lalu saat menggarap musik untuk PON 2021 di Papua. Saya juga dua kali meraih nominee dalam Festival Film Indonesia sebagai Penata Musik Terbaik dalam film Arisan di tahun 2003 dan Mengejar Matahari di tahun 2004, serta meraih Piala Vidia pada tahun 2005 untuk Penata Musik Terbaik drama seri Kapan Kita Pacaran Lagi?
Anda juga dikenal sebagai direktur Magenta Orchestra. Bagaimana ceritanya?
Tahun 2003 saya bertemu dengan almarhum Tono Supartono, kemudian saya dikenalkan dengan bapak Indra Usmansyah Bakrie. Beliau ini sudah memiliki Twilight Orchestra dengan Addie MS sebagai konduktornya. Tapi beliau ingin punya orchestra lagi yang baru, yang lebih ngepop, yang mengiringi penyanyi. Karena, kalau Twilight itu kan lebih ke klasik dan musik Broadway. Nah beliau ingin punya satu lagi yang lebih ngepop, dan akhirnya kami bertiga mendirikan Magenta Orchestra, dan kita launching pada tanggal 18 Maret 2004 di Plenary Hall Jakarta Convention Center mengambil tema The Sound of Colors.
Idealisme seperti apa yang diusung Magenta Orchestra?
Melalui Magenta ini saya menampilkan gaya pop yang lebih santai, dan kaya warna. Ini esensi yang ingin disampaikan Magenta Orchestra. Selama ini orkestra diidentikkan dengan musik yang formal, kaku dan rumit, para pemainnya berpakaian resmi, mengenakan jas dan dasi serba hitam putih. Magenta Orchestra berusaha untuk menepis kesan ‘dingin’ ini. Untuk itu kami mencoba melahirkan orkestra yang sama sekali terlepas dari image formal dan klasik, dengan membentuk sebuah orkestra pertama di Indonesia yang beraliran pop.
Mengapa dinamakan Magenta?
Penamaan Magenta untuk Magenta Orchestra ini berasal dari bapak Indra Usmansyah Bakrie, yang juga salah satu pendiri Magenta Orchestra karena beberapa pertimbangan. Sebagaimana musik yang bersifat universal, warna magenta bersifat universal. Magenta mewakili warna fajar, saat di mana manusia mengawali hari dengan kerja keras dan karya. Dalam hal ini, Magenta melengkapi posisi Twilight Orchestra yang mewakili senja hari, saat untuk merenungi pencapaian hari ini dan apa yang akan dilakukan esok hari. Jadi, Magenta sebagai pembuka hari dengan nada pop yang riang, sementara Twilight menutupnya dengan nada klasik yang tenang. Salah satu highlight dalam perjalanan Magenta Orchestra adalah pada tahun 2009 yang tayang pada sebuah stasiun televisi yaitu Harmoni, dan pada tahun 2012 membuat Deluxe Symphony yang juga tayang pada salah satu stasiun televisi.
Anda dikenal sangat kreatif. Bagaimana proses kreatif itu terjadi dan berlangsung dalam diri Anda?
Yang pasti sih mengalir begitu saja. Saya orang yang tidak bisa diam. Selalu mencari sesuatu yang baru. Bahkan dari hal-hal yang kelihatan biasa, bisa menginspirasi menjadi sesuatu yang baru dan beda. Sebenarya proses kreatif itu ya disitu esensinya. Bagaimana melihat sesuatu dengan cara berbeda, dan mewujudkannya menjadi bentuk yang lain dan ada kebaruan di dalamnya. Kebetulan bidang saya adalah komposisi dan aransemen, jadi saya selalu terangsang untuk mengeksplor sesuatu yang berbeda dari yang lain, seperti misalnya saya dulu punya acara Harmoni di SCTV. Saya banyak menggubah, mengaransemen lagu-lagu yang…apa ya…alay.. atau apa istilahnya gitu ya, tapi dikemas dengan orkestrasi yang bagus, dengan aransemen yang beda. Jadi saya percaya bahwa kalau kita mem-package musik dengan baik, itu pasti akan bagus hasilnya. Dan apapun itu kalau packaging-nya bagus pasti enak, dan itu tantangan buat saya.
Menurut Anda, apa kunci sukses seorang musisi?
Yang pertama, dia harus punya kemampuan yang memadai. Kedua, jujur dengan karya sendiri. Don’t be someone else, karena karya jujur itu pasti akan terdengar jujur dan akan sampai ke hati para pendengarnya. Ketiga, selalu be original. Kita boleh terinspirasi, kita boleh banyak referensi, tapi kita selalu dengan niat untuk membuat karya yang original. Idola saja adalah John Williams. Tapi saya tidak harus meniru dia. Tidak harus menjadi seperti dia. Terinspirasi boleh, tapi hasil akhirnya harus menjadi diri sendiri. Nomor empat adalah konsistensi, selalu berkarya, tak peduli karya kita diterima orang atau tidak, teruslah berkarya, konsisten menciptakan karya yang bisa kamu banggakan
Sebagian orang memandang musik sebelah mata. Apa yang membuat Anda yakin bisa hidup dengan musik?
Ya. Waktu mau kuliah di Amerika saya mendengar tuh beberapa orang nanya ke orangtua saya, ngapain kuliah kok musik. Apa bisa hidup? Mendengar itu saya justru menjadi tertantang. Kuliah di musik itu juga manifestasi saya dari kecil bahwa saya memang senang musik dan mau jadi musisi profesional. Kita bisa kok hidup layak dari musik.
Sejauhmana bakat musik berperan dalam kesuksesan berkarier di musik?
Kalau saya sih merasa bahwa bakat saja tidak cukup. Kita perlu talent, tapi kita juga perlu usaha, kita perlu determinasi. Saya ingat waktu kecil dulu, kalau kita nggak latihan, mainya banyak salah. Dulu saya latihan sehari bisa delapan jam, dan saya lihat sendiri buktinya, mainnya jadi benar. Selain bakat, kita perlu open minded sih. Terbuka dengan segala jenis musik. Guru saya om Tamam Hoesein pernah mengatakan saya tidak cocok di klasik. Lebih pas di pop. Dan terbukti saya memang lebih cocok di pop. Bagi saya tidak apa-apa sih. Semua ada porsinya masing-masing. Apa kelebihan saya, itu yang harus saya gunakan.
Bagaimana Anda meng-handle diri saat-saat bad mood dalam profesi Anda?
Saya selalu mengingatkan dalam diri saya untuk selalu bersikap dan bertindak profesional. Di lini kerja saya memang banyak kemungkinan menimbulkan bad mood. Misal, event yang lagunya tidak cocok dengan saya, atau film yang ceritanya kok gini ya, itu saya selalu mengingatkan diri saya untuk profesional. Sekali kamu berada di jalur ini, berikan yang terbaik. Tidak ada alasan apapun, karena ini sudah kerjaan kamu. Lagi pula, dalam hidup ini kita tidak selalu mendapati semua apa yang kita maui kan? So, always give the best!
Apa yang bisa Anda sarankan kepada anak-anak muda kita yang saat ini belajar musik?
Yang pertama, temukan kekuatan diri. Gali kelebihan kalian. Kalian harus tahu apa dan dimana kekuatanmu, apa keunggulanmu dan keistimewaanmu. Rawat dan kembangkan itu, karena jika kalian berhasil, kalian akan menjadi sosok yang orisinal. Kedua, jangan berkarya semata-mata hanya untuk mengejar penghargaan, tetapi kita berkarya untuk menyalakan hati kita, untuk memberi pesan yang baik untuk para pendengar. Kalaupun memenangkan penghargaan itu adalah bonus. Bukan tujuan.
Dalam musik, Anda merasa kekuatan Anda dimana?
Saya merasa diberi kelebihan dari segi harmoni, karena bagi saya harmoni itu sangat penting. Sesuatu yang langsung terasa, bukan saja untuk saya, tetapi lebih-lebih untuk pendengar. Musik yang lahir dari hati, akan langsung terasa di hati pendengarnya.
Banyak anak-anak yang sejak kecil belajar musik tetapi ketika dewasa tak semuanya berkarier di musik. Bagaimana Anda melihatnya?
Dalam hal ini kita harus tahu apakah anak-anak itu benar-benar belajar musik karena pingin jadi musisi atau karena disuruh orangtuanya. Banyak faktornya sih. Memang tidak semua yang belajar musik mesti jadi musisi. Ketika mereka dewasa, bisa saja memilih pingin jadi bisnismen, atau apa saja. Banyak juga teman-teman musisi yang belajarnya bisnis, marketing, tapi ternyata memilih musik sebagai kariernya. Ya nggak apa-apa sih…
Sebagai musisi, apa pendapat Anda tentang piano Steinway
Dari kecil saya sudah tahu kalau piano Steinway itu the world class brand yang terus terang ya, mahal hahaha…Tapi kan ada harga ada rupa ya… Steinway memang bener-bener akustik piano sih… Nggak akan tergantikanlah memainkan akustik piano. Apalagi Grand Piano. Apalagi yang Concert Grand Piano. (*)