MIDYA WIRAWAN, LRSM

124

Article Top Ad

’Jangan Merasa Cukup’

BELAJAR musik itu ibarat berpetualang di kedalaman
lautan ilmu. Semakin dalam menyelam, semakin mengasyikan karena kita tidak tahu di mana batas kedalamannya. Itulah mengapa Midya Wirawan, LRSM., sampai sekarang tetap belajar di tengah perjalanan panjangnya di dunia musik piano, lebih-lebih sebagai guru piano hingga saat ini. Berikut bincang singkatnya dengan STACCATO dalam Steinway Family Story.

Bagaimana masa kecil Anda dan bagaimana Anda terhubung dengan musik?
Berawal dari cerita dari mama saya, bahwa beliau dulu pernahminta dibelikan piano sejak masa remajanya, tapi ditolak ayahnya. Meskipun mereka dari keluarga yang mampu, tetapi mempunyai 9 anak dan karena rumah tinggalnya juga merangkap toko, jadi tidak ada tempat untuk menempatkan piano. Jadi dari mama saya, bakat musik itu rupanya turun ke saya hehehe…Waktu saya kecil suka main ke rumah adik mama yang bisa main piano secara otodidak dan disitulah ketertarikan saya muncul pertama kali terhadap instrumen piano. Waktu saya berumur 5,5 tahun, saat itu saya mulai mencoba membunyikan piano. Disitulah mama dan om saya mulai berpikir bahwa saya kelihatannya tertarik untuk belajar bermain piano.

Article Inline Ad

Siapa yang menginspirasi Anda sehingga Anda tertarik mempelajari piano?
Yang pertama kali menginspirasi saya adalah adik dari mama saya, yaitu tante saya, yang memang bisa main piano secara otodidak. Saya sering menyaksikan tante ketika beliau sedang main piano. Dan setelah selesai, biasanya saya mencoba untuk membunyikan tuts-tutsnya. Ada perasaan senang tiap kali membunyikan tuts piano meskipun tidak jelas apa yang saya mainkan hahaha…Ya sekedar membunyikannya saja. Inspirator kedua adalah mama saya. Beliau rupanya melihat ketertarikan saya dengan piano dan ingin agar saya bisa memainkan piano, lalu beliau mencari guru piano yang baik sekaligus membelikan piano yang waktu itu tentunya cukup mahal. Walaupun kami 5 bersaudara dan keadaan keluarga kami yang biasa-biasa saja, tetapi dukungan kedua orang tua saya sangat besar, saya pun menjadi lebih bersemangat untuk belajar piano.

Bagaimana kemudian Anda belajar piano?
Oleh mama, saya diperkenalkan dengan Mrs. Ada Liem yang kemudian mengajari saya memainkan piano. Saya belajar dengan beliau selama satu tahun. Mungkin karena beliau melihat bakat saya yang besar di piano, beliau menyarankan ke mama saya agar mencari guru yang lebih baik, yang saat itu kebetulan ada guru piano yang sedang mendapat kontrak kerja dari pemerintah Indonesia untuk mengajar di Sekolah Musik Indonesia di Yogyakarta. Inilah jiwa besar seorang guru yang rela melepaskan muridnya yang berbakat ke guru yang lebih baik darinya, demi kemajuan dan masa depan muridnya. Ada nggak ya guru di jaman sekarang yang rendah hati dan rela memberikan murid terbaiknya pada guru yang lebih mampu dari dirinya sendiri?

Selepas dari Mrs. Ada Liem, Anda belajar dengan siapa?
Pada usia 7 tahun saya belajar dengan Mr. Henk te Strake, lulusan Conservatorium Amsterdam, selama empat tahun. Kemudian dengan Mr. Willy Piel dari Jerman, juga selama 4 tahun sampai saya berusia 15 tahun. Selepas dengan Mr. Willy, saya melanjutkan dengan bapak Anwar Soenaryo, lulusan Conservatorium Amsterdam selama tiga tahun sampai saya berusia 18 tahun. Ketiga guru ini adalah guru-guru yang dikontrak oleh pemerintah untuk mengajar di satu-satunya sekolah musik saat itu di Indonesia, yaitu Sekolah Musik Indonesia atau SMIND. Selama belajar dengan bapak Anwar Soenaryo, saya juga belajar biola dengan bapak Tan Thiam Kwie. Saya juga mengikuti beberapa summer courses di Aspen Colorado dan Kansas (USA), Calgary (Canada), Graz (Austria), dan Polandia. Di sana saya belajar dengan guru-guru terkenal seperti Mr. Aube Tzerco, Ms. Nelita True, Mr. Fernando Laeres, Mr. Marvin Blickenstaff, Mr. Kum Sing-Lee, Mr. Adam Wibrowsky. Tahun 1980-1981 belajar dengan Mr. Igor Hmelnitzky, seorang pianis Russia di NSW Conservatorium of Music, Sydney. Saya mendapat Teaching Diploma dari NSW Conservatorium of Music. Di dalam negeri saya berguru kepada Ibu Latifah Kodijat di Jakarta, Ibu Magda Hasan di Yogya dan Ibu The Lan Eng di Surabaya, dengan bapak Yazeed Djamin, dan Johannes Sebastian Nugroho. Saya juga belajar pada ibu Iravati Sudiarso. Beliau memotivasi saya, bahwa kalau mau maju tidak perlu mencari teman untuk ikut Music Course di luar negeri. Atas dorongan beliau, saya memberanikan diri ikut Aspen Summer Festival yang terkenal itu, dan memperdalam permainan piano dibawah bimbingan Mr. Aube Tzerko. Saat ini saya masih memiliki mentor yaitu bapak Iswargia R. Sudarno. Banyak ilmu yang saya peroleh dari pianis dan guru-guru tersebut.

Bagaimana pengalaman tampil Anda di depan publik?
O ya. Mulai usia 8 tahun saya sering mengisi acara musik di RRI, tampil di konser-konser amal, dan konser bagi para pencinta musik klasik di Jawa Tengah. Saya bermain piano solo dan juga bermain ensembel biola. Saya pernah tampil di Keraton Solo, Yogya, dan juga Semarang. Sejak kelas 6 SD hingga lulus SMA menjadi pianis tetap kelompok paduan suara dan orkestra Exultate dibawah konduktor Romo Smitt van Waesberghe, yang merupakan seorang Imam Jesuit dan musisi dari Belanda. Tahun 1977 saya lulus Diploma LRSM di Singapore dengan mendapatkan rekomendasi beasiswa selama 3 tahun ke London namun diputuskan tidak diambil karena waktu itu saya telah berkeluarga. Sepanjang 1977-1986 sering mengadakan Joint Recital dengan Ms. Minte Indra serta solo recital di beberapa kota besar di Indonesia seperti Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Bandung dan Jakarta. Tahun 1984 mendapat kesempatan bermain sebagai soloist dengan orkestra satu-satunya di Indonesia saat itu, dengan konduktor bapak Adidharma. Pada tahun 2007 hingga 2019 diminta sebagai pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan bagian piano performance di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Anda belajar informal dengan pianis dan guru piano ternama. Apa yang memotivasi Anda dan mengapa harus terus belajar bahkan ketika Anda sendiri pengajar piano?
Bagi saya belajar itu proses yang tak ada ujungnya. Tidak ada satupun orang, apalagi guru piano seperti saya, yang merasa telah cukup ilmunya. Setiap lagu memiliki tantangan yang berbeda. Saya banyak belajar dengan pianis dan guru-guru piano karena saya memang harus belajar terus agar memiliki akses ke pemahaman yang lebih dalam tentang interpretasi musikal, teknik yang lebih baik, repertoar yang lebih maju, perspektif musikal yang lebih luas, wawasan pedagogi yang lebih baik, kredibilitas yang meningkat, dan potensi untuk menginspirasi siswa saya sendiri dengan pengetahuan dan seni yang saya peroleh dari pengalaman saya belajar dengan para master. Prinsip saya adalah on going learning process yang tidak pernah berhenti. Bagi saya, mengajar dan belajar tidak bisa dipisahkan

Apa manfaat yang Anda rasakan dari proses belajar yang terus menerus dalam profesi Anda?
Manfaatnya, saya bisa mengajar dengan yakin dan mantap dan hasil bagi murid pun mengalami progress yang bagus dan di dalam kompetisi hasilnya juga cukup bagus. Juga terutama jika ada murid-murid yang ikut masterclass pada guru-guru yang top di Indonesia maupun luar negeri misalnya, kami tidak malu karena mereka tahu basic yang kami berikan sudah cukup baik. Mereka tinggal menambah tentang interpretasi, imagination dan beberapa detail permainan lainnya karena basicnya yang sudah cukup baik.

Menjadi guru piano, apakah memang itu cita-cita Anda di saat awal belajar piano?
Sebenarnya saya tidak ada cita-cita jadi guru piano. Pinginnya jadi pianis hehehe…. Tetapi sesudah menikah, dan usia yang tidak memungkinkan bisa lanjut kuliah, tiba-tiba ada teman guru piano yang harus pindah dari Semarang karena ikut suami. Nah teman ini mempercayakan semua muridnya yang berjumlah 12 orang kepada saya karena mungkin tahu kemampuan saya. Itulah awal saya mengajar yang ternyata membuat saya tak bisa berhenti sampai sekarang.

Apa yang menantang dalam profesi sebagai guru piano?
Pertama, guru piano harus memahami gaya belajar setiap siswanya. Ini unik dan menantang karena setiap siswa bisa memiliki berbagai gaya dan kemampuan belajar, sehingga mustahil hanya menggunakan satu metode mengajar dan membuat efektif untuk semua siswanya. Kedua, guru piano harus sabar dan realistis karena tidak semua siswa berkemampuan sama, dan tidak selalu memenuhi harapan kita sebagai guru. Nah, menjadi penting bagi guru untuk selalu menyadari harapannya sendiri dan memahami kebutuhan siswa. Dari dua tantangan itulah, tidak ada pilihan lain guru harus terus belajar, dan memperbarui pemahamannya tentang metode, konten, dan pendekatannya. Hingga saat ini saya masih belajar mengenai analisa lagu, teknik permainan yang senantiasa berkembang, latar belakang lagu dan komposer yang mengarangnya.

Seringkali guru menjadi role model yang menginspirasi muridnya. Menurut Anda apa saja yang harus dimiliki guru agar bisa menginspirasi muridnya?
Saya pikir jawabannya relatif ya, karena setiap guru pasti memiliki keistimewaan dan keunikan sendiri. Menurut saya, tergantung beberapa hal. Misalnya, kedalaman ilmu, pemahaman, keterampilan, dan kreativitasnya. Kemampuan menjelaskan juga penting karena guru harus mampu menjelaskan konsep musik dan teknik tingkat lanjut dengan cara yang sesuai dengan usia dan relevan dengan pengalaman siswanya. Guru harus punya kualitas kesabaran yang baik, agar mereka bisa menyampaikan pengetahuannya dengan cara yang mudah dipahami. Dan jangan lupa, memberikan apresiasi atas kerja keras dan pencapaian siswa pada setiap level.

Anda salah satu guru piano senior dengan pengalaman cukup panjang. Apa saran Anda untuk anak-anak muda kita yang saat ini sedang belajar piano?
Saran saya, jangan pernah merasa cukup dalam belajar. Jangan pernah merasa telah selesai dalam belajar. Apa yang kita capai hari ini belum mencerminkan kemampuan maksimal kita. Artinya, kita masih punya potensi untuk menyelam lebih jauh lagi di kedalaman musik. Untuk jadi musisi harus punya passion, mau kerja keras, teliti, dan sabar. Banyak anak muda yang masih mengandalkan fisik. Jari-jari sibuk main daripada mengasah kepekaan telinga supaya bisa mengenali suara dan detailnya. Bagi yang mau jadi guru juga harus punya passion dan pengetahuan pedagogi yang cukup, punya kurikulum yang baik sehingga kemajuan murid bisa terukur dengan jelas. Untuk piano klasik, murid mutlak harus bisa baca not balok dengan lancar. Saya masih mendapatkan murid yang tidak bisa baca not dan tidak mengerti apa-apa tentang ritme dan semua yang ter tera di kertas musik karena sistimnya hanya menirukan suara dari gurunya. Ini sangat menyedihkan

Anda 55 tahun berkarya di musik. Apa artinya itu?
Artinya, waktu berjalan begitu cepat. Tanpa terasa saya sudah 55 tahun berkarya di musik. Entah sudah berapa ribu murid yang dihasilkan, ratusan murid lulus grade 8, sejumlah murid berbakat berhasil meniti karir di banyak negara, banyak murid menjadi guru yang baik di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Murid lainnya menjadi penikmat musik klasik yang baik. Semua keberhasilan ini saya persembahkan kepada Tuhan karena berkat kasih karunia-Nya saja saya dapat berkarya sampai saat ini.

Sebagai pianis dan guru piano, bagaimana Anda melihat Steinway Piano?
Bagi saya Steinway Piano itu lebih dari sekadar instrumen musik, tapi tentang ekspresi, kreativitas, dan kemungkinan yang tak terbatas. Steinway Piano menyediakan semua kebutuhan pianis untuk menampilkan permainan terbaiknya. Piano Steinway adalah piano terhebat di dunia. Piano yang paling harmonis untuk tujuan musikal, dan melengkapi apa yang indah dan artistik. (*)

Article Bottom Ad