TANPA disadari, tempat (space) dalam pertunjukan musik, ternyata memiliki kaitan psikologi, baik terhadap pemain maupun penontonnya. Penempatan instrumen, posisi pemain, letak peralatan pendukung, jarak antar pemain dan instrument, dan sebagainya, memiliki pengaruh psikologis yang mungkin jarang sekali diperhitungkan.
Para komposer sejak lama telah menaruh perhatian terhadap aspek-aspek yang berhubungan dengan ruang dalam musik. Betapapun, ketertarikan dalam bidang ini mulai berkembang sejak era Hector Berlioz. Ia berargumen bahwa penempatan alat musik dalam ruang sebaiknya dipertimbangkan sebagai bagian esensial dari sebuah komposisi.
Dalam bukunya, “Treatise on Instrumentation”, Berlioz menulis, “I want to mention the importance of the different points of origin of the tonal masses, Certain groups of an orchestra are selected by the komposer to question and answer each other, but this design becomes clear and effective only if the groups which are to carry on the dialogue are placed at a sufficient distance from each other,”.
Tempat, menjadi faktor penting dalam pagelaran musik. Tidak saja dari aspek estetika, tetapi dari efisiensi dan kelancaran sebuah pagelaran. Dari sisi psikologi, penempatan instrument yang tidak tepat akan mempengaruhi psikologi penonton dan pemainnya, misalnya, kemungkinan tidak nyaman.
Begitu pentingnya, seorang komposer kadang perlu membuat sketsa letak dan posisi instrument. Misalnya, drum, bass drum, cymbal dan kettledrum, sebaiknya ditempatkan dalam satu tempat untuk memberikan dukungan irama secara simultan. Penempatan instrument yang tepat diperlukan untuk memberikan efek-efek tertentu yang diperlukan dalam pagelaran tersebut.
Komposer-komposer abad 20 seperti Charles Ives, Brant, dan Stockhausen merupakan salah contoh komposer yang sangat konsern dengan masalah tempat. Bagi dia penempatan instrument maupun pemain, merupakan aspek yang sama pentingnya dengan komposisi itu sendiri. Sebuah komposisi tidak akan bisa “hidup” tanpa didukung penempatan instrument yang benar, katanya.
Selain penempatan, kontrol terhadap suara yang dihasilkan juga menjadi perhatian serius. Dalam hal ini, bukan saja menyangkut kualitas suara, warna suara, maupun efek suara, tetapi yang paling penting adalah balance atau keseimbangannya. Tchaikovsky dalam sebuah konsernya, pernah mengubah berbagai posisi pemain dan instrumennya selama satu minggu lebih sebelum ia yakin bisa menghasilkan suara yang diinginkan.
Aspek-aspek yang menyangkut ruang dalam pagelaran musik merupakan wilayah lain yang banyak dipelajari para komposer dan para ahli lainnya, untuk menghasilkan efek-efek yang bisa digunakan demi kesempurnaan pertunjukan musiknya.
Setting atau tata letak instrument dalam sebuah pagelaran musik, adalah seperti seseorang meletakkan perabot rumah. Dalam banyak hal, penempatan instrument bukan hanya mempengaruhi penonton, tapi juga kesan (impressi) pertunjukan itu sendiri. “Ini sama ketika kita memasuki sebuah rumah. Kesan pertama muncul dari tata letak perabotnya,” kata Van Noorden, seorang musisi Belanda yang terkenal rewel dalam tata letak instrumen.
Bregman dan Campbell, pada 1971 membuat sebuah model-model setting musik orkestra yang berangkat dari tiga hal: komposisi, fleksibilitas pemain, dan respon penonton. Berangkat dari tiga hal ini, ia menyusun model-model tata letak instrumen.
Namun model-model yang dibuat kedua orang ini banyak dikritik para komposer sendiri, juga para kritikus musik dikarenakan mengabaikan peran “pemimpin pertunjukan”, yang dalam bahasa musik orkestra adalah konduktor, atau pada jenis musik lain disebut leader.
Keterkaitan Erat
Para ahli psikolgi berpendapat, ada keterkaitan erat antara space dan impressional aspect dan sebuah interaksi yang kuat antara pemain, instrument dan penonton. Tiga elemen ini -pemain, instrument, dan penonton- merupakan bagian dari sebuah “ritual” yang masing-masing unsur tersebut memiliki “gaya tarik-menarik” satu dengan lainnya.
Dalam musik jazz dimana “ritual” itu sangat jelas, keterlibatan penonton adalah satu hal yang nyata dan merupakan bagian dari jazz itu sendiri. Keterlibatan penonton dalam sebuah pertunjukan musik ada dua jenis, yakni pasif dan aktif.
Penonton pasif adalah mereka yang hanya menerima suguhan pertunjukan musik tanpa adanya interaksi langsung dengan pemainnya. Penonton-penonton musik klasik adalah tipe jenis penonton ini. Sementara penonton aktif adalah mereka yang memiliki respon dan relasi langsung dalam musik. Penonton musik jazz atau musik-musik yang lebih mengedapan aspek dance, adalah penonton tipe ini. Karakter penonton aktif adalah respon yang aktif terhadap musik itu sendiri.
Schouten, seorang psikolog asal Swedia, pernah melakukan penelitian yang menyebutkan bahwa penonton sebuah pertunjukan musik merupakan aspek dinamis yang bisa memberi bobot sebuah pertunjukan musik itu sendiri. “Kita tidak bisa membayangkan bagaimana sebuah pertunjukan musik, tanpa respon penonton,” katanya.
Sementara Wertheimer, ahli teori musik mengatakan penonton musik adalah seperti pembaca sebuah novel. Musik yang baik dapat membawa penonton berkelana ke alam khayal, terseret oleh alur melodi dan kekuatan themamya. “Novel yang baik adalah juga yang mampu mempengaruhi emosi pembacanya. Demikian juga dalam musik. Ia harus bisa mempengaruhi emosi penonton, dan terlibat di dalamnya,” katanya.
Pengaruh Gedung Konser
Sementara itu Dr. Jukka Pätynen yang bekerja sebagai peneliti pasca-doktoral Akademi Finlandia di kelompok penelitian Akustik Virtual Profesor Tapio Lokki dan kelompoknya melakukan penelitian yang bertujuan untuk memahami bagaimana akustik ruangan mempengaruhi sinyal suara, dan bagaimana orang mempersepsikan sifat akustik ruangan. Penelitian berfokus pada peningkatan prediksi dan pemahaman tentang ruang konser dan ruang lain yang menuntut akustik.
“Beberapa interpretasi dari karya musik yang sama dapat membangkitkan emosi yang lebih kuat daripada yang lain. Demikian pula, penelitian kami telah berhasil menunjukkan bahwa akustik ruang memainkan peran penting dalam dampak emosional secara keseluruhan. Bagaimanapun, pengalaman emosional adalah faktor kunci dalam musik bagi banyak orang. pendengar.” kata Dr. Jukka Pätynen.
Selama beberapa dekade, para peneliti akustik ruang konser telah bercita-cita untuk menjelaskan keberhasilan akustik ruang tertentu dengan parameter akustik ruang. Studi oleh peneliti Finlandia adalah yang pertama menilai akustik ruang konser yang ada sebagai dampak emosional.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa pengalaman emosional terkuat dengan mendengarkan musik dapat menimbulkan getaran atau merinding pada pendengarnya. Reaksi yang jauh lebih lemah dapat dideteksi dari variasi konduktansi kulit listrik.
Berdasarkan pengetahuan ini, para peneliti mempresentasikan subjek uji kutipan simfoni Beethoven dengan akustik yang diukur di ruang konser yang berbeda. Selama mendengarkan, konduktansi kulit diukur dengan sensor yang terpasang di jari pendengar untuk merekam besarnya reaksi emosional terhadap kondisi akustik yang berbeda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penampilan musik orkestra klasik yang identik membangkitkan dampak emosional yang lebih kuat ketika disajikan dalam akustik ruang konser tipe kotak sepatu, seperti Vienna Musikverein atau Berlin Konzerthaus. Studi ini melibatkan dua posisi yang dipilih secara identik dari enam gedung konser Eropa: Vienna Musikverein, Amsterdam Concertgebouw, Berlin Konzerhaus and Philharmonie, Cologne Philharmonie, dan Helsinki Music Centre. (raissa)