MENJADI guru piano? Kelihatannya gampang dan menjanjikan. Siswa yang sudah lulus grade 8 Royal misalnya, diijinkan mengajar. Bahkan, piano player pun yang mungkin tidak pernah mengecap bangku konservatorium dan tak punya ijasah Royal, asal bisa baca not balok tidak dilarang mengajar. Dan di tengah booming sekolah maupun tempat kursusmusik saat ini, guru musik (juga guru piano) begitu laris. Sampai-sampai banyak pengelola sekolah musik atau kursus musik pusing mencari guru piano. Pertanyaannya adalah, sebegitu gampangkah menjadi guru musik (baca:mengajar) piano?
John M. Zeigler, Ph.D, pianis yang juga pedagog terkenal dari Rio Rancho, Amerika Serikat, membedakan antara kemampuan dan kompetensi dalam mengajar. Menurut dia, seorang pengajar atau guru mesti memiliki dua hal ini sekaligus: kemampuan/keterampilan (skill) dan kompetensi (competence) atau kelayakan. “Kemampuan atau skill harus dimiliki guru, itu jelas. Tetapi tanpa kompetensi mengajar, skill mereka tidak akan banyak bermanfaat dan menjadikan proses belajar menjadi sesuatu yang tak punya tujuan jelas,” katanya.
Kompetensi, menurut Zeigler, meliputi bukan saja keterampilan tetapi kemampuan mentransferkan keterampilan tersebut dengan sebuah cara atau metode. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki kompetensi adalah mereka yang menguasai keterampilan dan sekaligus menguasai serta tahu cara mengajarkan keterampilan itu. “Tentu saja, mengajar, dalam hal ini pun memerlukan ilmu tersendiri, cara tersendiri, dan pendekatan tersendiri. Inilah salah satu alasan untuk menjadi guru yang baik,” katanya.
Mengapa tidak semua pianis hebat juga bisa sekaligus menjadi guru piano yang hebat? Menurut dia, tidak semua pianis-pianis top juga bisa mengajar dan menjadi guru piano yang baik, karena dalam satu hal mereka memang tidak memiliki kompetensi mengajar.
Sepanjang hidupnya, seorang artis dilatih dan dididik memang untuk menjadi seorang artis. Bukan guru. Mereka performer, bukan teacher. Sementara disisi lain, seorang guru piano bukan saja dituntut menguasai keterampilan bermain piano, tetapi yang
lebih penting adalah keterampilan mengajar.
Memang, kata Zeigler, sejarah mencatat terdapat pula pianis-pianis top, sekaligus juga bisa menjadi guru yang baik seperti Frans Liszt misalnya, tetapi akan sangat menyesatkan bila ada analogi yang menyatakan bahwa pianis hebat, pastilah guru yang hebat pula. “Pada saat saya masih muda, suatu ketika saya bertanya kepada pianis yang saya kagumi mengapa saya harus memainkan ini dengan cara begini. Pianis itu tidak menjawab, tetapi langsung mempraktikannya dengan permainannya. Padahal, saya membutuhkan penjelasan. Saya lalu berpikir, para artis itu menjawab dengan permainan, dengan praktik, bukan dengan mulut, dan saya merasa ada yang kurang” kata Ziegler.
Menurut dia, setiap orang memiliki kompetensi. Seorang performer, mungkin hanya punya kompetensi dalam hal performance. Tapi mungkin ia juga punya kompetensi dalam mengajar. “Kenapa tidak? Problemnya adalah sebagian besar orangtua sisa dan siswa itu sendiri kadang-kadang tidak mengetahui, benarkah guru ini punya kompetensi mengajar? Inilah tantangan bagi guru-guru piano saat ini, yang harus dimulai dari pertanyaan paling mendasar, yakni, benarkah saya senang mengajar? Jangan bicara kompetensi, kalau Anda memang tidak suka dan tidak bisa mengajar,” kata Ziegler
Pekerjaan Hercules
Jana Cole Ph.D, pedagog senior dari Amerika, mengatakan, mengajar piano sesungguhnya adalah sebuah profesi yang sulit karena hampir semua yang Anda coba lakukan berlawanan dengan apa yang seharusnya berjalan. Dengan kata lain, tidak semua yang Anda harapkan, bisa berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan harapan Anda.
Ketika Anda mengajar bagaimana membaca musik misalnya, siswa mungkin mengakhirinya tanpa sedikitpun mengingat apa yang Anda ajarkan. Bila Anda mengajar dengan pelan, bermain akurat, siswa mungkin tidak mendapatkan teknik yang cukup dalam waktu 30 menit. Anda menekan mereka untuk bermain cepat, mereka mungkin lupa semua hal tentang relaksasi. Bila Anda berkonsentrasi ke teknik, siswa barangkali lupa bagaimana bermain secara musikal.
“Dalam hal ini seorang guru perlu selalu memikirkan, mencari dan menemukan sebuah sistem yang berhasil memandu untuk mengatasi semua jenis kontradiksi-kontradiksi yang muncul, tanpa melupakan apa yang dibutuhkan dan diharap kan siswa. Mengajar piano sesungguhnya seperti sebuah pekerjaan Hercules, yang tidak diperuntukkan bagi mereka yang pengecut dan bernyali kecil,” kata Cole.
Dalam pandangan Cole, guru musik (baca piano) secara umum terbagi paling tidak dalam tiga katagori, tergantung pada siapa siswa yang diajarnya. Dalam hal ini ini setidaknya ada tiga kategori guru bagi siswa. Pertama, guru untuk pemula (khusus anak-anak), kedua, guru untuk siswa intermediate, dan ketiga guru untuk siswa siswa advance.
Sangat jarang ditemui guru yang memiliki kapasitas mengajar untuk ketiga katagori tersebut sekaligus. Masing-masing katagori memiliki spesifikasi sendiri, yang memerlukan pendekatan yang berbeda pula. Kondisi seperti ini makin mempersulit guru untuk bisa mengajar dengan sukses seorang diri, tanpa melibatkan guru-guru yang lainnya.
“Pendekatan yang baik dalam hal ini adalah kerjasama antara guru yang memiliki kompetensi pada ketiga katagori tersebut. Para guru berkoordinasi agar masing-masing berperan sebagaimana mestinya dan sesuai dengan kompetensinya, dimana pada akhirnya siswa memperoleh guru yang cocok dan tepat sesuai kebutuhannya,” kata dia.
Kerjasama antar guru, kata Cole, sangat diperlukan sekali saat ini karena metode-metode mengajar yang ada selama ini tidak ada standarisasinya. Masing-masing guru memiliki standar-standar sendiri yang ironisnya, kadang-kadang justru merugikan siswa. Misalnya, beberapa guru siswa tingkat lanjutan kadang-kadang menolak mengajar siswa yang berasal dari guru tertentu dengan alasan ‘tidak diajari dasar-dasar piano yang benar’. “Hal ini tidak akan terjadi bila hal-hal yang fundamental terstandarisasikan,” ujar Cole.
Ia melanjutkan, tiga katagori guru di atas sangat diperlukan karena sebuah pemborosan dan kesia-siaan bagi guru yang memiliki kemampuan mengajar siswa intermediate, tetapi mengajar siswa-siswa pemula (anak-anak). Di samping itu, guru-guru siswa tingkat lanjutan biasanya bukan guru yang baik untuk siswa-siswa pemula.
Bagaimanapun, semua guru mesti saling berkoordinasi dalam satu kesatuan bahwa mereka semua mengajar dengan metoda yang sama, filosofi yang sama, dan sebagainya, agar ketika siswa-siswa pemula harus melajutkan ke guru-guru intermediate, prosesnya berlangsung lancar. Di sisi lain, para guru advance juga menginginkan seorang siswa yang sejak awal mengetahui semua metode-metode yang salah.
Alasan lain mengapa dibutuhkan tiga katagori guru seperti di sebut di atas adalah karena talenta dan kemampuan setiap siswa bermacam-macam. Di tangan seorang guru yang tepat, proses belajar menjadi lebih cepat dan efisien.
Pentingnya Komunikasi
Richard Beauchamp, spesialis pengajar musik untuk anak-anak pemula di Amerika mengatakan, komunikasi antar guru adalah satu-satunya pilihan ketika setiap orang menyadari bahwa tidak ada satu manusia pun yang bisa melakukan semua hal, termasuk guru piano.
“Para guru sebaiknya saling berkomunikasi dengan guru-guru yang lain, bertukar pikiran, dan saling belajar satu dengan lainnya. Tidak ada yang lebih membahayakan bagi seorang siswa, kecuali seorang guru yang mengajar metode-metode kaku dan membekukan. Di era informasi dewasa ini, tidak ada yang namanya metode rahasia atau metode yang dirahasiakan. Kesuksesan seorang guru sangat tergantung dari bagaiamana dia membangun sebuah komunikasi yang terbuka,” kata Berchamp.
Salah satu topik penting dalam komunikasi tersebut, lanjut Beauchamp, adalah pertukaran siswa. “Saya sadar, ini sesuatu yang sensitif dan tidak semua guru memiliki komitmen dalam hal ini dengan berbagai alasan,” ujarnya.
Namun, menurut dia, tanggungjawab seorang guru sebaiknya harus diletakkan kepada kepentingan siswa. “Sebagian besar siswa dapat memperoleh manfaat yang sangat berharga apabila mereka mendapatkan pengajaran lebih dari satu guru. Guru-guru siswa pemula misalnya, sesegera mungkin meluluskan siswanya ke tingkat yang lebih tinggi dan menyerahkannya ke guru yang lebih tinggi dan memiliki kompetensi mengajar pada tingkat yang lebih tinggi, segera setelah siswa siap,” katanya.
Sebagai seorang guru, Beauchamp bisa merasakan hal seperti ini tidaklah mudah dilakukan. Manusia selalu memiliki ego, dan pada sebagian besar guru, mereka akan sekuat tenaga tetap mempertahankan siswa-siswa terbaik mereka dan mengajar sebanyak mungkin siswa, sepanjang ia bisa melakukannya. “Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk memecahkan masalah ini adalah, guru membentuk kelompok yang terdiri dari guru-guru dengan spesialisasi yang berbeda, sehingga seperti sebuah sekolah yang lengkap,” katanya.
Hal itu bukan saja menguntungkan siswa, tetapi juga para guru. Yakni, mempermudah mereka memperoleh siswa. Bagi siswa-siswa yang sedang mencari guru, akan lebih mudah dan mantap mencari guru yang bernaung dalam sebuah kelompok, daripada mencari guru yang beroperasi sendirian.
Guru-guru pemula, yang baru mulai mengajar, seringkali kesulitan memperoleh siswa pertama mereka. Bergabung dalam sebuah wadah atau kelompok guru, akan sangat membantu mereka dalam memulai kariernya sebagai guru.
Sebagian guru dengan reputasi baik, biasanya sering menolak siswa dengan alasan keterbatasn waktu. Nah, guru-guru seperti ini adalah sumber untuk mendapatkan siswa. “Tetapi jika Anda tidak memiliki jaringan komunikasi, semua itu tak pernah Anda peroleh,” kata Beauchamp.
Sementara itu Kirsten Allen Foutz, guru piano yang tergabung di American Music Teacher, membagi dua katagori guru piano berdasar dimana mereka mengajar. Pertama, guru yang mengajar di sekolah musik dan guru yang mengajar sendiri (independent teacher) dengan studio musik sendiri.
Menurut dia, guru-guru yang mengajar di sekolah musik musik tidak seberat konsekuensinya dibanding guru-guru independen. Mereka cenderung lebih mapan karena tidak perlu memikirkan sarana dan prasarananya, sementara guru-guru independen lebih berat karena mereka bukan saja harus mempersiapkaan silabus, kurikulum, maupun sistemnya, tetapi juga harus mempersiapkan sarana pendukung seperti ruang kelas, instrumen, buku-buku, komputer, dan sebagainya.
Kirsten juga menambahkan, beban pengajar piano juga bisa dipengaruhi dari apakah kegiatan mengajar itu sebagai satu-satunya penghasilan, ataukah hanya sekadar second activity. “Ini akan mempengaruhi bagaimana guru membuat strategi. Biasanya guru yang mengandalkan pemasukannya dari kegiatan mengajar, akan sering menghadapi situasi- situasi yang membuat mereka cepat stress dan frustasi, dibanding mereka yang menjadikan kegiatan mengajar hanya sebagai second activity,” katanya. (Dien A. Basri)