“Classical Echoes” Dari Dwi Hansen

807

Article Top Ad

Memproduksi kembali karya-karya dari komposer klasik, bukanlah sebuah perkara mudah. Menduduki posisi sebagai interpreter yang memiliki tanggung jawab moral untuk melestarikan sebuah musik (baik secara estetik maupun artistik), dibutuhkan kematangan secara wawasan, musikal dan juga teknik. Tak cukup sampai disitu, tekad serta mental seseorang tentunya juga diuji melalui proses ini.

Mengingat produksi album dari putra-putri bangsa yang mempopulerkan kembali karya-karya gitar klasik masih dapat dihitung dengan jari jumlahnya, kita sepatutnya turut bahagia karena tahun ini kita mendapat sebuah hadiah. Ya, Satu album lagi untuk menambahi jajaran tersebut: “Classical Echoes”, oleh Dwi Hansen. Album yang diluncurkan di tengah pandemi ini membawa kesegaran serta harapan baru bagi industri musik klasik Indonesia, khususnya gitar klasik.

Dwi Hansen, adalah gitaris muda asal Jogjakarta. Berawal dari belajar gitar secara otodidak, Hansen kemudian melanjutkan pendidikan musiknya di SMK 2 Kasihan (dikenal dengan SMM Jogjakarta), lalu pada tahun 2015 menempuh pendidikan di ISI (Institut Seni Indonesia) Jogja dengan peminatan musikologi dibawah bimbingan Andri Indrawan. Berbagai prestasi telah diraihnya, diantaranya: juara 1 solo gitar Fls2n 2014 (kategori SMM), juara 1 UNY Classical Guitar festival (kategori junior), juara 2 Valerio International Guitar Festival 2016 (open category), dan juara 3 Kompetisi Gitar Klasik Nasional 2017 (open category).

Article Inline Ad

Album pertama Hansen yang berjudul “Painting of Senses” mulai diproduksi pada tahun 2017. Diawali dalam rangka memenuhi syarat mata kuliah kerja profesi, album tersebut akhirnya dirilis tahun 2018 dan diproduksi dibawah naungan DS Records (yang kemudian juga menjadi records yang menangani album-album solo Hansen hingga sekarang). Album pertama Hansen ini berisi lagu-lagu orisinil Hansen serta beberapa karya klasik, seperti Torre Bermeja – Isaac Albeniz dan The Little Negro – Claude Debussy. Album ini cukup sukses dan mendapat tanggapan yang baik dari publik.

Menyusul album pertama tersebut, Hansen merilis album kedua yang diberi judul “Menanti Matahari” pada tahun 2019. Kali ini, karya-karya orisinil Hansen yang syahdu dan kontemplatif mendominasi albumnya. Sebuah transkribsi yang indah dari karya composer Burgmuller, “La Candeur, Op. 100 No.1” juga turut ia sisipkan di album ini.

“Classical Echoes”, album ketiga dari Hansen ini cukup berbeda dari dua album lainnya. Dalam album ini Hansen sepenuhnya membawakan kembali karya-karya dari komposer klasik, seperti Albeniz, Bach, Scarlatti, Barrios, dan Tarrega. Menurut Hansen, dibalik belum terlalu populernya musik klasik di Indonesia, malah ada peluang yang baik untuk memperkenalkan musik klasik melalui instrumen gitar klasik. ”Aku pikir.. aku coba memberanikan diri, untuk memperkenalkan musik klasik yang indah untuk diperkenalkan ke masyarakat di Indonesia. Walaupun banyak pro dan kontra, kita harus berani mengambil keputusan”, tambah Hansen.

Poin lainnya yang menambahkan keistimewaan pada album yang dirilis pada Januari 2021 ini, adalah adanya beberapa transkribsi baru yang dibuat dan dibawakan oleh Hansen. Diantaranya: Nocturne in C-Sharp Minor, Op. posth – (Chopin), Gnossiene No. 1 (Eric Satie) dan Sonata in E Major K. 30, L.23 (Scarlatti). Ya, mendengarkan kembali karya klasik yang ditranskribsi untuk instrumen gitar klasik (yang notabene khas dan kaya akan warna/timbre), dapat menjadi sebuah pengalaman mendengarkan musik klasik yang baru dan unik.

Selain itu, hal yang membuat sebuah karya transkribsi untuk gitar menjadi sesuatu yang spesial adalah pembuatannya yang benar-benar tidak mudah, karena selain harus memiliki pemahaman akan musik dan harmoni yang luas, juga dibutuhkan pemahaman akan instrumen gitar klasik yang sangat baik. Dengan kata lain, tak semua orang bahkan belum tentu semua komposer dapat melakukannya.

Contohnya, dalam mentranskrib partitur solo piano menjadi solo gitar, maka seseorang seringkali harus mengeliminasi beberapa chord voicing yang ada, membuatnya tetap terdengar identik dengan karya aslinya (tidak merusak identitas harmoninya), namun tetap memungkinkan untuk dimainkan pada instrument gitar klasik; yang dari segi harmony range serta jumlah nada yang dapat dimainkan tak seluas dan sebanyak instrumen piano.

Ya, dan dalam album ini Hansen berhasil membuat transkripsi-transkripsi yang amat apik, ia merepresentasikan kembali karya para komposer tersebut sambil meng-highlight keindahan, keunikkan serta keunggulan instrumen gitar klasik. “Arti menjadi gitaris buatku adalah menjadi seniman (tak hanya gitaris) yang seninya harus bisa bermanfaat dan diterima oleh banyak kalangan”, tutur Hansen. Melalui seninya, Hansen juga berharap semoga musik klasik yg masih dianggap kecil harapannya oleh masyarakat Indonesia sebagai sarana pekerjaann, kelak dapat lebih diakui sebagai sarana musik profesional.

Karya-karya Hansen dapat didengarkan melalui platform-platform musik digital (Spotify, Joox, Itunes) serta updates mengenai Hansen dapat diikuti melalui akun media sosialnya (instagram: @dwi_hansen , facebook & youtube: Dwi Hansen). Bravo, Hansen! Semoga tercapai cita-cita serta harapannya. (Priscilla Setiawan)

Article Bottom Ad