ISWARGIA R. SUDARNO

781

Article Top Ad

 

‘DI SINI LEBIH REWARDING’

Article Inline Ad

JENGKEL, sebal dan menyakitkan tiap kali ditanya orang asing ‘‘apa ada kegiatan musik Klasik di Indonesia,” , membuat Iswargia R. Sudarno, mantap untuk pulang ke tanah air selepas lulus kuliah di luar negeri, dan bertekad mengembangankan Musik Klasik di Indonesia. Kini 30 tahun sejak kembali dari Amerika, ia bisa tersenyum menyaksikan perkembangan musik klasik di Indonesia yang bisa disejajarkan dengan negara-negara lain, setidaknya ASEAN. Berikut bincang singkatnya dengan sosok yang lebih dikenal dengan panggilan Kak Lendi ini.

Bagaimana masa kecil Anda dan bagaimana bisa terhubung dengan musik?
Tidak ada yang istimewa dengan masa kecil saya. Orang tua saya bukan pemusik, dan juga bukan pencinta musik yang fanatik, sehingga musik di rumah hanya bagian dari acara televisi, radio, dan rekaman kaset saja. Lucunya setelah saya dewasa orang tua saya baru menceritakan bahwa waktu bayi saya selalu menangis bila mendengarkan musik yang melankolis, dan baru berhenti setelah diputarkan musik yang gembira atau bersemangat. Mereka tidak menyadari itu sebagai bagian dari kecenderungan saya menyukai musik.

Apa yang pertama kali membuat Anda tertarik pada musik, dan berapa usia Anda saat memulai pelajaran formal?
Seingat saya, saya tertarik waktu melihat teman saya main piano. Jadi dulu waktu SD saya sering bermain dengan anak-anak tetangga; bermain kasti, petak umpet, dan permainan lainnya. Suatu hari saat mau pulang, teman saya langsung latihan piano, jadi saya sempat mengintip dari luar rumah ia bermain piano. Entah kenapa rasanya waktu itu ada dorongan begitu kuat dari dalam diri saya untuk belajar main piano. Segeralah saya minta orang tua saya untuk mendaftarkan les piano. Awalnya mereka agak ragu karena takut saya tidak serius dan konsisten, karena piano adalah barang mahal. Tapi saya tetap ngotot. Ketertarikan saya rasanya sudah ada sebelum les piano. Dulu saya sering bermain piano mainan milik adik saya. Bahkan akhirnya piano mainan itu jadi milik saya, karena adik saya tidak menyukainya. Saya memainkannya tiap hari. Bahkan sebelum les piano pun sebenarnya saya sudah bisa main tangan kanan melodi dan tangan kiri accompaniment, karena belajar sendiri. Saya mulai les piano di usia 11,5 tahun. Jadi ketertarikan saya terhadap musik yang memang dari sononya hehehe…

Anda lulusan teknik arsitektur ITB, bagaimana ceritanya kemudian kuliah musik di Amerika?
Sejak kecil saya memang mempunyai ketertarikan yang sangat kuat terhadap terhadap arsitektur dan musik. Ketertarikan terhadap arsitektur mungkin muncul 1-2 tahun lebih awal dari musik dan terus bertahan hingga SMA, dan sampai sekarang tentunya. Jadi, saya memang tidak pernah mempunyai kesulitan dalam menentukan pilihan jurusan perguruan tinggi. Awalnya pilihan saya adalah arsitektur, karena pada zaman saya remaja musik memang tidak pernah danggap sebagai pilihan untuk pekerjaan tetap, karena tidak ada jenjang karir yang jelas. Itu karena bidang musik belum berkembang seperti sekarang. Jadi, dengan ‘sekuat tenaga’ saya mencoba menganggap bahwa musik adalah hobi saya. Tapi, anggapan ini bergeser setelah saya pergi ke Paris di kelas 3 SMP.

Kenapa?
Kebetulan saat itu paman saya, yang adalah diplomat, mendapat penugasan di Paris. Di sana saya bertemu dengan Pak Oerip S. Santoso yang kebetulan sedang menyelesaikan program S-3-nya di sana. Beliau mengajak saya melihat Marguerite Long Internasional Piano Competition, salah satu kompetisi piano international yang prestisius, selama beberapa hari. Di sanalah anggapan saya mulai bergeser, dan akhirnya saya bingung sendiri di akhir SMA. Tapi, saya memang bukan tipe anak yang suka merengek pada orang tua. Saya sadar sekali bahwa untuk kondisi orang tua saya saat itu, sekolah di luar negeri adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Jadi, kembali saya memendam keinginan saya untuk bersekolah musik, dan karena saya memang sangat menyukai arsitektur, saya tidak mengalami kesulitan memilih jurusan program S-1 saya. Namun demikian, karena minat yang sangat besar dalam musik, saya memiliki banyak inisiatif dalam menggelar dan mengurus konser-konser saya sendiri bersama teman-teman hingga akhirnya menggelar resital solo perdana saya. Saya pun mulai mencoba mengajar piano. Ternyata saya sangat enjoy, hingga setelah lulus saya mempunyai waktu lebih banyak mengajar. Saat itu saya dapat melihat, kok pendapatan saya bisa sama bahkan lebih sedikit dari teman-teman saya yang arsitek. Di situlah saya mulai menyadari bahwa musik dapat menjadi pilihan pekerjaan dan karir. Saat itu juga saya sadar bahwa saya memerlukan dasar pendidikan musik yang kuat agar dapat mengembangkan karir saya, dan juga mengajar dengan lebih bertanggungjawab.

Apa yang kemudian Anda lakukan?
Saya mencoba mencari beasiswa dengan mengunjungi kedutaan besar negera-negara Eropa dan Amerika Serikat, namun saat itu sulit sekali mendapatkan beasiswa S-2 untuk belajar bidang yang berbeda dengan lulusan disiplin S-1 yang dimilikinya. Saya sama sekali tidak keberatan belajar S-1 lagi, namun kemungkinan mencari beasiswa untuk belajar S-1 malah lebih mustahil lagi. Saya ingat bagaimana saya harus tiap hari ke luar masuk kedutaan besar tanpa mendapatkan informasi dan hasil yang menjanjikan. Nah, orang tua saya rupanya tergerak untuk membantu menyekolahkan saya ke luar negeri. Kondisi keuangan orang tua saya rupanya sudah jauh lebih baik saat itu. Saya hanya mendaftar universitas musik yang menerima audisi rekaman.

Kenapa?
Karena akan terlalu mahal bila audisi langsung. Saya diterima di Amsterdam Conservatorium, Royal Conservatorium Den Haag, Eastman School of Music, dan Manhattan School of Music. Dari keempat sekolah itu saya memilih Manhattan School of Music karena di sana saya dapat langsung mengambil program S-2 musik dengan latar belakang S-1 dari disiplin yang lain, sehingga biaya yang harus dikeluarkan orang tua saya menjadi sangat berkurang. Apa lagi di masa itu pemerintah kota New York memberi subsidi yang sangat besar terhadap pendidikan dan kegiatan seni, sehingga biaya kuliah yang harus saya bayarkan masih lebih kecil dari beasiswa yang saya dapatkan di Eastman. Namun, alasan yang tidak kalah pentingnya adalah karena di sana saya diterima untuk mendapat bimbingan dari Karl Ulrich Schnabel.

Memangnya siapa sosok Karl Ulrich Schnabel?
Beliau pianis yang juga merupakan pedagog legendaris dan berpengaruh saat itu. Karl Ulrich Schnabel adalah anak dari Artur Schnabel, murid dari Theodor Leschetizki yang juga murid Carl Czerny. Czerny sendiri adalah murid Beethoven. Saya tidak tahu apakah kekaguman saya terhadap Beethoven dimulai dari sini atau tidak, tapi yang jelas Mr. Schnabel memberikan wawasan yang sangat khusus dan istimewa akan persepsi dan konsepsi saya terhadap musik. Dan yang jelas, proses dan konsep pengajaran yang saya terapkan pada murid-murid saya adalah pengaruh besar dari Mr. Schnabel. Well… cukup ngalor-ngidul ya… Hehehe…

Saat memutuskan untuk meneruskan belajarnya di musik, bagaimana penerimaan orang tua Anda?
Sama sekali tidak keberatan, dan saya tidak perlu meyakinkan apa-apa. Orang tua saya sangat peka terhadap apa yang diinginkan, diminati, dan diperlukan anak-anaknya. Mereka adalah role model saya dalam mendidik murid-murid saya. Almarhum ayah saya dosen dan guru besar ITB yang sangat dicintai mahasiswa bimbingannya. Sampai sekarang anak didiknya bahkan masih sesekali waktu menjenguk ibu saya. Kakek saya dokter yang juga dosen jurusan kedokteran. Beliau ternyata senang bermain biola. Jadi saya memang datang dari keluarga pendidik. Waktu kecil ayah saya sering memberikan hadiah buku-buku arsitektur, dan saat mengetahui saya senang bermain piano, beliau membelikan saya buku-buku literatur musik, partitur, tape cassette, dan kemudian CD pada saat beliau melakukan perjalanan dinas ke luar negeri, ataupun sebagai hadiah ulang tahun saya. Bagi saya itu semua adalah hal-hal yang sangat berharga. Dan ternyata, biaya kuliah saya ke luar negeri adalah “honor” saya mendesain rumah orangtua saya. Kami dulu tinggal di rumah instansi dosen ITB, dan untuk mempersiapkan masa pensiunnya kelak, ayah mempersiapkan rumah bila kami harus ke luar dari rumah instansi tersebut. Tentu saja saya tidak memikirkan honor sama sekali. Disuruh mendesain rumah saja sudah merupakan kebahagiaan bagi saya. Hobby arsitektur memang mahal ya ternyata…

Apa yang dilakukan Anda lulus dan kembali ke Indonesia?
Sebenarnya saat saya bersekolah di luar, saya, seperti kebanyakan mahasiswa musik di luar negeri inginnya tinggal di luar negeri untuk berkarya, tapi untuk berkarya di sana kita harus punya modal agar dapat menghidupi diri hingga menjadi pemusik yang established. Saya tidak punya uang untuk itu, akhirnya saya memutuskan untuk pulang saja. Salah satu alasan saya untuk pulang adalah karena ingin agar Indonesia lebih dikenal di luar negeri, terutama di bidang musik. Herannya, guru-guru saya pun secara tidak langsung selalu menyarankan saya untuk pulang.

Kok Bisa?
Pernah dalam suatu pesta Natal saya berbincang dengan tamu dan Mr. Schnabel. Tamu tersebut menanyakan kepada saya, “Apa yang akan kamu kerjakan setelah lulus? Apa kamu akan berkarya di sini?” Eh…Mr. Schnabel langsung menyela, “Ooo.. dia harus pulang, karena dia bla bla bla…” Dalam hati saya berkata, “Eh siapa yang mau pulang?” Tapi, ternyata Mr. Schnabel benar. Banyak sekali yang dapat dan harus dikerjakan di Indonesia! Sering kali saat belajar di luar negeri saya bertemu dan berkenalan dengan orang, lalu mereka bertanya, “Ooo.. di Indonesia ada musik klasik? Bagaimana musik di Indonesia?” Tentu saja saya panas dan malu bila ditanyakan hal seperti itu terus menerus. Akhirnya saya berpikir, saya harus pulang, daripada saya di sana ditanya hal seperti itu terus menerus. Saya harus pulang dan bikin sesuatu. Paling tidak cucu, cicit saya tidak merasakan hal seperti itu lagi. Dan sekarang saya merasa senang saya pulang, daripada bila saya tinggal di sana.

Kembali ke Indonesia langsung bikin JCoM?
Oh tidak…Saat kembali ke Indonesia, saya langsung datang ke Sekolah Musik Yayasan Musik Internasional pimpinan Ibu Pudjiwati I.M. Effendi, pianis senior Indonesia lulusan Geneve Conservatoire. Di sana saya aktif berkonser dan juga mengurus konser, dan akhirnya membentuk Masyarakat Musik Kamar Yayasan Musik Internasional atau Chamber Music Society of Yayasan Musik Internasional. Saya juga menjadi tutor Nusantara Chamber Orchestra yang kemudian berubah menjadi Nusantara Symphony Orchestra. Dua tahun kemudian saya menjadi dosen di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, dan mendapat beasiswa dari pemerintah Jerman (DAAD) untuk pelatihan selama 1 semester di Staatliche Hochschule für Musik Freibug. Sepulang dari Jerman saya mengajar di Universitas Pelita Harapan selama 14 tahun, sejak Jurusan Musik didirikan tahun 2000. JCoM sendiri saya bangun tahun 2002 bersama teman-teman pemusik seperti Binu D. Sukaman, Novieta Hardeani Sari, Retno Indhari, Rudy Rd. Alwi, Venusiana Bachtiar, dan Yasmina Zulkarnain. Setelah itu, saya mulai banyak terlibat dalam pembentukan dan pengembangan berbagai orkestra, yaitu National Youth Orchestra Indonesia, Jakarta Conservatory Chamber Orchestra, Jakarta Sinfonietta.

Apa filosofi dan latar belakang saat mendirikan JCoM?
Latar belakangnya sederhana, kami, para pendiri, ingin punya tempat yang nyaman untuk dapat mengajar dan berkarya sesuai dengan kebutuhan pendidikannya dan tidak terganggu oleh keperluan-keperluan lain di luar itu. Filosofinya? Hmmm… Konservatorium Musik Jakarta sama dengan tempat mengkonservasi musik di Jakarta. Bagaimana mengkonservasinya? Dengan mengajarkan dan memperkenalkan kepada generasi muda tentang kegiatan dan proses kreatif “seni” musik, dalam hal ini musik tradisi Barat tentunya, atau musik Klasik. Jadi sejenis pedepokan juga, lebih dari sekedar les privat belaka. Siswa belajar mengkomunikasikan musik seperti layaknya fungsi seninya, lebih dari sekedar memainkan instrumen. Saat JCoM didirikan, belum dirasa kebutuhan akan pendidikan tinggi, namun sekarang standar pendidikan musik di Indonesia makin tinggi, seperti halnya pendidikan lainnya, maka kebutuhan akan pendidikan tinggi sudah semakin mendesak.

Apa kendala yang Anda hadapi saat mendirikan JCoM dan bagaimana Anda mengatasinya?
Kendalanya uang atau biaya tentunya, dari dulu hingga sekarang hehehe… JCoM adalah institusi non-profit pada dasar dan prakteknya. Hal yang bersifat non-profit masih sangat sulit diapresiasi oleh pemerintah. Lembaga non-profit bukan berarti para pekerjanya terdiri atas volunteer. Lembaga non-profit adalah lembaga yang tidak mencari uang untuk keuntungan. Uang yang didapat adalah untuk operasional dan pengembangan saja. Nah kendala ini makin terasa saat kami sudah siap mendirikan perguruan tinggi. Belum ditambah lagi akan problem birokrasi pemerintah dalam mewujudkan ini.

Bagaimana Anda melihat dunia pengajaran musik, khususnya musik klasik di Indonesia, dibanding di luar negeri?
Amat sangat makin baik tentunya, saya dapat melihatnya dari perbandingan 30 tahun lalu saat saya pulang dari Amerika, dan sejak 44 tahun lalu saat saya mulai memainkan repertoar advance. Jadi jangan bilang musik di Indonesia tidak berkembang. Itu omong kosong hehehe…Jika dibandingkan dengan luar negeri. Luar negeri mana nih? Dengan negara-negara ASEAN, kita sebanding. Kalau kita berbicara tentang musik Klasik, musik tradisi Barat, kita tidak hanya berbicara tentang pendidikan dan pelatihan instrumen piano saja, tapi seluruhnya. Bila dilihat secara keseluruhan, negara-negara ASEAN rata-rata sama. Saya berpikir bahwa perkembangan seni dan kebudayaan akan selalu berbanding lurus dengan perkembangan sosioekonomi masyarakat. Tidak sepenuhnya negara berpendapatan besar akan maju pula keseniannya, karena struktur sosial juga sangat berpengaruh terhadap hal ini. Jadi, kita lihat saja tahun 2045. Bila Indonesia berhasil menjadi negara maju, saya rasa permusikan kita juga akan secanggih Korea atau Jepang di tahun itu.

Mengapa Anda punya keyakinan seperti itu?
Saya berani mengatakan ini setelah melihat perkembangan Indonesia dan juga perkembangan musiknya dalam 3 dekade, walaupun secara jujur perlu saya katakan bahwa support pemerintah terhadap musik seni agak berkurang. Dulu ada Art Summit Festival, pekan komponis muda juga gencar. Tapi, dulu memang hampir tidak ada kompetisi piano atau kompetisi instrumen lain yang berskala nasional. Sekarang banyak kompetisi berskala nasional, bahkan internasional sejak 1-2 dekade ini, namun semuanya atas inisiatif swasta, tidak ada dukungan pemerintah sama sekali. Rasanya kita perlu perhatian khusus ke arah pendidikan tinggi musik.

Memangnya kenapa?
Problem utama pendidikan tinggi musik di Indonesia adalah, lebih menekankan kepada kuantitas mahasiswa, daripada kualitasnya. Padahal bidang seni musik, maupun seni panggung lainnya, memerlukan taraf ketrampilan tertentu dalam memulai pendidikan tinggi. Makin baik sebuah perguruan tinggi, tentu sangat ditentukan oleh jenjang, keahlian, dan bakat dari mahasiswa. Sebaik-baiknya fasilitas pendidikan dan dosen, tidak akan pernah menghasilkan lulusan yang berkualitas bila mahasiswa kurang memiliki bakat dan keahlian yang dituntut untuk menerima pendidikan tinggi. Dalam hal ini, kita memang masih kalah dengan Thailand, Singapura, bahkan Vietnam. Tapi, perguruan tinggi swasta memang memerlukan kuantitas mahasiswa baru untuk dapat menjalankan fungsinya, perguruan tinggi negeri juga dituntut kuantitas yang sama agar mendapat tunjangan yang mencukupi dari pemerintah. Dilematis ya? Panjang sih kalau membahas ini… Lain kali deh. Hehehe…

Anda sibuk di dunia pementasan dan pengajaran. Apa yang mendorong Anda?
Pertama, minat saya terhadap musik. Saya pemusik, bukan pianis hehehe… Intinya saya ingin musik klasik di Indonesia lebih maju, agar tidak ada lagi pertanyaan untuk generasi di bawah saya tentang ‘apa ada kegiatan musik Klasik di Indonesia’… Itu menyakitkan dan menyebalkan sih hehehe… Jadi apapun akan saya lakukan untuk kemajuan musik Klasik di Indonesia. Yang kedua, karena saya memang pendidik. Saya memang turunan pendidik, seperti telah saya ceritakan sebelumnya. Salah satu alasan untuk berkarir di musik dulu karena saya melihat potensi untuk menjadi pendidik musik. Tapi sebagaimana halnya pemusik yang lain, saya juga ‘banci tampil’ hahaha… Tapi di situ pointnya. Mengajar ‘seni’ musik bukan hanya mengajar bermain instrumen, tapi juga mengajarkan bagaimana seni itu diwujudkan seperti konser hingga rekaman-rekaman, juga filosofi dan proses kreatif penciptaannya secara menyeluruh.

Sebagai musisi dan pengajar musik, bagaimana Anda membuat diri Anda selalu termotivasi?
Jujur saja saya belum pernah merasa down sebagai pianis, karena begitu banyak yang dapat kita kerjakan sebagai seorang pemusik dan seniman. Seniman kan bukan pengusaha. Tidak ada up and down. Kebutuhan untuk berkreasi sudah seperti makan dan minum. Kebutuhan sehari-hari. Jadi tidak ada masa-masa rugi dan masa-masa untung. Semua dikerjakan seniman demi kebutuhan berkreasi. Contohnya saya saat ini. Teknik pianistik saya sudah berkurang lebih dari 50% dari sejak saya lulus sekolah. Kenapa turun? Karena saya tidak pernah latihan. Kenapa tidak latihan? Karena saya mendedikasikan sebagian besar waktu saya untuk anak-anak didik saya. Dan fenomena ini sudah saya prediksi sejak dua dekade lalu, sejak saya mulai kesulitan untuk berlatih karena mengajar terlalu banyak. Menyesal? Rasanya tidak, karena sebegitu besar pekerjaan yang harus saya kerjakan untuk perkembangan musik di Indonesia. So challenging hehehe…

Apa filosofi Anda sebagai musisi dan pengajar musik?
Musik harus kita komunikasikan kepada masyarakat, untuk mengangkat derajat mereka menjadi manusia yang lebih baik, yang lebih peka terhadap sesamanya, dan juga lebih menyadari anugerah semesta

Apa saran dan harapan Anda untuk anak-anak muda kita yang saat ini sedang belajar dan berkarier di musik?
Sederhana. Jangan pernah merasa down bila harus pulang ke tanah air. Lebih banyak sumbangan kepada masyarakat yang dapat diberikan di sini. Lebih rewarding pekerjaan kita. Bila memang ingin berkarir di luar juga tidak apa-apa. Yang penting jangan biarkan masyarakat internasional berpikir bahwa musik klasik adalah sesuatu yang langka di Indonesia. Imbalan pekerjaan seorang seniman musik tidak akan pernah cukup dengan uang saja. Justru respon masyarakat akan hasil kerja kita, merupakan imbalan utama yang kita butuhkan, dan tidak dapat dihilangkan dengan imbalan uang belaka.

Sebagai pianis, guru piano, juga konduktor, apa pendapat Anda tentang Steinway Piano?
Top of the top! Jujur saja, perkembangan teknologi dan informasi yang makin maju, sensitivitas mekanik, kualitas dan proyeksi suara, kontras dinamika, serta kemungkinan pembedaan warna suara di berbagai merek piano, semakin baik dan semakin nyaman untuk dimainkan. Tapi apakah acuan mereka? Tetap Steinway & Sons! (*)

Article Bottom Ad