NADYA JANITRA

801

Article Top Ad

JADILAH MUSISI YANG MANDIRI

Lahir dari keluarga guru piano, bagi Nadya Janitra tak terlalu sulit untuk belajar piano. Namun selalu ada saat-saat dimana belajar musik begitu berat dan menjenuhkan. Hanya mereka yang memiliki passion tinggi dalam musiklah yang berhasil melewatinya. Berikut bincang singkat dengan Nadya Janitra, guru piano muda jebolan Royal Conservatory, Den Haag, Belanda.

Sejak kapan Anda terhubung dengan musik?
Saya lahir di Jakarta tahun 1987. Sejak kecil saya sudah terhubung dengan musik. Pertama kali dikenalkan kepada musik oleh ibu saya sendiri, Ibu Susiana Adhitjan, pada usia 4 tahun. Lalu pada usia 5 tahun diterima di Sekolah Musik YPM dibawah bimbingan Ibu Linny Sugianto. Saya lulus Persiapan Konservatorium 3 dan mendapat penghargaan YPM Artist Award 2004. Setelah menyelesaikan program Pendidikan Keguruan 4 dibawah bimbingan Ibu Aisha Ariadna Pletscher tahun 2005, saya mengajar di YPM selama 2 tahun. Pada 2007 saya diterima di Royal Conservatory, Den Haag, Belanda, meraih gelar Bachelor of Music tahun 2011 dan Master of Music tahun 2013. Jadi dari keluarga saya, sebenarnya sih saya sudah generasi ketiga. Oma saya guru piano dan juga main piano. Mama saya juga guru dan pemain piano. Dan sekarang saya meneruskan jejak oma dan mama saya. Jadi saya memang lahir dari keluarga pemusik, dan sejak kecil saya tidak asing dengan piano

Article Inline Ad

Bagaimana perjalanan musik Anda?
Lancar-lancar saja sih. Selain belajar piano, saya juga belajar sebagai musisi pengiring dengan Hans Eijsackers dan Han-Louis Meijer. Membentuk Fauré Trio, duo dan chamber music, bergabung dengan Ensemble Royaal yang dipimpin konduktor Lucas Vis dan Jurjen Hempel. Saya juga menggelar konser solo di Kedutaan Besar Belanda, Erasmus Huis, ikut Summer Course di Paris dan Toledo, Spanyol dalam International Piano Festival. Aktif mengikuti masterclass maupun workshop di antaranya oleh Prof. Reynaldo Reyes, Janusz Olejniczak, Adela Martin, Akiko Ebi, Ramzi Yassa, Solomon Mikowsky, Kwang-Wu Kim, David Kuijken, Rian de Waal, Naum Grubert, Paul Badura-Skoda, Rudolf Jansen, Wolfgang Bruner, dan Malcolm Bilson. Saya telah menggelar konser solo di Indonesia misalnya “Dari Kita untuk Kita” di SMYPM Bintaro 2009, “Resital Piano Tunggal Nadya Janitra” di Goethe Haus 2010, “Konser Piano Tunggal” di Auditorium ISI, Yogyakarta 2010, “East Meets West” di Erasmus Huis, Jakarta 2011, “Pertemuan Musik Surabaya” di Melodia Music Hall, Surabaya 2011, “Dari Klasik sampai Indonesia Mutakhir” di Tembi Rumah Budaya, Jogjakarta 2011, “Resital Piano Tunggal” di Sumatra Conservatory, Medan 2014, “Sunday Afternoon Recital” di Amabile Music School, Bali 2014, dan “Rhapsodies of December” di Hotel Horison, Makassar 2014. Selain itu saya juga menggelar konser di Belanda, antara lain di Boskantkerk 2009, Centrale Bibliotheek 2010 dan Triumfatorkerk 2009&2010 di Den Haag, terpilih sebagai pianis dalam Saxophone Concert Tour 2010, yang merupakan rangkaian konser pada beberapa kota di Belanda seperti di Leiden yang bertempat di BplusC (Bibliotheek Plus Centrum), di kota Lisse, dan juga gedung kesenian terbesar di Den Haag, Dr. Anton Phillipszaal. Tahun 2011, saya dipercaya sebagai salah satu pianis dalam Lisztomania yang merupakan kerjasama dengan Codarts (Rotterdam Conservatory) untuk menyuguhkan karya-karya piano oleh Franz Liszt yang dibuatkan koreografi tari ballet oleh Jan Linkens di Lucent Danstheather yang merupakan gedung pementasan tari balet ternama di Den Haag, dan diundang untuk bermain di Macau Cultural Centre bersama Hugo Loi (Saxophonist), dan Resital Piano Solo di Macau Piano Association 2014, dan tampil di konser “Across Generations”2015, dan sebagai pianis bersama Twilite Orchestra dengan konduktor, Addie M.S. Saya juga memberikan Masterclass piano, seperti di Yogjakarta 2010 & 2011, Medan 2014, Bali2013 & 2014, Jakarta 2014, Makassar 2014, dan Macau 2014 dan menjadi juri di berbagai kompetisi nasional.

Saat ini apa saja kegiatan Anda?
Sekarang saya mengelola EMC, yaitu European Music Curriculum, dimana saya membimbing secara akademis 8 cabang sekolah musik yang berada di bawah naungan EMC yang ada di Jabodetabek. Saya juga aktif dalam mengajar dan memberikan pengarahan kepada guru-guru piano yang bernaung di bawah EMC untuk memiliki idealism, kualitas, dan semangat yang sama lewat pendidikan musik klasik untuk mengembangkan generasi muda di Indonesia.

Bagaimana Anda melihat pendidikan musik di Indonesia dengan luar negeri?
Dari sisi edukasi, anak-anak Indonesia tidak kalah dengan anak- anak luar negeri. Banyak yang memiliki bakat istimewa. Yang membedakan barangkali soal budaya. Jujur saja bahwa orang kita belum sepenuhnya bisa disiplin dan sering memberi toleransi bagi sebuah pelanggaran sehingga tidak memberi efek jera. Sementara di luar negeri, soal disiplin ini menjadi tolok ukur bagi integritas seseorang. Misalnya, kita datang terlambat saat les maupun reherseal. Di kita masih bisa ditoleransi dengan alasan macetlah, lupalah, dan lain-lain. Di luar negeri tidak bisa seperti itu. Terlambat ya terlambat, dan ada konsekuensinya. Juga dalam hal komunikasi. Orang kita mungkin karena begitu santun, seringkali bicaranya malah tidak to the point. Berbeda dengan orang Barat. Mereka bicaranya langsung ke esensinya. Nggak bertele-tele. Kalau dia lihat main kita gak bagus, atau lagu kita nggak enak mereka bisa lansung bilang mainmu jelek. Kalau di kita kan pakai basa basi hahaha…Jadi ini lebih ke soal budaya. Awalnya kita kaget juga sih. Tapi lama- lama oke sih, itu bagus juga dan bisa kita serap untuk menjadi tradisi dalam belajar dan mengajar musik klasik di Indonesia, khususnya dalam masalah disiplin

Bagaimana dalam hal permainan musiknya?
Sebenarnya tidak ada bedanya. Saat ini bahkan banyak pianis hebat di musik klasik justru berasal dari negara-negara yang secara budaya, mereka tidak punya tradisi musik klasik, misalnya Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Artinya, musik itu memang universal. Benar bahwa budaya memang salah satu faktor. Tetapi bakat, disiplin, kerja keras dan kesungguhan dalam belajar juga berperan penting. Karena musik klasik itu budaya Barat, kita sebagai orang Timur memang perlu beradaptasi, untuk menyerap dan mempelajarinya, tetapi tidak berarti kemudian kita tidak bisa menguasainya. Orang- orang Barat justru menilai kita sebagai orang Timur, lebih berbakat dan musikal

Pernahkah Anda mengalami saat-saat berat dalam mempelajari musik?
Saya bersyukur karena sejak kecil sudah tidak asing dengan musik, boleh dibilang saya tidak sulit mempelajari musik. Tapi jika ada saat-saat berat dalam mempelajari musik, saya bilang iya. Khususnya saat mengambil S2. Kebetulan guru S2 saya juga guru S1 saya. Waktu di S1 semua diajarkan, sampai satuan terkecil. Begitu S2 dia punya program agar murid- muridnya jadi orang yang mandiri. Dia tidak mau muridnya seperti anak monyet yang tidak mau lepas kemanapun induknya pergi. Dia tidak mau muridnya bingung mau ngapain setelah lulus. Programnya, dia tidak pernah memberi tahu solusi. Jadi dia hanya datang, dengarkan saya main, lalu bilang belum bagus, dan silakan pulang ke rumah cari solusinya. Gitu terus sampai tahun kedua. Rasanya seperti wow…kenapa ini ya? Enaknya ini diapain…Tapi tetap tidak ada solusinya, sampai disaat genting barulah guru sya turun tangan. Tapi tetap saja saya dipaksa untuk mencari solusi sendiri. Belakangan saya tahu bahwa memang harus seperti itulah untuk seseorang bisa menjadi mandiri. Jadi untuk bisa menjadi musisi yang mandiri itu berat banget. Ada satu titik dimana saya merasa ini bener nggak sih sekolah piano hahaha….rasanya berat sekali, nggak dikasih solusi.

Apa yang dirasakan Anda setelah ditempa dengan berat itu?
Pada akhirnya saya menyadari memang begitulah proses seseorang untuk menjadi mandiri. Dan saya merasa dengan cara seperti itu saya menjadi tidak kesulitan memainkan lagu apa saja, bahkan lagu yang atonal secara nada ataupun experimental secara bentuk pun, saya mengerti bagaimana menginterpretasikannya

Anda dikenal memiliki banyak murid. Menurut Anda apakah itu sebuah kesuksesan?
Saya rasa bukan soal kuantitasnya. Jumlah tidak serta merta menunjukkan sebuah keberhasilan. Saya merasa sukses jika saya bisa menginspirasi orang lain. Sering saya diminta bantuan untuk memoles atau audisi anak-anak yang akan kuliah di luar negeri, dan saya merasa Tuhan menempatkan saya disitu, untuk membantu orang lain. Saya merasa sukses jika diri saya berguna buat orang lain, sekalipun dia nantinya tidak menjadi musisi, tapi saya merasa berhasil kalau murid tersebut bisa menjadikan musik sebagai sahabatnya. Saat mereka jenuh dengan kehidupanya, saat mereka galau dengan pekerjaanya, mereka bisa datang ke piano, latihan, dan merasa refresh, recharge, dan mereka mencintai musik, saya kira itu lebih bermakna dari sekedar semua yang diukur dengan uang

Bagaimana Anda memandang materi dari persepsi Anda dalam hal ini
Uang memang dibutuhkan untuk hidup. Semua orang memerlukannya. Itu pasti. Dari dulu saya tidak pernah mengajar untuk mencari uang, karena bukan itu tujuan saya. Saya sudah tertarik di bidang education, dan mengajar adalah passion saya dari dulu. Jadi bukan soal materinya. Kalau ada murid saya yang talented tapi secara ekonomi kurang, saya beri dia beasiswa. Atau kapan hari ada siswa saya yang papanya meninggal karena Covid, padahal dia minat sekali belajar piano tapi terancam tidak bisa meneruskan, oke saya beri dia beasiswa. Yang penting dia tidak meninggalkan pianonya. Apa yang saya lakukan ini lebih karena panggilan jiwa. Saya merasa ada kepuasan saat bisa membantu orang

Anda lebih suka sebagai pianis atau guru piano?
Dulu waktu saya kecil, belajar piano cuma ngikutin mama saja. Seiring berjalannya waktu, mulai muncul ketertarikan dan keseriusan, tapi belum berpikir untuk memilih jadi pianis atau guru piano. Saya mengalir begitu saja. Yang jelas saya senang ketika perform, tapi saya juga menemukan kepuasan saat berbagi pengetahuan dan menyentuh banyak orang dengan ilmu yang saya miliki. Mungkin karena saya generasi ketiga dari keluarga saya, ada bakat juga untuk mengajar. Tapi saya rasa pemain yang baik belum tentu bisa mengajar dengan baik, karena mengajar itu juga butuh talent dan panggilan, juga karena it is not for everyone

Apa yang Anda bisa katakan kepada anak- anak muda yang saat ini sedang belajar musik?
Yang pertama, musik itu harus dekat dengan hati. Cintailah dengan hati. Jangan mudah nyerah karena belajar musik itu seperti perjalanan tanpa akhir. Yang kedua, harus tahu kapan berkata cukup karena musik itu batasnya langit. Dan di atas langit masih ada langit lagi. Kadang kita merasa sudah baik, ternyata ada yang lebih baik. Kadang kita merasa sudah sempurna, eh masih ada saja yang dikritik. Jadi kita harus tahu kapan kita berkata cukup, sebab lalu tidak kita bakal stress dan merasa tidak berbakat. Padahal masalahnya adalah bahwa musik itu batasnya sangat tinggi. Jadi lakukan semuanya dengan suka cita, dengan sungguh-sungguh. Jangan sia-siakan kesempatan besar dalam belajar musik

Sebagai pianis dan pengajar piano, bagaimana pandangan Anda terhadap piano Steinway?
Kebetulan Steinway adalah piano favorit saya hahaha….Selama di luar negeri saya selalu menggunakan piano Steinway. Satu hal yang saya sukai dari Steinway adalah kemampuannya dalam menghasilkan warna suara yang sesuai dengan yang diinginkan pianis. Warna suaranya sangat kaya dan mudah untuk mendapatkannya. Main dengan suara keras di piano, tidak sesulit untuk bermain lembut. Piano Steinway mempermudah menunjukkan berbagai layer dalam permainan lembut. Dia bisa menyediakan suara lembut itu bermacam- macam warnanya. Jadi, enak dimainkan. Ibarat mobil, gasnya enak. Dibawa ngebut enak, jalan pelan pun enak. (*)

Article Bottom Ad