Pengaruh Karakter Guru dan Pengajaran Musik

205

Article Top Ad

MANUSIA itu unik, kata Thomas Aquinas, lima abad yang lalu. Filosof besar itu memandang manusia sebagai”entitas yang tidak bisa disamakan dengan apapun”, bahkan dengan sesama manusia itu sendiri. Setiap manusia adalah dirinya sendiri.

Dari sekian banyak tanda-tanda bahwa manusia itu unik, adalah karakter atau wataknya. Tidak ada manusia yang punya karakter sama. Dan itulah yang membedakan antara satu manusia dengan manusia lain-nya. Seberapa jauh karakter berperan penting dalam keberhasilan seseorang? Bagaimana pengaruh karakter seorang guru dalam pengajaran musik?

Banyak yang mengira masalah karakter tidak selalu berhubungan dengan keberhasilan seseorang dalam kehidupannya, sampai kemudian penelitian psikologi dekade ’90 an membuat sebuah kesimpulan penting bahwa “separo dari keberhasilan seseorang bersumber dari karakternya”. Inilah yang kemudian memunculkan terminology “kecerdasan emosi” yang ternyata memberi pengaruh luar biasa bagi keberhasilan seseorang, disamping “kecerdasan intelejensia”.

Article Inline Ad

“Kecerdasan emosi”, kata psikolog Dianne Muller, bersumber dari karakter seseorang. Bentuk-bentuk emosi, kata dia, menggambarkan bagaimana perasaan seseorang, dan ketika hal itu terungkap melalui tindakan, maka sebagian yang berperaan dalam hal itu adalah karakter.

“Kita bisa memahami mengapa ada seseorang yang begitu temperamental, tetapi di sisi lain ada yang begitu tenang. Kecerdasan emosi lebih pada kecerdasan untuk mengendalikan emosi-emosi negatif dan destruktif yang bersumber dari karakter seseorang,” kata Dianne.

Nancy L. Ostromencki, pedagog terkenal dari Amerika dalam sebuah seminar di hadapan guru-guru musik di California memaparkan bahwa keberhasilan seorang guru dalam mengajar, sesungguhnya terletak pada karakternya. “Inilah mengapa saya berani mengatakan bahwa, mengajar itu mudah, tetapi untuk bisa menjadi pengajar itu bukan persoalan gampang. Bedakan antara jadi pengajar “mengajar” dan pengajar”, katanya.

Menurut dia, mengajar adalah sebuah tindakan “transfer pengetahuan atau keterampilan”. Siapapun bisa. Tetapi agar transfer pengetahuan dan keterampilan itu bisa sesuai sasaran, efektif, dan efisien, maka dibutuhkan pengetahuan tersendiri. “Dan itu itu, sekali lagi, karakter seseorang memegang peranan sangat penting,” kata Nancy.

Pada kenyataanya, lanjut Nancy, mengajarkan musik (lebih-lebih kepada anak-anak usia dini), lebih merupakan kombinasi antara karakter guru dan pengetahuan guru. “Siapapun tahu bahwa dalam sebuah proses belajar mengajar, sangat dibutuhkan terciptanya suasana belajar yang positif. Seorang guru tidak boleh mengabaikan masalah-masalah kecil yang muncul di dalam kelas agar proses belajar mengajar dapat terus berlangsung. Contoh kecil adalah, mengabaikan atau tidak mempedulikan muridnya ketika mereka tidak mengerjakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya,” kata Nancy.

Karakter seorang guru, akan terlihat pada bagaimana dia menghadapi persoalan kemudian langkah-langkah apa dia melakukan. “Seorang guru yang memiliki standard belajar mengajar yang tinggi, dapat menemukan dan menentukan letak permasalahan yang dihadapi siswa-siswanya dengan jelas, dan tahu apa yang harus dilakukan. Kegagalan seorang siswa dalam belajar dapat dicari jalan keluarnya dengan berusaha menemukan dan memahami dimana letak kesalahannya serta mengarahkannya. Semuanya itu sangat membutuhkan kejelian dan kepekaan,” kata Nancy.

Seorang siswa pada umumnya memiliki harapan besar terhadap guru-gurunya. Mereka tidak mungkin menentang atau mempertanyakan prilaku guru yang tidak dapat diterimanyanya dengan menghubung-hubungkannya dengan kehidupannya lain di dalam maupun di luar kelas.

Namun demikian, kata Nancy, pada kenyataannya tak jarang guru memperlihatkan tindakan atau perilaku yang kurang professional di hadapan siswanya, yang kadang-kadang menjadi kontraproduktif, baik terhadap siswa maupun dirinya.

Ada dua penyebab utama mengapa seorang guru melakukan hal yang tidak sepantasnya.
Pertama, hal itu muncul karena ketidakmampuan guru melihat cara pandang yang tepat terhadap siswanya. Kagagalan ini membuat guru menjadi sangat frustasi. Memang ini tidak secara langsung membuat guru berubah secara serta merta, tetapi bisa muncul berupa pernyataan-pernyataan yang tidak simpatik.

Perlakuan ini tidak hanya membuat siswa menjadi lebih baik, tetapi justru sebaliknya. Akibatnya, lingkaran sebab akibat ini menjadi tidak berujung dan berputar terus, tanpa berhasil menemukan jalan keluarnya. Bila persoalan ini berlangsung cukup lama dan dibiarkan berlarut-larut, akan sangat berbahaya karena dapat melupuhkan empati, kepekaan seorang siswa.

Akhirnya muncul sikap tidak peduli dari siswa, yang tidak menganggap lagi keberadaan guru beserta nasehat dan perintahnya. Sehingga apapun yang ingin disampaikan guru tidak akan berhasil. “Cara terbaik mengatasinya adalah mencari alternative cara berkomunikasi yang lain,” kata Nancy.

Penyebab kedua adalah adanya sikap tidak menghargai dari siswa dikarenakan cara mengajar sang guru. Sikap siswa-siswa ini sering tidak disadari apa penyebabnya. Ketika menghadapi respon anak didiknya seperti ini, guru cenderung mencari-cari dimana letak kesalahan siswa, bukan mengintropeksi dirinya sendiri. Mengapa? Ini karena, guru selalu merasa tidak mungkin ia berada pihak yang salah, karena ia sudah berusaha mengerjakan yang terbaik bagi siswanya.

Tetapi benarkah apa yang terbaik menurut guru juga yang terbaik menurut siswanya? “Belum tentu, karena guru dan siswa memiliki sudut pandang berbeda. Sehingga bisa jadi strategi pengajaran yang dianggap tepat menurut guru ternyata tidak mengena dan justru menimbulkan akibat yang sebaliknya. Celakanya, hal ini biasanya tidak disadari oleh sang guru,” kata Nancy.

Tidak Memanipulasi
Menurut Nancy, pengajaran yang baik adalah yang tidak memanipulasi. Manipulasi disini maksudnya adalah tindakan penyelewengan yang mengelabuhi siswa agar mengerjakan sesuatu. Pengajaran yang baik adalah membantu memberikan kesempatan pada anak didik agar mereka mendapat kebebasan berbuat sesuatu menurut kemampuan dan kreativitasnya. Merangsang sensitivitas dan mendorong spontanitasanak didik lebih baik daripada mencoba mengontrol atau memanipulasi semua gagasan mereka.

“Jangan pernah membicarakan teman-temannya dengan cara yang negatif. Ini adalah salah satu perilaku yang harus dihindari. Jika seorang pengajar memiliki kebiasaan membicarakan keburukan atau permasalahan bekas anak didiknya pada siswanya yang lain, meski dengan tujuan positif untuk memperbaiki, mendorong semangat, atau menyembuhkan, bukan tidak mungkin hal itu akan berakibat sebaliknya.

Yaitu, hilangnya kepercayaan siswa terhadap guru. Anak-anak yang dalam posisi tidak mempunyai pilihan justru akan berpikir ‘Jika ia bisa menceriterakan kejelekan si A seperti itu, saya tidak akan terkejut bila suatu saat giliran kekurangan saya yang akan dibeberkan pada yang sebaiknya dibuang lainnya ketika saya tidak belajar dengannya lagi’. Karakter seperti ini kata Nancy, sebaiknya dibuang. Jangan menyinggung atau mengomentari ketidakikutsertaan seorang siswa dalam acara sekolah pada saat jam mengajar berlangsung di kelas. Kesempatan seperti ini biasanya digunakan guru untuk mengungkapkan hal-hal negatif seorang anak tanpa memberikan peluang menjelaskan pertanggungjawabannya.

Karakter lain yang harus dihindari, menurut Nancy, adalah kecenderungan memberikan kritik secara terbuka terhadap penampilan seorang siswa. Bila seorang guru terbiasa menggunakan pola ini dalam memberikan komentar pada anak-anak didiknya, maka akan berimplikasi pada kesimpulan bahwa tidak ada seorang pun di antara mereka yang cukup baik baik kemampuannya.

Bila kesan seperti itu muncul dalam diri siswa, sangat berbahaya. Mengapa? Karena mereka tidak akan menjadi dirinya sendiri. Bagaimanapun bentuk penampilan permainan teman-temannya selalu dinilai memiliki kekurangan. Akibatnya muncul kecenderungan dalam diri siswa untuk berusaha bagaimana cara bermain sesuai dengan apa yang diinginkan oleh sang guru, dengan mencontoh sang guru agar ia dapat menyenangkannya dan dinilai sempurna. “Ini adalah salah satu strategi yang merusak karena menimbulkan kegelisahan yang tidak tampak dalam diri siswa tentang bagaimana seharusnya menampilkan permainannya,” kata Nancy.

Sebagai contoh, bila seorang musisi selalu mendengarkan berbagai komentar atas permainannya sebagai suatu celaan atau kritik atas penampilannya, maka secara psikologis ia akan terbebani dan tidak memiliki ruang gerak untuk mengekspresikan dirinya sendiri. Tetapi apabila ia menanggapinya sebagai bentuk perhatian daripada penggemarnya, hal itu tidak akan terbentuk menjadi kegelisahan di dalam dirinya. Lebih-lebih bila musisi tersebut memiliki psikologis yang mapan.

Namun jika seorang guru tetap bersikeras membiarkan proses pengajaran akan terus berlanjut seperti biasanya, pada akhirnya akan tiba waktunya juga seseorang siswa lambat laun akan meninggalkan Anda. Tetapi apabila guru mau mengakui kealpaannya ini dengan lapang dada dan berbesar hati, maka langkah ini akan dapat menjembatani kepentingan pengajaran melalui caranya mengajar yang kondusif.

“Bagaimanapun juga peluang seorang guru untuk menerapkan strategi pengajaran yang luar biasa akan senantiasa dipengaruhi oleh motivasi mereka untuk selalu berbuat yang terbaik bagi murid-muridnya. Oleh karena itu diperlukan karakter-karekter positif agar bisa meraih sasaran dari setiap pengajaran,” kata Nancy.

Mengajar musik memerlukan kestabilan emosi yang terus menerus. “Dan yang yang penting adalah kecintaan terhadap profesi dalam rentang waktu yang sangat panjang. Ini merupakan sesuatu yang berat karena pada dasarnya manusia adalah sosok yang dinamis,dan sangat mungkin untuk tidak bisa ditebak,” kata Nancy.

Meskipun ada sementara anggapan karakter seseorang tidak bisa diubah, Nancy optimis, segala sesuatu yang menuju ke kebaikan, tidak akan bisa dibatasi oleh apapun, bahkan jika seseorang tidak menyukai kebaikan sekalipun. “Karena saya pikir, tidak ada satu manusiapun yang tidak menginginkan kebaikan,” katanya. (dini)

Article Bottom Ad