UJI

21

Article Top Ad

DALAM pembelajaran musik, belum tentu berupa pendidikan ya, karena bisa saja pengajarnya sama sekali tidak paham akan psikologi pendidikan, dikenal adanya evaluasi.
Evaluasi pembelajaran musik ini status dan tarafnya berbeda dengan evaluasi sekolah umum. Dalam pembelajaran, atau ya sudahlah, pengajaran musik, evaluasi, terutama di kursusan musik dan/atau sekolah musik, sifatnya lebih kepada Progress Report. Dan Progress Report ini lebih kepada pertanggung jawaban terhadap parents yang dalam hiruk pikuk ini adalah bos. Yang membayar biaya pembelajaran musik.

Jadi, karena bos keluar duit dia harus dapat “laporan” dong, tentang progress atau kemajuan anaknya. Dalam Androgogi, atau terhadap Adult Learner, siswa dewasa, juga perlu ada laporan semacam itu. Karena bisa saja si suami atau si koko, si sugar daddy yang keluar duit.

Ada beberapa jenis Progress Report yang dilakukan kursusan dan/atau “sekolah” musik di Indonesia. Kata sekolah diberi tanda kutip karena sekarang teramat banyak sekolah yang tidak punya kurikulum. Tidak paham beda kurikulum dan silabus itu apa. Hanya contek sana sini ambil mentah-mentah dari pihak lain.

Article Inline Ad

Tapi ya sudahlah. Bentuk Progress Report yang paling sederhana adalah berupa laporan tertulis bagi parents. Persis seperti buku Rapor sekolah umum. Anaknya selama sekian waktu sudah bisa ini itu. Kekurangannya ini itu. Harapan ke depannya begini begitu. Kemudian ada lagi Konser. Baik Studio Konser yang biasanya si siswa main dengan jadwal yang tidak jelas, dihadapan staf Tata Usaha Sekolah, pakai celana pendek, kaos renang juga nggak apa-apa. Nah, parents-nya akan melihat, bahwa ini lho anak loe ini bisanya begini doang.

Bentuk lain adalah Public Concert. Untuk yang ini si siswa dipersiapkan. Ya, dengan persiapan sebisanya oleh pengajarnya. Acara seperti ini sifatnya agak beresiko bagi penyelenggara, dalam hal ini si owner kursusan dan/atau sekolah musik. Kenapa? Ya karena sifatnya publik. Banyak “orang luar” yang nonton.

Kalau para siswanya mainnya kurang bagus, maka sudah dipastikan citra kursusan dan/atau sekolahnya akan terkesan buruk. Untuk mensiasati ketidak mampuan para siswa, biasanya para guru “dipaksa” unjuk kelebihan. Ikut pentas. Ikut main. Supaya khalayak atau publik yang hadir merasa mendapat tontonan yang punya mutu. Dan lupa bahwa sebelum para guru tampil, ada penampilan para siswa yang tampil seadanya karena pengajarnya tak punya kemampuan mempersiapkan siswa untuk acara publik semacam itu.

Ada lagi bentuk pertanggungjawaban yaitu ikut kompetisi. Para parents sekarang rupanya senang dan gembira jika anak main musik dianggap seperti pacuan kuda. Dianggap seperti balapan anjing atau Greyhound. Dan malahan banyak diantara para parents yang menganggap bahwa kompetisi adalah ajang untuk memacu anaknya biar merasa terpukul dan tercambuk melihat anak anak lain yang seusianya bisa jadi juara.

Selain kompetisi, ada lagi bentuk pertanggungjawaban yakni ujian sertifikasi internasional. Nggak usah pusing. Ini tuh anaknya, dan bisa juga om dan tante serta oma opa yang les musik diikutsertakan dalam ujian Internasional. Seperti ABRSM. RSL AWARD atau Rockshool atau ya apapun deh.

Baik Progress Report berupa kertas, Studio Concert, Public Concert, Kompetisi, Sertifikasi Internasional, itu semua adalah sebuah mata rantai uji siswa. Siapapun dia. Uji ya. Belum tentu uji-an lho. Beda. Bicara tentang sertifikasi Internasional ada banyak orang tua yang tidak mau anaknya diikutkan dalam Sertifikasi International.

Alasannya, sungguh membagongkan dan bikin tekanan darah jadi naik tinggi nyaris Stroke. Gak usah ikut gitu-gituan miss. Untuk apa. Tuh banyak Gitaris dan Pianis gak pernah ditanya punya ijazah apa kan misss… Lagian anak saya tuh belajar piano, belajar ghitar kan untuk fun fun saja….buat apa ada ijazah begitu. Terus nih ya miss, belum tentu sekolahnya ngerti ini ijazah gunanya dan bagusnya dimana. Lebih bagus kalo dia masuk majalah Staccato miss. Satu sekolahan senang pada bangga.

Sebetulnya begini. Memang betul, banyak Gitaris dan Pianis gak pernah ditanya ijazah musiknya apa yang penting bisa main apa. Dan kalaupun ditanya, tinggal tunjukin kanal YouTube sebagai portofolionya. Keadaan seperti itu adalah dulu. Sebelum 2010.
Sekarang, jangankan orang main musik, Cleaning Service Rumah Sakit pun harus punyaijasah sertifikasi kompetensinya. Dan jika Anda ke Inggris, yang sekarang sedang resesi seperti Jepang, Anda akan kaget bahwa tukang gulung kabel Sound System saja harus punya ijazah sertifikasi kompetensi. Kenapa Kompetensi? Agar ia secara formal memang kompeten dalam pekerjaannya.

Dokter pun sekarang pakai sertifikasi. Lawyer juga. Akuntan juga. Itulah kenapa di Indonesia diadakan Lembaga Sertifikasi Profesi Musik Indonesia. Badan resmi yang saat tulisan ini dibuat, masih berada dalam Departemennya Pak Sandiaga Uno.

Kemudian, perkara bahwa les musik hanya sebagai fun saja, ya gini lah. Misal nih. Anda punya hobi repair motor. Anda gak buka bengkel lho. Cuma hobi. Trus suatu saat anda iseng ikut sertifikasi mekanik dan Anda lulus. Bukankah itu satu nilai tambah dalam hidup Anda? You have an formal Enrichment.

Begitupun jika Anda hobi main catur. Hobi doang nih. Gak mimpi jadi Grand Master. Kemudian iseng Anda ikut sertifikasi pelatih catur dan Anda lulus. Bukankah itu satu Personal Heritage yang dapat membuat bangga dan menginspirasi anak cucu Anda?

Mata Uji
Sertifikasi Internasional untuk musik adalah sebuah mata uji. Orang, termasuk para pemilik kursusan dan/atau sekolah musik, masih banyak yang keliru. Para guru musik pun banyak yang keliru.

Mereka menganggap bahwa Ujian Sertifikasi Internasional ini sama seperti ujian naik kelas di sekolah umum atau lulus jenjang seperti di Universitas. Di depan saya tulis, bahwa Sertifikasi Internasional dalam bidang musik adalah mata rantai uji. Bukan ujian seperti sekolah atau perguruan tinggi. Istilahnya memang Grade Examination. ABRSM, RSL AWARD,TRINITY, atau yang lainnya, menyebutnya begitu. Namun, dalam esensinya, meski istilahnya Examination, sertifikasi internasional dalam musik adalah sebuah proses asesmen. Dan ini tercantum dengan terang benderang dalam website resmi mereka. Silahkan anda Googling.

Apa itu asesmen? Asesmen adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengetahui kebutuhan belajar, perkembangan, dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Jadi asesmen bukan ujian. Melainkan proses pengumpulan data seseorang untuk kemudian data yang dia mampu berdasarkan “kriteria kompetensi”, diputuskan apakah dia sudah kompeten aau belum. Nah, yang melaksanakan Proses Asesmen itu disebut Asesor.

Memang dalam Badan Sertifikasi Internasional seperti ABRSM, RSL AWARD /ROCKSCHOOL, dan TRINITY misalnya, disebut sebagai Examiner. Kalau di Indonesiakan artinya adalah Penguji. Namun fungsinya adalah fungsi asesor. Dan itu dinyatakan secara tertulis terang benderang dalam website remi mereka. Si Asesor yang disebut Examiner ini “bukan seperti guru yang menilai atau dosen yang menjadi penentu” masa depan peserta. Examiner malahan “orang yang berada di pihak peserta”. Ia adalah orang yang menjalankan proses asesmen. Bukan hakim neraka yang menentukan nasib kelulusan seseorang. Lalu siapa yang menentukan? Kriteria dan parameter dari lembaga sertifikasinya!

Oleh sebab itu agak aneh sebetulnya jika kemudian peserta mengambil sikap negatif terhadap para examiner. Banyak yang ketakutan. Nervous. Bahkan menjadi salah memainkan materi ujian. Hanya gara gara si examiner itu adalah western peiple alias bule. Apalagi kalo si examiner itu tinggi besar, brewokan, dengan mata biru yang menatap tajam.

Dalam ujian Online atau Video Exam juga problemnya nyaris sama saja. Peserta menjadi ketakutan meskipun ujiannya dilakukan dengan rekaman tanpa kehadiran si examiner. Seolah-olah bahwa ini rekaman akan dinilai komite hakim yang menentukan hidup dan matinya mereka.

Jadi, sebetulnya, ada baiknya jika para guru musik memberi pengertian pada siswanya, dan orang tuanya bahwa: memang ada examiner tapi dia itu fungsinya sebagai asesor dan bukan penilai seperti ujian sarjana. Selain itu, sekali lagi perlu ditekankan oleh si guru musik kepada para siswa dan orang tuanya, bahwa hakekatnya Grade Examination itu adalah sebuah Asesmen. Yakni pengumpulan data, dalam hal ini kemampuan bermain dan hal teknis dari si peserta, berdasarkan kriteria dan parameter tertentu. Itu saja. Sederhana. Tak perlu phobia gemetaran.

Hal lain yang jelas jelas mengukuhkan keterangan bahwa Grade Examination itu berbeda dengan ujian sekolah dan/atau ujian Sarjana adalah adanya Appealing atau sistem banding. Keterangannya begini. Dalam ujian sekolah, tak dikenal sistem banding. Jika misal ada guru mata pelajaran yang salah memberi nilai, orang tua murid hanya dapat melakukan protes, yakni dengan cara bertanya, menghardik dan membawa bukti kepada guru yang bersangkutan.

Namun protes itu di luar sistem. Sekolah manapun di dunia ini tidak pernah memfasilitasi protes nilai. Begitupun dengan Universitas. Tidak pernah ada Universitas yang memfasilitasi sarana dan prasarana untuk mahasiswanya melakukan protes apabila terjadi kesalahan penilaian.

Berbeda dengan ujian musik internasional. Bentuknya Asesmen. Jadi ada proses banding, atau Appealing. Seperti proses banding pada pengadilan. Semua Lembaga Sertifikasi Musik Internasional memiliki fasilitas banding. Hanya saja, maaf, Country Representative atau perwakilannya di Indonesia sering tidak mempublikasikan karena secara administratif akan sangat merepotkan. Terkecuali RSL Awars atau Rockschool Indonesia saja yang berani secara terbuka mempublikasikan fasilitas Appealing atau banding.

Meskipun ada fasilitas Appealing atau banding, bukan berarti kemudian kita bisa setiap kali banding apabila hasil nilai ujian siswa tak seperti yang diharapkan. Banding itu seperti mekanisme banding dalam pengadilan. Banding bisa diterima ataupun ditolak.Jika banding diterima, tentu nilai ujian siswa akan bertambah. Meskipun ya tidak banyak tambahannya. Jika banding ditolak maka Anda akan dikenakan denda administrasi yang harus dibayar. Jika Anda tidak membayar maka berakhirlah kesempatan Anda untuk ujian berikutnya. Anda akan di-banned.

Berikut saya beri ilustrasi mekanismenya. Misal batas memperoleh prdikat Distinction adalah 90. Nilai ujian siswa Anda 88. Anda berani untuk banding. Karena jika banding Anda diterima, selisih yang 2 point akan masih memungkinkan untuk siswa Anda mencapai kriteria Distinction. Ituppun dengan catatan Anda memiliki alasan yang sangat logis untuk banding. Alasan tersebut dituangkan dalam bahasa Inggris dengan tata bahasa yang semestinya.

Jika misal nilai siswa Anda 82, jikapun bandingnya diterima, perubahan nilai paling paling menjadi hanya 85. Jauh dari Distinction. Dalam keadaan seperti ini saya sangat menyarankan Anda untuk tidak melakukan banding karena toh tak mengubah predikat kelulusan siswa Anda.

Hal lain yang sebetulnya banyak “mengganjal” di benak orangu tua siswa adalah peristiwa begini: Anaknya ujian Piano tapi pengujinya Gitaris. Sebaliknya, anaknya ujian gitar tapi pengujinya Pianis atau malahan Vokalis. Hal ini sebetulnya banyak mengganjal hati para orang tua siswa.

Mereka hanya malas mengutarakan karena Have No Choice. Keterangannya sebetulnya begini: tidak penting peserta piano diuji penguji gitar, atau peserta gitar diuji pemanin piano. Mengapa? Ya karena Examiner itu kan seperti uraian di atas, fungsinya sebagai Asesor: orang yang melakukan proses asesmen, dan bukan juri atau pun hakin penentu.
Lho, jadi kalo begitu abang penjual kerak telor juga bisa jadi penguji vocal dong pak?

Jawabannya, ya. Bisa. Bahkan sangat bisa!. Tentu sejauh si abang kerak telor ini memiliki kompetensi musikal dan sudah ditatar tentang kriteria dan rule pelaksanaan sertifikasinya.
Demkianlah sekilah tentang uji yang belum tentu berupa ujian. Mau ikut atau tidak, saya tak peduli. Kan itu duit Anda dan juga anak Anda. Saya hanya secara apa adanya bukan ada apanya memaparkan fakta saja. Salam dan Tabik. (*)

Penulis: Michael Gunadi Widjaja (Pemerhati Musik)

Article Bottom Ad