’JANGAN MUDAH PUTUS ASA’
SALAH satu pianis Indonesia yang sukses merintis karier di luar negeri adalah Cicilia Yudha. Pianis murah senyum ini tidak hanya sukses meraih penghargaan sebagai piano performer, tetapi juga sebagai piano teacher, termasuk diantaranya terpilih untuk menerima penghargaan Steinway Top Teacher Award pada 2016. Berikut bincang singkatnya di Steinway Family Story
Ceritakan masa kecil Anda dan bagaimana Anda terhubung dengan musik?
Saya lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang mencintai musik. Ibu saya pemain piano dan guru piano yang mengajar di sekolah musik Yamaha. Dua kakak saya juga pemusik. Mereka main violin. Saya anak bungsu dari tiga bersaudara. Ibu tiap hari mengajar piano di rumah dan di sekolah musik. Jadi saya sudah terbiasa mendengar musik sejak saya masih dalam kandungan ibu hahaha….Ayah saya walaupun tidak main musik, tapi beliau memiliki koleksi CD dan laser disc musik lumayan banyak, dan selalu memperdengarkannya setiap hari. Salah satu laser disc musik yang sangat saya sukai waktu kecil adalah permainan piano Vladimir Horowitz, dan juga Evgeny Kissin. Jadi, pengaruh kalau pianis itu ternyata bisa jadi profesi, sudah tertanam sejak saya kecil.
Mulai serius belajar musik usia berapa?
Kira-kira umur 2,5 tahun atau 3 tahun. Saya mulai belajar di Kursus Musik Anak, dibimbing ibu saya sendiri. Saya lalu masuk ke Junior Original Concert atau JOC, kelas khusus yang menampilkan siswa berusia 15 tahun ke bawah, dimana mereka mempertunjukkan komposisi orisinal mereka sendiri. Saya sempat belajar dengan Pak Urip Santoso karena waktu itu harus cari guru karena ibu saya lumayan sibuk mengajar sehingga kadang-kadang anak sendiri nggak kepegang, Jadi dikasihlah saya guru privat.
Bagaimana kemudian Anda mengembangkan ketertarikannya di musik?
Umur 12 tahun saya diterima di YPM. Dua-duanya jalan, di Yamaha dan YPM. Sempat belajar dengan ibu Lini Sugianto, dan waktu umur 13 tahun saya belajar dengan ibu Iravati Sudiarso. Nah waktu dengan ibu Ira inilah saya merasa benar-benar “klik” dan saya bilang dalam hati, wah…saya kepingin seperti beliau, pianis wanita Indonesia pertama yang tampil di New York. Itu yang membuat saya terinspirasi besar. Setelah itu beberapa waktu kemudian saya ketemu sama teman lama yang dulu pernah main bersama di Bina Musika, Ines Irawati. Dia teman saya juga waktu sama-sama di JOC Yamaha, dan dia meneruskan studinya di Cleveland. Waktu itu dia bikin konser di Jakarta, dan dia bilang ke saya, “kalau kamu mau serius main musik, kamu harus belajar di Cleveland sama guru saya, orang Serbia, Olga Radosavljevich”. Tahun 1995 saya ke Cleveland ditemani ibu saya, satu bulan disana mengikuti Summer Music Camp, dan saya benar-benar terkesan dengan kegiatannya. Tahun 1996 saya menerima beasiswa Young Artist Program di Cleveland Institute of Music. Saya dan ibu saya semula agak ragu juga sih. Guru saya ibu Iravati mengatakan bahwa itu golden opportunity yang kalau tidak diambil, belum tentu bisa datang lagi. Ines dan ibunya terus memberi semangat dan meyakinkan bahwa beasiswa itu kesempatan baik. Sayang kalau tidak diambil. Akhirnya setelah lulus SMP saya pun berangkat ke Amerika dengan beasiswa Young Artist Program di Cleveland Institute of Music (CIM) dari tahun 1996 sampai 1999, setingkat SMA kelas 1 sampai kelas 3. Setelah itu saya teruskan di CIM untuk ambil S1. Karena saya melalui program Young Artist, S1 yang biasanya 4 tahun, saya raih dalam 2.5 tahun. Saya kemudian di terima di Artist Diploma Program yang saya jalani sampai tahun 2004. Jenjang S2 dan Graduate Diploma, saya tempuh di New England Conservatory (NEC) di Boston, Master of Art tahun 2004 -2008. Dan jenjang S3 Doctorate of Musical Arts di University of North Carolina Grensboro, tahun 2009-2012.
Apakah Anda tidak tertarik ke bidang lain selain musik?
Dulu saya tertarik ke bidang psikologi sih, dan sempat baca-baca sebentar, tapi bahasa psikologi itu sulit saya mengerti hahaha… dan akhirnya saya tinggalkan. Saya juga sempat tertarik ke Antropologi, tapi juga saya tinggalkan. Saya merasa nggak cocok
Bagaimana Anda tiba pada kesadaran bahwa musik adalah pilihan yang sesuai dengan Anda?
Mungkin karena sejak kecil saya hidup di lingkungan musik, tanpa saya sadari ada semacam keterikatan yang demikian erat. Saya merasa musik itulah sebenarnya habitat saya sehingga muncul kesadaran, rasanya saya tidak bisa lepas dari musik. Guru saya mengatakan, musik itu life style, bukan sekedar pilihan hidup. Saya ingat tahun 1998 saat krisis di Indonesia, saya bertemu dengan almarhum Kris Biantoro di rumah keluarga saya di California. Kita teman baik satu keluarga, dan om Kris bilang bahwa kita di dunia ini dikasih misi oleh Tuhan. Misi kamu dan misi saya juga, kata beliau, adalah menyebarkan keindahan.
Dalam karier Anda, lebih dulu mana yang dimulai: performer dulu, baru kemudian mengajar? Ataukah keduanya berjalan bersama?
Dua-duanya berjalan bersama. Sejak kecil memang sudah dilatih untuk perform, tapi secara informal, ikut ibu saya mengajar di rumah. Waktu SMA, guru saya melatih di bidang pedagogy dengan memberi saya semacam “Kuliah Kerja Nyata” di summer camp, dan membantu adik-adik di sekolah musik untuk latihan. Saya sering observe beliau mengajar. Begitu mulai S1, saya diangkat menjadi pengajar di CIM Preparatory School and Continuing Education. Saya juga jalani posisi yang sama di NEC Preparatory School.
Kepuasan batin seperti apa yang Anda rasakan sebagai performer, dan sekaligus sebagai teacher?
Sebagai performer saya mendapatkan kepuasan batin di mana saya menjadi anugerah dari yang Maha Kuasa untuk membagi keindahan bersama musisi lain, dalam setting chamber music atau concerto, dan juga pendengar atau audience musik. Sebagai guru atau lecturer, sama seperti performer. Ada pula bonus di mana saya boleh menanam sesuatu yang special di masing-masing murid untuk masa depan mereka, meneruskan apa yang saya pernah terima, dan juga maju bersama selagi menjelajahi dan mendalami karya-karya masterpieces musik.
Selain menerima Nationally Certified Teacher of Music (NCTM), Anda juga menerima penghargaan Steinway Top Teacher Award pada 2016. Bisa dijelaskan apa itu?
Ya. Itu cara Steinway untuk kasih spotlight dan menghargai usaha guru-guru di areanya sendiri. Kalau saya, Steinway Claveland yang kasih penghargaan ke saya. Waktu itu saya baru di tahun ketiga atau tahun ke empat mengajar di Youngstown. Yang menarik perhatian mereka itu dimana saya mencari jalan untuk anak-anak di komunitas, ada akses untuk les piano, untuk belajar musik. Jadi di Youngstown City Schools saya set up keyboard lab untuk mereka. Dulu mereka punya ruangan musik yang isinya banyak piano-piano kecil, Spinet, yang sudah rusak. Sementara banyak anak berkeinginan untuk belajar musik. Jadi saya bantu mereka untuk purchase keyboard, clavinova, yang semuanya baru dan berfungsi dengan baik, ada pedal dan segala macam, dan saya bantu bikin kurikulum semacam kelas kursus musik anak tapi untuk anak-anak yang lebih besar, grup piano classes. Saya juga bantu beberapa sekolah yang lain, dan juga after-school enrichment programs. Itu salah satu hal yang barangkali menarik perhatian Steinway.
Bagaimana Anda melihat penghargaan dari Steinway itu?
Sebagai pribadi saya bersyukur dan merasa terhormat untuk perhatiannya. Hubungan kami sangat baik disini, dan sering ketemu mereka. Juga membantu membuka jalan kalau murid-murid saya mau main di tempat mereka. Kalau buat saya pribadi, dengan penghargaan dari Steinway ini, berarti nambah satu lagi penghargaan buat saya hahaha….
Anda telah banyak mendapat penghargaan dan pengakuan internasonal, baik sebagai pianis maupun piano teacher. Apa arti semua itu bagi Anda?
Bagi saya, itu semua berkat Tuhan, dimana saya bisa mengungkapkan yang apa yang komponis-komponis luar biasa itu sudah menulis dan dibagikan ke komunitas macam-macam. Musik itu memberi saya sumber hidup yang luar biasa, dalam arti saya bersyukur sekali bisa dibawa ke seluruh dunia. Semua itu karena musik. Saya pernah main di Kambodia, ikut festival di Prancis, Jerman, Austria, dan sebagainya, semua itu karena musik. Itu semua berkat yang luar biasa untuk saya
Dari semua yang Anda capai sampai saat ini, masih adakah sesuatu yang menjadi obsesi Anda? Apa rencana ke depan Anda?
Rencana ke depan sih banyak sekali. Salah satu alasan untuk hidup sehat dan hidup lama itu karena banyak sekali repertoar yang benar-benar mau saya mainkan, salah satunya Brham’s Piano Concerto, tapi juga gol saya, itu saya ingin sekali main sama orkes di Indonesia karena saya belum pernah main sama orkes tanah air sendiri. Itu harapan besar saya
Dalam perjalanan hidup seseorang, selalu ada situasi sulit yang harus dihadapi. Anda bagaimana?
Kira-kira 20 tahun lalu saya pernah merasakan krisis identitas, terkait dengan pilihan saya di musik. Apakah benar ini panggilan hidup saya? Situasi seperti ini memang kadang-kadang harus dilalui, istilahnya growing pains, dan itu normal, dan bagus untuk setiap manusia melakukan refleksi, apakah ini di jalur yang benar. Karena kalau tidak, kita nanti 50 tahun terjebak di pekerjaan yang tidak memuaskan hati. Hubungan antara mental dan hati, jiwa dan kepala, kalau tidak seimbang, tidak selaras, akan membuat sakit. Itu pernah saya lewati 20 tahun yang lalu. Tapi saya merasakan kekuatan musik, kekuatan orangtua, keluarga, teman-teman, yang membuat seperti tripod di kehidupan saya. Saya selalu bisa mencari keseimbangan saya dimana. Kadang-kadang menerima kalau kita punya keterbatasan, itu penting, untuk dapat menerima segala sesuatunya dengan plong, dengan tulus, dan ikhlas.
Menurut Anda, apa manfaat musik dalam kehidupan manusia?
Wah… musik dalam kehidupan manusia itu seperti oksigen. Musik ada di mana – mana, meskipun kita tak sadari. Tangisan pertama bayi yang lahir pun itu musik untuk orangtua yang sudah menantinya selama 9 bulan. Cobalah menonton TV atau melihat iklan tanpa musik, apakah kita tidak akan merasa kekurangan sesuatu? Musik menambah makna kehidupan manusia. Di mana kata-kata kurang atau tidak berhasil mengungkapkan sesuatu, seringkali musik yang bisa memenuhi keterbatasan ekspresi verbal.
Apa saran Anda untuk anak-anak muda yang saat ini belajar dan berkarier di musik?
Kegigihan sangat penting dalam berusaha apapun. Jangan mudah putus asa, selalu meningkatkan keterampilan dari waktu ke waktu, dan jangan cepat berpuas diri. Kita harus saling membantu, mendukung, dan jangan merasa bersaing satu dengan lainnya dengan tujuan untuk menjatuhkan. Sebaliknya, bersaing untuk saling memacu dan maju bersama-sama. Jangan mencari jalan hanya untuk diri sendiri, yang lain jatuh biarkan saja. Jangan begitu. Dan janganlah kita egois, karena sehebat apapun kita, tetap membutuhkan pertolongan orang lain.
Bagaimana pandangan Anda terhadap piano Steinway?
Saya beruntung karena sejak usia 15 tahun sudah main dengan Steinway, dan saya merasa bahwa Steinway memicu saya untuk menjadi pianis yang lebih baik dimana kemungkinan untuk membuat warna suara di piano Steinway itu luar biasa. Steinway adalah piano terbaik yang pernah dibuat. Nadanya dan keseimbangnya luar biasa (*)