Menjadi musisi, bukanlah pekerjaan yang stabil dalam hal finansial. Dalam pandangan Hazim Suhadi, musisi tulen sebaiknya tidak hanya berfokus pada karya saja, tapi juga harus membekali dirinya dengan soft skill yang bisa menopang karier dan finansialnya. Berikut pandangan Master of Music in Piano Performance dari University of Wisconsin-Madison, USA ini, dalam Steinway Family Story
Bagaimana masa kecil Anda dan bagaimana bisa terhubung dengan musik?
Waktu aku umur 5 tahun di rumah ada piano, hanya saja pianonya nggak dipakai. Ibuku sempat les piano sih, tapi cuma satu atau dua tahun, aku gak inget, lalu setelah itu berhenti. Jadi piano itu di rumah sempat terbengkalai. Waktu itu aku penasaran juga sih, ini alat musik apa? Lalu iseng-iseng aku pencet-pencet tutsnya, dan baca-baca buku yang dipakai ibu. Lalu aku coba mainkan. Eh…asyik juga ternyata. Nah waktu usia 6 tahun aku mulai belajar sendiri dengan memakai buku-buku piano ibu. Jadi boleh dibilang aku mengenal piano itu awalnya secara otodidak, dan sudah bisa main lagu sebelum belajar secara formal dengan guru piano. Melihat ketertarikanku di piano, ibu lalu memasukan aku ke sekolah Yayasan Musik Jakarta, dibimbing ibu Yola Mathilde, dan cukup lama dengan beliau, sebelum keluargaku pindah ke Malaysia, soalnya papaku kerja di perminyakan dan ditugaskan di Malaysia. Jadi memang kita suka pindah-pindah. SD-ku di Indonesia, lalu SMP dan SMA-ku di Malaysia, lalu balik lagi ke Indonesia lagi menamatkan SMA-ku. Begitu juga dengan belajar pianoku, jadi banyak gonta-ganti guru, sampai aku berangkat kuliah ke Amerika.
Bagaimana ceritanya bisa kuliah di Amerika?
Aku mungkin ada priviledge ya karena ayahku kerja di perminyakan, sehingga sekolah pun dibayarin sama perusahaan ayahku. Ini memang deal-nya seperti itu. Jadi waktu balik ke Jakarta, SMA ku pun di Jakarta International School atau JIS. Nah di JIS itu ada yang namanya konseling untuk masuk universitas sesuai dengan minat dan kemampuan siswanya. Kebetulan aku dapat konseling yang ngasih tahu aku sebaiknya kuliah di ini, ini, ini…kalau minatnya memang di musik. Kebetulan minatku waktu itu di musik dan biologi. Jadi aku dikasih list sekolah-sekolah sesuai minatku. Udah gitu aku apply di Lawrence University di negara bagian Wisconsin. Di situ aku dapat beasiswa setengah dari biaya kuliah, dan ambil double degree, biologi sama piano. Tapi di tahun kedua biologinya aku ganti sama Sastra Prancis. Jadi tetap double degree, musik sama Sastra Prancis, dan aku selesaikan dalam waktu 5 tahun, sebab kalau double degree atau dua gelar seperti itu memang tidak bisa selesai dalam empat tahun
Setelah itu?
Setelah lulus dari Lawrence University tahun 2011, aku ambil S2 di University of Wisconsin – Madison. Nah disini aku dapat beasiswa penuh. Jadi aku nggak bayar uang sama sekali, malah aku digaji sama sekolahnya karena aku diangkat jadi asisten dosen. Ngajar piano untuk anak-anak S1 yang mayornya bukan piano. Dan itu semuanya bule, jadi harus pakai bahasa Inggris. Lucu juga sih, tiba-tiba saja aku harus ngajar 12 mahasiswa hahaha…. Jadi itu pengalaman mengajarku yang pertama. Sebelumnya aku nggak ada minat di pedagogi sih, tapi dari pengalaman itu aku merasa minatku untuk mengajar jadi semakin tinggi, dan sejak itu aku mulai tertarik dengan ilmu pedagogi. Aku menyelesaikan S2 di tahun 2013, dan kembali ke Indonesia di tahun itu juga
Apa yang dilakukan setelah kembali ke Indonesia?
Aku lebih banyak ngajar. Tapi, belakangan ini, khususnya 2-3 tahun ini sejak pandemi Covid 19 aku lebih suka ngajar teori musik, karena memang tidak banyak guru teori musik di Jakarta, bahkan juga di Indonesia, padahal banyak sekali murid-murid piano yang butuh teori musik, khususnya Grade 6, 7 dan 8 ABRSM contohnya. Nggak ada yang bisa ngajar, atau mungkin ada juga, tetapi murid-murid di Grade itu kebingungan nyari gurunya itu siapa. Jadi pas pandemi tahun 2020, aku iseng-iseng buka kelas teori Grade 6, dan ternyata banyak banget yang ikut, sampai duapuluhan orang lebih yang pada mau ikut. Jadi aku ngajar kelasnya, dan akhirnya semakin banyak orang yang tahu kelas ini, dan mulai banyak yang tanya ada lagi nggak kelasnya. Akhirnya aku bikin lagi kelas teori musik, dan sejak pandemi tahun 2020 itu aku full ngajar teori secara online.
Jika sekarang konsentrasi mengajar teori, apakah itu artinya banyak yang lemah dalam hal teori musik?
Dari pengalamanku, iya. Mungkin mereka itu saat sampai Grade 5 merasa sudah cukup. Kan di Grade itu, setidaknya mereka sudah bisa baca chord, sudah bisa main piano lah. Jadi ya sudah. Kebanyakan teorinya mentok sampai disitu. Mungkin juga belum di push gurunya untuk mengikuti Grade 6 atau di atasnya. Atau mungkin muridnya sendiri nggak tertarik dengan teori musik dan lebih suka dengan main piano saja. Jadi mungkin banyak alasannya ya. Cuma dari pengalamanku ya, banyak sekali murid-murid yang nggak tahu SATB itu apa, ilmu Counterpoint itu apa, bahkan score analysis, baca score saja kesusahan, dan bagi aku itu sesuatu yang penting juga, apalagi kalau ingin meneruskan musik, misalnya kalau nantinya mau kuliah di musik, harus punya bekal teori musik yang mendalam, sebab tanpa teori musik, untuk menjelaskan aspek permainan piano pun akan susah
Aneh juga ya, banyak yang main piano, tetapi minim teori musiknya?
Ada juga sih yang mainnya biasa saja, tapi teori musiknya mateng banget, tapi itu tidak terlalu banyak. Kadang orang memang lebih mementingkan mainnya, soal teorinya dinomorduakan hahaha… Sering aku menemui anak-anak yang mainya bagus, tapi saat aku tanya misalnya kenapa kamu bikin tension-nya disini, atau kenapa kamu melakukan hal-hal begini dalam musik kamu, mereka nggak bisa jawab. Dia cuma bisa bilang, ya pakai feeling saja. Ya memang pakai feeling, tapi dalam musik, kalau kita ingin menjelaskan sesuatu kan tidak cuma sekedar mengandalkan perasaan saja. Pasti di balik feeling itu ada hal-hal fundamental yang bisa kita jelaskan dengan konsep teori musik.
Sebenarnya seberapa penting pemahaman teori musik dalam belajar piano dibanding praktiknya?
Sebenarnya harus diimbangi sih. Jadi kalau memang praktiknya Grade 5, ya udah teorinya ya Grade 5. Kalau praktiknya Grade 6,7 , atau 8, ya teroinya harus diimbangi juga. Jadi harus ada sinergi antara praktik sama teori. Kalau teorinya lebih tinggi dari praktik, mungkin lebih baik daripada teorinya lebih rendah dari praktiknya.
Benar juga. Anda jeli dalam melihat satu aspek yang mungkin sering terlewatkan dalam belajar piano, bahwa teori juga penting selain praktik
Ya betul. Bahkan tahun lalu aku ngajar teori untuk Grade 6, tetapi yang paling banyak ikut malah guru-guru piano yang ingin mendalami teori tingkat tinggi supaya bisa dikasihkan ke murid-murid mereka. Jadi menarik juga sih yang ambil kelasku ternyata bukan hanya anak-anak, tetapi juga guru-guru piano yang mungkin usianya sama dengan aku.
Adakah perbedaan antara seseorang yang memainkan piano dengan teori musik yang baik dengan mereka yang mungkin teori musiknya kurang?
Mungkin kalau sekilas mendengarkan mereka main nggak begitu kentara, tapi ketika kita ajak diskusi, itu paling kelihatan. Apalagi kalau membahas rekaman dari pianis-pianis lain, atau kolaborasi misalnya empat tangan, itu biasanya kalau teori musiknya nggak dalam, akan kelihatan dari gaya bahasa dan cara komunikasinya.
Penting juga proporsi teori dibanding praktik ya?
O, iya. Apalagi kan sekarang mulai banyak ujian yang ada sidangnya hahaha…seperti di ABRSM misalnya, itu kan ada ujian Diploma, itu kan penting sekali. Nggak cuma teorinya saja, tapi juga harus tahu sejarah, kisah di balik karya yang dimainkan. Kebanyakan murid-murid itu kebingungan mengolah katanya itu bagaimana
Bisakah disebut blessing in disguise, saat Anda mengkhususkan diri untuk mengajar teori musik?
Bisa dibilang begitu hahaha… dan ladangnya basah banget hahaha….Karena pasti akan selalu ada sih yang nanya ‘Kak Hazim bisa nggak ngajari aku teori’. Seperti itu, dan tiap bulan itu ada.
Ngomong-omong, sejak kecil apakah memang pingin jadi pianis dan guru musik? Atau semacam kebetulan saja?
Kebetulan hahaha…Kebetulan saja aku senang dan punya passion di musik. Tapi memang banyak hal harusnya aku kembangin juga sih waktu aku kuliah. Soalnya, bahayanya kuliah musik itu, dalam pengalamanku nih ya, kamu hanya fokus pada musiknya saja, tapi kurang memperhatikan soft skill. Contohnya, entrepreneurship, networking, ilmu marketing, semua itu sangat penting dan soft skil yang harus dikuasai. Minimal ngerti lah. Sebab, menjadi seorang seniman tulen, menurutku tidak hanya berfokus pada karya saja. Harus punya soft skill. Misalnya, bagaimana cara bikin poster, bikin event, bikin program. Itu penting. Soalnya kita tidak mungkin mengharapkan event-event lain mengundang kita sebagai musisi. Mau nggak mau kita pun harus bisa mengembangkan event kita sendiri sih. Artinya, harus selalu aktif. Itu juga alasan aku bikin komunitas musik klasik sama temanku, namanya Klassikhaus di Instagram. Kenapa aku bikin itu, karena kadang musisi itu sangat sulit dapat akses tampil. Mereka harus menunggu diundang untuk tampil. Nah disini aku mengajak mereka untuk tampil dengan program yang mereka inginkan, disamping untuk mendekatkan musik klasik ke khalayak yang lebih luas. Aku bisa bantu itu. Kita sudah bikin ini dari tahun 2019 dan sudah ada 30-an event, dan yang paling besar itu ketika kita tampil di suatu taman, dan ditonton oleh 200-an orang
Sebagai musisi, hal apa yang menjadi kecemasan Anda?
Menjadi musisi itu bukan pekerjaan yang stabil hahaha…. Itu akan selalu menjadi momok untuk semua musisi yang kukenal. Cashflow nggak bisa dipastikan. Makanya soft skill seperti mengatur keuangan, itu juga penting. Tidak semua musisi mendapat pembekalan financial literacy, dan yang menjadi kecemasan tentunya masalah finance, karena musisi itu bukan pekerja kantoran yang ada asuransi, yang ada gaji pokok. Jadi memang sangat tergantung dari event yang mengajak kita untuk bermain, dan itu tidak selalu ada setiap saat. Apalagi pas pandemi yang lalu. Tapi kecemasan itu bisa aku atur dengan lebih bertanggungjawab dengan finance-ku.
Berangkat dari kenyataan itu, apa saran Anda kepada mereka yang masih belajar maupun yang sedang memulai berkarier di musik?
Menurutku ada dua tipe dalam hal ini. Pertama, ada anak-anak muda yang mungkin tidak perlu mengkhawatirkan kecemasan-kecemasan seperti itu karena mereka sudah didukung sepenuhnya sama keluarganya. Kedua, mereka yang nggak memiliki privilege seperti itu. Aku kenal dengan mereka yang berada di dua sisi ini. Jadi bagi beberapa orang, hal itu bukan sesuatu yang perlu mereka cemaskan, karena sudah ada safety net-nya. Tapi buat mereka yang tidak mendapatkan privilege seperti itu, mereka harus belajar bagaimana mengatur finance sejak awal, dan harus bisa berpikir kedepannya itu bagaimana, 10 tahun, 20 tahun ke depan itu mau seperti apa. Misalnya, apakah sudah nyiapin uang pensiun, asuransi kesehatan, dan sebagainya. Terutama asuransi kesehatan. Itu sangat penting, sebab kita tidak tahu kapan kita sakit. Intinya, harus punya bayangan, 30 tahun ke depan bagaimana. Mungkin tidak semua memiliki plan sejauh itu, tetapi coba pikirkan 2-3 tahun ke depan bagaimana
Sebagai pianis, apa pendapat Anda tentang Steinway Piano?
Steinway itu piano yang bagus dan banyak digunakan pianis dan konservatori hebat di dunia. Steinway juga piano yang bisa memenuhi tuntutan musikalitas kita dengan touch dan warna suaranya yang luar biasa. (*)