Mendorong Anak Berlatih Mandiri

191

Article Top Ad

BAGI anak yang memiliki motivasi tinggi, sangat mudah bagi dia menerapkan disiplin dan menggunakan waktunya secara maksimal untuk latihan, tanpa paksaan. Tetapi, ada sebagian anak (dan boleh jadi sebagian besar anak-anak), justru sangat membenci latihan. Tak heran bila masalah latihan bagi anak-anak ini merupakan persoalan pelik, bagi orangtua maupun guru.

Berbagai pendekatan pun harus dilakukan untuk membantu dan mendorong anak-anak agar mau berlatih, baik melalui pengawasan ketat, keterlibatan langsung orangtua, dan sebagainya. Yang pasti, untuk sebagian besar anak-anak, mereka sangat membutuhkan dorongan terus menerus dari guru dan orangtuanya.

Menurut Paul Harris, guru musik, komposer, pemain clarinet, dan penulis artikel, seandainya semua anak dapat mematuhi jadwal yang telah ditetapkannya sendiri, tidak ada masalah. Akan tetapi tidak semua anak bisa diharapkan kemandiriannya seperti itu.
“Dimanapun, yang namanya anak-anak, semua belum memiliki kemandirian. Artinya, mereka masih tetap harus dibantu, harus didorong dan dibangkitkan semangatnya. Masalahnya adalah, haruskah mereka terus menerus didorong setiap kali latihan? Jika iya, apa manfaatnya bagi anak jika harus berlatih dengan cara seperti itu,” kata Paul Harris.
Dalam artikelnya yang berjudul “The Music Teacher Companion”, Paul Harris mengatakan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru maupun orangtua, agar anak dapat memperoleh manfaat maksimal dalam latihan, dan bagaimana agar anak terlibat secara emosional ketika berlatih.

Article Inline Ad

Pertama, kata Paul Harris, guru bisa mencoba melakukan pengamatan dan eksperimen kecil. Misalnya, kumpulkan beberapa siswa dan perintahkan mereka membuat buku harian sederhana tentang catatan kegiatan mereka selama satu minggu. Mintalah mereka mencatat berapa lama waktu latihan mereka dan berapa lama waktu yang mereka inginkan sebe narnya, bukan berapa waktu yang ideal untuk dia, menurut guru. Tanyakan juga kepada mereka bagian mana dari metoda latihan yang mereka sukai dan bagian mana yang tidak disukai.

Jika mereka mengatakan tidak pernah latihan, tanyakan mengapa. Usahakan menggiring siswa agar tidak menjawab “tidak punya waktu”. Dari hasil catatan di buku harian siswa ini, memberi maukan dan inspirasi bagi guru untuk membentuk grup ideal menurut mereka. Setelah itu, giliran guru menjawab pertanyaan berapa lama waktu yang akan Anda curahkan untuk mengajar mereka. “Dalam hal ini harus diingat bahwa ada perbedaan mendasar antara menyuruh siswa untuk berlatih, dengan bagaimana caranya mengajak mereka berlatih,” kata Paul.

Satu kali pelajaran, biasanya berlangsung antara 20 menit sampai satu jam. Dalam rentang waktu itu, guru ditantang bagaimana menciptakan waktu latihan yang efektif, bermanfaat dan kreatif. Dalam hal ini, guru jangan lelah untuk selalu mencoba mengevaluasi hasil setiap latihan selama ini. Temukan cara bagaimana seharusnya proses belajar dan mengajar berlangsung.

Meskipun banyak buku tentang metoda latihan dan tips-tips latihan, tetapi sangat jarang yang mengupas tuntas tentang bagaimana menumbuhkan antusias anak untuk latihan.
“Harus dicatat bahwa dalam hal ini guru dan siswa sama-sama melihat bahwa latihan adalah bagian integral dari proses belajar musik. Ini yang tidak pernah diperhatikan secara khusus,” kata Paul.

Simultan
Idealnya, proses belajar berjalan alamiah dan mampu mendorong serta menumbuhkan semangat anak untuk berlatih dan berlatih, sampai pelajaran berikutnya. Proses belajar yang berkelanjutan seperti inilah yang mestinya harus dimiliki siswa. Tapi, mungkinkah kita bisa menciptakan suasana “khayalan” seperti itu?

“Untuk menjawab pertanyaan itu, guru bisa menerapkan pola atau konsep ‘belajar secara simultan”” kata Paul Harris. Dalam hal ini, yang perlu diingat adalah bahwa seluruh aspek dalam musik harus dihubungkan dengan tugas guru dan siswa. Tugas guru menjadi penting, karena guru memang bertugas menghubungkan dunia musik dengan anak didiknya, sehingga tercipta “musical thinking” pada siswa.

Salah satu caranya adalah dengan peragaan, yang kemudian ditirukan siswanya. Yang penting dalam proses itu adalah adanya keterlibatan siswa di dalamnya. Di sini guru bisa memberikan rambu-rambu, misalnya bagaimana ritmiknya, dinamika, artikulasi, teknik, dan karakter musik. “Dengan cara ini anak dipaksa berpikir dan berlatih secara hati-hati, dan juga memberi mereka tanggungjawab terhadap latihan mereka sendiri,” kata Paul.

Menurut dia, tidak ada satupun metoda latihan yang sama dan cocok diterapkan pada setiap anak. Metode latihan yang ideal, adalah yang sesuai untuk setiap anak yang berbeda. Ini artinya, guru dituntut kreatif untuk menemukan pendekatanpendekatan tertentu kepada siswa-siawanya yang berbeda.

“Dalam konteks ini, improvisasi adalah cara yang paling baik. Guru yang kreatif akan menemukan cara-cara tersendiri untuk mengajar setiap siswanya. Mereka melakukan improvisasi dan inovasi sedemikian rupa sehingga siswa menjadi senang, terlibat langsung, dan mudah menyerap apa yang diajarkan karena mereka terlibat dalam proses kreatif itu,” kata Paul.

Pendekatan belajar yang konvensional cenderung penuh dengan aturan-aturan, hapalan, tekanan, dan sebagainya. Menurut Paul, pendekatan seperti itu tidak selalu berhasil seperti yang diharapkan. Mencurahkan tenaga, menjaga effort siswa, terikat pada disiplin yang ketat, merupakan beban yang berat bagi anak. Ini menjadi beban tersendiri bagi anak, yang kadang-kadang melemahkan semangat mereka, karena takut melakukan kesalahan .

Pada umumnya, menurut Paul, kesulitan mengajar musik pada anak-anak adalah bagaimana memulainya. Ini bukan saja dialami siswa, akan tetapi juga guru. Banyak anak sulit memulai berlatih musik, dan kadang membuat orangtua harus bertindak keras kepada mereka, oleh karena ketidaktahuan anak, yang ujung-ujungnya diakibatkan oleh “ketidaktahuan” guru bagaimana memulainya.

Beberapa langkah dilakukan ketika memulai belajar musik, misalnya dengan membatasi kegiatan anak. Orangtua biasanya akan mengurangi kegemaran anaknya seperti bermain games, chatting, nonton televisi, makan di luar rumah, bahkan kalau perlu mengurangi jam mengerjakan pekerjaan rumah, semata-mata agar anak bisa konsentrasi, baik secara fisik maupun psikologis pada instrument musik yang dipelajarinya.

Menurut Paul, cara-cara seperti itu baik, akan tetapi bukan jaminan bahwa anak kemudian bisa berkonsentrasi penuh pada musik. “Seorang anak akan merasa antusias berlatih dan menjadi lebih kreatif, jika kita bisa menemukan cara bagaimana membawa mereka berlatih sepenuh hati, dengan kesadaran dan keinginannya, tanpa harus membatasi segala hal yang menjadi kesukaannya. Jika anak tertarik bermain games misalnya, kita harus bisa menemukan cara agar bagaimana ia juga bisa tertarik berlatih musik,” kata Paul.

Paling Sesuai
Berlatih dengan kreatif adalah pendekatan paling sesuai untuk siswa anak- anak. Pedekatan “bermain” dalam belajar dan latihan musik bisa menjadi cara yang efektif. Sekali lagu, kuncinya adalah kreatifitas guru. Paul memberikan contoh bagaimana di setiap pertemuan, guru memancing dialog dengan siswa.

Perlu diperhatikan bahwa, latihan tidak selalu harus dimulai dengan bermain musik.Misalnya, guru bisa bertanya tentang apa yang telah dipejari pada pertemuan terakhir lalu? Kunci apa yang telah yang dipelajari minggu lalu? Pola apa yang kita gunakan untuk berimprovisasi? Dinamika seperti apa yang telah dipelajari? Mood musik seperti apa yangtelah dimainkan? Dan sebagainya.

“Guru bisa memulai latihan dengan mengembangkan aktifitas itu, misalnya membuat nada dasar pada kunci, bagaimana meramu dan memadukan secara bersama-sama, mencari gagasan dan ide-ide baru, dan sebagainya. Latihan seperti itu akan menjadikan suasana menyenangkan, sekaligus membantu menemukan masalah-masalah yang dihadapi, mereka juga merasa dihargai, karena apa yang mereka kerjakan, disukai gurunya.
Akan lebih menyenangkan bagi anak, apabila kemudian guru bisa memberikan pelajaran sesuai dengan yang diharapkan anak. Dengan demikian, guru dan siswa telah berada pada track yang benar dalam proses belajar dan berlatih,” kata Paul.

Paul mengatakan, mungkin saja ada yang bertanya tentang efektifitas metode ini, karena jika dilihat sepintas, metode ini lebih tepat diterapkan pada anak-anak yang berintelejensi tinggi, dan memiliki kelebihan dalam berimajinasi, menyukai tantangan, serta memiliki kreatifitas. Bagaimana dengan anak-anak yang memiliki kepandaian rata-rata? Apa yang mereka akan lakukan dengan buku catatannya?

Paul mengatakan bahwa metode seperti itu bisa diterapkan pada semua siswa. “Masalahnya bukan pada sebuah metode yang baku, tetapi pada sesuatu yang dinamis. Guru-guru yang kreatif tidak akan bergantung pada satu metoda. Mereka tahu bahwa keberhasilannya terletak pada bagaimana mengadaptasi berbagai variasi pendekatan, menggabungkan strategi, dan kepekaan menangkap kemampuan masing-masing individu yang dihadapinya,” kata Paul.

Ia menyarankan agar jangan tergesa-gesa menerapkan sebuah metode tertentu, tanpa melihat kemampuan dan kesiapan setiap siswa lebih dulu. “Yang terpenting dalam mendorong anak agar mau berlatih adalah dengan melibatkan mereka dalam proses latihan, dan menyakinkan mereka bahwa tanpa keterlibatan itu, mustahil akan berhasil. Kunci untuk melibatkan anak-anak adalah dengan memberikan kesempatan mereka berpartisipasi, bukan justru membatasi mereka oleh aturan-aturan tertentu yang meniadakan keterlibatan siswa,” kata Paul Harris.

Dengan pendekatan kreatif, maka latihan musik akan menjadi aktifitas kreatif pula. Anak-anak akan merasa tertantang membuat sesuatu yang baru daripada kita menyuruh mereka berlatih sesuai dengan keinginan kita, tetapi mereka melakukannya dengan setengah hati.
Anak-anak akan merasa bahwa mereka menjadi pusat dalam latihan itu. Mereka merasa punya program sendiri dan latihan tiba-tiba menjadi begitu menyenangkan dan lebih mudah memulainya, karena mereka tidak ada yang takut salah. “Sepanjang pengalaman saya sebagai guru, saya lebih suka membiarkan anak-anak mengotak-atik buku mereka sendiri, daripada saya harus menuliskan instruksi-instruksi buat mereka,” kata Paul.

Dari kegiatan itu, Paul bisa membuat catatan menganai hal-hal seperti apa saja yang dikerjakan siswa selama latihan, apa saja yang mereka sukai selama latihan, dan apa yang mereka hasilkan dari proses kreatifnya. “Dari situ saya bisa menentukan pelajaran apa yang akan saya berikan pada pertemuan berikutnya. Anak-anak merasa senang dengan pelajarannya karena ia selalu menemukan sesuatu yang baru, “kata Paul Harris. (eds)

Article Bottom Ad