SIENNY DEBORA

466

Article Top Ad

 

Di komunitas guru piano Surabaya khususnya dan Indonesia umumnya, Sienny Debora dikenal salah satu guru piano yang banyak melahirkan pianis-pianis bertalenta di Indonesia. Muridnya tersebar di berbagai kota besar, dan banyak memenangkan kompetisi piano, di dalam maupun di luar negeri, termasuk putranya, Ryan Ferguson dan putrinya, Janice Carissa. Berikut bincang singkatnya di Steinway Family Story

Bagaimana masa kecil Anda dan sejak kapan mulai terhubung dengan musik?
Saya ini sangat beruntung karena waktu kecil sangat dekat sama tante saya, ibu Tan Fey Lan yang punya Wisma Musik Rapsody. Beliau salah satu tante saya yang hubungannya sangat dekat dengan saya. Saya ini sehari-hari mainnya di rumah ibu Tan Fey Lan, mulai saat beliau belum menikah sampai beliau menikah saya ikut terus. Karena sehari-hari di rumah beliau, saya selalu lihat beliau mengajar piano, dan saya kadang di sampingnya. Lama-lama saya diajari piano oleh beliau. Gratis. Saya juga diajari bagaimana mengajar, dan itu semua membuat saya jatuh cinta dengan belajar dan mengajar piano. Saya bisa seperti ini sampai hari ini, salah satunya karena jasa beliau

Article Inline Ad

Bagaimana pengalaman bermusik Anda?
Pada saat remaja saya mulai sedikit bosan dengan musik klasik. Kok begitu-begitu terus. Akhirnya saya coba ke electone. Saya belajar dengan bapak Tamam Hoesin. Luar biasa perjuangan beliau, salah satu orang yang sangat berjasa dalam kehidupan saya, sampai saya memperoleh beberapa penghargaan. Saya kemudian ketemu dengan maestro jazz, Bubi Chen dan belajar dengan beliau. Dua tokoh ini banyak menginspirasi dan membuka wawasan musik saya, hingga saya tampil di berbagai kesempatan, seperti di Light Music Contest yang saat itu bersama Gilang Ramadhan dan Ruth Sahanaya. Saya juga membentuk grup band, The Question, bersama Fefe Thessa, Ivon Maria, Myrna, dan Stephen. Kami banyak tampil di berbagai kesempatan. Dari electone saya mencari inspirasi lain yang akhirnya membawa saya kembali ke piano, memperdalam piano lagi dan ikut berbagai kompetisi piano, diantaranya yang waktu itu jurinya bapak Jaya Suprana, yang akhirnya saya menjadi lebih mengenal beliau.

Faktor apa yang mendorong Anda kembali ke piano?
Karena keorisinalan dan tantangannya. Di piano itu membutuhkan kepekaan telinga dan kerja keras untuk benar-benar bisa memainkan alat musik ini dengan baik. Sementara di electone, dengan diprogram, sebentar saja saya sudah menguasainya. Akhirnya saya bosan juga, dan balik lagi ke piano, sampai hari ini saya masih tetap mempelajari piano, karena ternyata eksplorasinya luar biasa, apalagi dengan piano Steinway.

Sejak kapan Anda mulai mengajar?
Sebenarnya kelas 6 SD saya sudah mempunyai murid. Malah sejak kelas 4 SD saya sudah mulai dikenalkan mengajar, meski masih berantakan hahaha…namanya juga anak kecil, banyak kesalahan disana-sini, untungnya saya selalu dibimbing tante saya ibu Tan Fey Lan yang dengan sabar mengajari saya bagaimana mengajar. Beliau berjasa besar pada saya. Mulai serius mengajar saat saya mulai kuliah karena tuntutan biaya hidup. Jadi bukan karena saya suka mengajar. Kondisi keluarga saya yang tidak memungkinkan untuk membiayai kuliah saya. Biayanya tidak ada. Jadi sama bu Fey Lan saya dikasih kesempatan mengajar biar dapat uang buat biaya hidup saya biar tidak tergantung orangtua, hingga saya lulus fakultas ekonomi Universitas Widya Mandala. Saya sangat beruntung bisa kuliah dengan hasil jerih payah saya mengajar piano. Dan dari kuliah itu saya bisa belajar manajeman, bagaimana mengatur waktu, sistem kontrolingnya bagaimana, feedback-nya seperti apa, dan sebagainya. Dengan kata lain, perjalanan mengajar saya menjadi terbantu dengan ilmu yang saya dapatkan di bangku kuliah

Pengalaman batin seperti apa yang didapat saat mengajar piano?
Seperti saya bilang tadi, pada awalnya mengajar itu karena kebutuhan hidup. Bukan karena kesukaan saya. Tapi karena kondisi yang terjepit. Istilah jawanya kepepet. Nah karena kepepat itulah, mau tidak mau saya harus menekuni dengan professional sampai saya benar-benar dipercaya orang, walaupun pada saat pertama mengajar banyak kesalahan di sana-sini. Kasih jadwal salah, kasih lagu ke murid ya salah, karena waktu pertama kali ngajar itu usia saya masih 10 tahunan. Saya ingat betul dimarahi orangtua murid karena salah kasih lagu, salah ngatur jadwal, karena masih anak-anak sekali. Tapi saya tidak putus asa. Dari situ saya banyak belajar. Tidak apa-apa dimarahi orang, jika itu membuat saya menjadi lebih paham, lebih mengerti, dan lebih pintar. Pada akhirnya, prosesnya itulah yang membuat saya akhirnya jatuh cinta dengan mengajar piano. Yang awalnya merupakan kebutuhan, kemudian menjadi hobi, dan akhirnya menjadi hiburan saya saat itu, karena saya merasa kalau sudah mengajar dan bisa membuat siswa mendapat prestasi dan orangtuanya bangga, saya sangat bersyukur dan bagi saya itu merupakan kepuasan batin yang luar biasa. Bukan soal materi atau jumlah uang yang saya terima dari mereka, tapi kepuasan batin itulah yang membuat saya benar-benar support murid tanpa pamrih.

Apa yang menjadi spirit Anda dalam mengajar piano?
Adanya kepuasan batin dalam menjalani proses hingga melihat hasilnya. Bukan semata-mata kepingin murid saya menjadi juara dimana-mana. Bukan itu. Tapi kesungguhan dari naluri hati dalam mengajar itulah yang nomor satu. Kesungguhan untuk memberikan ilmu dan memberikan apa yang sudah saya terima dengan gratis, saya kembalikan semuanya ke murid-murid. Saya berikan yang terbaik, dan saya tidak pernah menyimpan ilmu. Apa yang saya berikan ke siswa, apa yang harus saya informasikan ke mereka, semuanya saya berikan demi kebaikan mereka. Kalau mereka bisa bagus, bisa berhasil dan sukses, bisa membuat orangtuanya senang, saya juga senang karena bisa membuat mereka bahagia. Nah itu kepuasan batin yang tak ternilai dengan uang berapapun jumlahnya. Itulah yang menjadi spirit bagi saya dalam mengajar piano hingga hari ini

Bagaimana Anda melewati pendidikan musiknya?
Secara formal saya tidak punya background akademis pendidikan musik, karena nggak punya biaya untuk belajar di konservatori di luar negeri. Carinya yang gratis-gratis saja hahaha…dengan ibu TanFey Lan saya tak pernah bayar sepeser pun, dengan Bubi Chen juga gratis, dan dengan pak Taman Hoesin, juga tidak membayar. Beliau luar biasa dedikasinya, memberikan ilmu ke saya tanpa pamrih. Demikian juga dengan guru saya pak Slamet Abdul Sjukur, dan juga pak Hari dari ISI Yogya. Semuanya gratis. Saya berkesemptan tampil di acara-acara internasional seperti Asian Composser League, juga mengikuti kegiatan enrichment ke Belanda bersama Dieter Mark, dan ke Italia, atas dukungan pak Slamet Abdul Sjukur

Di tengah persaingan keras, sering muncul rasa suka dan tidak suka di komunitas guru musik. Anda merasakan?
Untungnya saya tidak pernah merasa ada orang yang iri atau tidak suka dengan saya. Yang mau dibuat iri itu apa? Tidak jelas. Yang penting buat saya, saya merangkul semua orang di dunia musik. Saya ingin bersatu, menghargai satu dengan lainnya. Saya ini bukan siapa-siapa dan tidak ada apa-apanya. Banyak orang di atas saya yang super, dan saya menghormati mereka. Semua itu karena kemuraahan Allah Yang Maha Kuasa. Jalan hidup seseorang itu sudah digariskan, jadi bukan kami ingin menonjol, tapi karena kami memang bekerja keras. Dunia musik itu bukan persaingan. Tapi kebahagiaan. Saya tidak pernah berpikir negatif. Saya merangkul semua orang. Saya menjaga hubungan dengan semua orang.

Siswa Anda banyak menjuarai berbagai kompetisi piano. Termasuk dua anak Anda, Ryan Ferguson dan Janice Carissa. Apa yang mendorong Anda mengajarkan musik ke anak-anak Anda?
Semua yang saya terima dalam hidup saya ini adalah karunia Tuhan. Termasuk anak-anak saya. Musik itu tidak bisa dipaksakan. Tapi harus dari hati . Walaupun mereka putra-putri saya, mereka tetap punya hak untuk memilih apa yang menjadi jalan hidupnya, yang baik untuk mereka. Nyataya sekarang, yang laki-laki di bidang bisnis, dan yang putri benar-benar memilih jadi musisi. Buat saya, mereka anak-anak saya yang berjuang keras sejak usia dini. Saya sangat support apapun pilihan hidup mereka. Mengapa saya memberikan pengajaran musik melalui piano kepada anak-anak saya, karena saya tidak mau mereka membuang waktu mereka setelah pulang sekolah. Saya tidak suka kalau mereka hanya lihat TV, main handphone, dan kegiatan yang tidak bermanfaat. Jadi saya ketat ke mereka dalam soal jadwal kegiatan. Tujuan saya agar mereka belajar disiplin, karena musik itu tanpa disiplin tidak akan berhasil. Jadi yang pertama harus ditekankan bukan “ayo belajar musik, kamu harus cinta musik”. Ya memang harus cinta musik, tapi nomor satu disiplin dan ketekunan, itu yang membuat mereka berhasil. Kalau mereka cinta musik, itu Alhamdulillah, karena itu anugerah dari Tuhan. Tetapi kalau mereka tidak mempunyai disiplin dan kerja keras, bagaimana mereka bisa berhasil? Bukan hanya di dunia musik, tapi dalam bidang apapun, keberhasilan itu karena disiplin dan ketekunan. Itu yang saya tekankan kepada anak-anak saya. Syukur kalau mereka milih musik. Itu pilihan buat mereka. Bukan saya yang milih.

Anak-anak sudah dewasa. Bagaimana Anda melihat mereka?
Mereka tidak kaget melihat dunia ini bahwa kalau sudah saatnya hidup bermasyarakat ya penuh dengan stress, karena persaingan yang tinggi. Di dunia ini terlalu banyak orang hebat, orang pintar, orang jenius. Anak-anak saya tidak kaget karena sejak kecil itu habitat mereka, dibentuk dalam disiplin tinggi, kompetisi yang ketat, sehingga harus ada rasa percaya diri. Keberhasilan mereka bukan karena pintar, bukan pula karena talenta. Talenta itu hanya 1 persen, 99 persen itu ketekunan, kerja keras, percaya diri, dan mereka benar-benar mau bersaing di dunia ini karena persaingan itu yang membuat kita bisa hidup atau tidak bisa hidup. Saya berbahagia karena pada akhirnya mereka bisa memilih sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Yang penting bagi saya, mereka berbahagia dengan pilihannya. Ryan memilih bisnis, oke. Sedang adiknya, Janice memilih jadi musisi, juga oke.

Saya dengar Janice bergabung di Opus 3. Bisa dijelaskan itu apa?
Opus 3 itu salah satu manajemen artis terkemuka yang berkedudukan di Jerman dan New York, yang me- ngelola karir dan aktivitas tur dari banyak artis dan ansambel pertunjukan terbesar di dunia. Tidak mudah untuk bisa bergabung di manajemen ini. Mereka benar-benar selektif untuk mau menjadi manajer seorang artis. Betul-betul harus artis yang mereka pilih. Bukan kita yang mau pilih mereka. Ini benar-benar sebuah anugerah dari Tuhan. Sebuah keberuntungan yang tak pernah saya bayangkan. Saya sudah lama dengar manajemen artis hebat ini, tapi apakah mungkin hanya seorang putri saya bisa bergabung dengan manajemen artis yang sangat besar ini. Makanya saya juga kaget, dan bersykur atas semua anugerah Tuhan ini

Sekarang Janice study dimana?
Mulai tahun ini dia mendapat beasiswa penuh di Jui- lliard School of Music untuk ambil Master of Music-nya, setelah lulus dari Curtis Institute of Music. Janice mendapat beasiswa penuh di Juilliard dari Program Beasiswa Kovner yang memberikan dukungan beasiswa komprehensif yang mencakup biaya kehadiran penuh untuk mahasiswa musik klasik, sarjana dan pascasarjana yang berprestasi selama program gelar mereka di The Juilliard School. Penerima beasiswa Kovner juga mendapat manfaat tidak hanya dari dukungan finansial tetapi juga dari konten terprogram yang ditingkatkan secara signifikan dengan tujuan mengembangkan pemimpin masa depan dalam seni.

Apa saran Anda kepada orangtua yang saat ini anak-anaknya belajar musik?
Sebagai orangtua, pertama harus sabar. Dalam segala sesuatu itu kuncinya sabar. Kedua, berpikir dulu sebelum bertindak. Itu amat sangat penting. Ketiga, harus punya motivasi dan tujuan yang jelas. Apakah motivasi dan tujuannya itu karena mau cari sukses, ingin terkenal, ingin menonjol, atau karena ingin bahagia. Buat saya yang masih belajar sampai hari ini, pertama sabar, kedua tetap disiplin dan belajar rendah hati, dan ketiga menghargai setiap pendapat orang lain dan berusaha menjalin hubungan jangka panjang. Jadi kalau mau aneh-aneh, mikir jangka panjang ke depannya bagaimana, karena kami ini hidup di dunia, di putaran lingkungan yang itu-itu saja.

Apa saran Anda sebagai guru agar anak-anak didiknya bisa berprestasi?
Pertama harus ada rasa sayang kepada murid, seperti menyayangi anak sendiri. Saya kalau kasih ilmu ke anak saya, ya sama dengan apa yang saya kasih ke murid-murid. Tidak berbeda. Kalau ada murid-murid berhasil, itu karena kemurahan Tuhan karena Tuhan membentuk saya untuk tetap mengasihi kepada semua murid saya dalam kondisi apapun. Kedua, menghormati dan respek kepada murid-murid. Walaupun murid baru beruia 4 tahun pun saya respek kepada mereka. Saya anggap mereka orang dewasa walaupun masih berumur empat tahun. Saya nggak pernah menganggap murid saya anak kecil yang tidak mengerti kejiwaan. Mereka adalah anak-anak yang memiliki naluri yang sangat tinggi , terutama anak-anak milenium, mereka bisa membedakan orang mana yang mengasihi mereka, orang mana yang sungguh-sungguh dengan mereka, mana yang menghormati mereka, dan mana yang membohongi mereka, jujur atau tidak jujur, mereka akan merasakan itu. Jadi, kita menjadi manusia yang memiliki rasa hormat kepada siapapun, tidak peduli anak-anak usia empat tahun.

Saran Anda untuk anak-anak yang belajar musik?
Petama, harus tahu dulu apa tujuannya belajar musik, apakah untuk serius atau hanya untuk senang-senang saja, atau untuk menjadi sebuah kebanggaan hidup, atau menjadi pilihan hidup masa depan. Itu harus ditentukan dulu karena akan mempengaruhi semua proses selanjutnya. Motivasinya apa? Kalau mau serius ya harus sabar, disiplin, tekun, dan mau mendengar pendapat orang lain

Menilik ke belakang dalam kehidupan Anda, dari masa kecil Anda belajar musik sampai sekarang, baik sebagai seorang ibu maupun guru piano, apa yang Anda rasakan?
Saya sangat mensyukuri dengan apa yang saya dapatkan sampai hari ini. Bagi saya semua ini seperti mimpi. Saya tidak pernah berpikir bisa sampai seperti ini sampai hari ini, dengan background saya di masa kecil dimana kehidupan orangtua saya susah, yang tidak punya penghasilan tetap. Ibu saya mencari nafkah dari menjahit baju, yang sering dimarahi kastemernya kalau jahitannya ada kesalahan, sampai-sampai saya trauma tidak mau jadi penjahit. Karena itu saya milih jadi pianis dan guru piano. Dan melihat anak-anak saya sekarang tiba saatnya untuk berjalan di kehidupannya sendiri, saya bersyukur bahwa telah memberikan sesuatu yang bukan saja menjadi bekal untuk kehidupannya, tetapi juga yang membuat mereka bahagia.

Sebagai pianis dan guru piano, apa pendapat Anda dengan piano Steinway?
Menurut saya, Steinway ini piano luar biasa. Kekayaan warna suaranya melampaui merek piano apapun. Dia bisa memberikan warna suara apapun yang dimaui pianis, yang menjadikan pianis bisa tampil lebih kreatif. Jika piano lain mungkin hanya menjangkau 10 atau 100 warna suara, Steinway tak terbatas. Apapun yang diinginkan pianis, Steinway menyediakannya. Piano Steinway adalah alat musik yang paling harmonis, unik, elegan, dan bergengsi. (*)

Article Bottom Ad