ALFRED SITUMORANG

253

Article Top Ad

MENYANDANG gelar insinyur teknik mesin, tapi memilih berkarier sebagai pianis dan pengajar. Ketika sadar bahwa di musik memerlukan pengetahuan dan gelar khusus, dia terbang ke Texas untuk belajar musik lebih dalam lagi, menanggalkan kariernya sebagai pengajar tetap di konservatory musik sebuah universitas, dan puluhan murid-muridnya. Alfred Situmorang menembus ketidakmungkinan demi dedikasinya di dunia yang telah membesarkannya: musik klasik. Berikut bincang singkatnya di Steinway Family Story

Bagaimana masa kecil Anda dan bagaimana Anda terhubung dengan musik?
Saya mulai belajar piano umur tujuh tahun didorong oleh mendiang mama untuk les privat dengan seorang guru. Mungkin karena dinilai saya punya bakat, bisa menangkap pelajaran dengan cepat, mama saya memasukan saya ke sekolah musik Midori, saat saya berusia sembilan tahun. Tiga tahun di Midori, saya pindah ke Pontianak karena papa pindah tugas ke Pontianak. Untungnya di Pontianak ada sekolah musik, sehingga saya bisa melanjutkan pelajaran musik saya. Di Pontianak sampai tahun 1988, lalu kami pindah ke Medan mengikuti kepindahan tugas papa. Di Medan saya melanjutkan di sekolah musik, sampai kelas dua SMA dan menyelesaikan semua pelajaran piano. Waktu kelas tiga SMA, saya pindah ke Bandung dan menamatkan SMA saya di SMA 8 Bandung. Nah waktu itu pianonya saya stop dulu karena mau menghadapi UMPTN, sampai saya kuliah di Institut Teknik Nasional atau Itenas Bandung dari 1994 hingga 2002. Jadi ada gap selama delapan tahun saya tidak belajar piano. Cuma main-main saja. Sempat main band, karena waktu itu Bandung jadi pusat musik pop dan rock, di samping Surabaya.

Apa yang mendorong Anda untuk belajar piano lagi?
Antara tahun 1999 ke 2000-an semacam peralihan. Saya tertarik ikut pelayanan di gereja Injil Indonesia Dago. Namanya juga ibadah tradisional gerejawi, konteks yang saya tekuni waktu itu ya saya harus main piano, mengiringi jemaat untuk memuji Tuhan dan paduan suara. Nah gara-gara mengiringi paduan suara ini saya seperti dipaksa untuk belajar lagi. Jadi sejak akhir 1999 itu saya kembali belajar piano lagi. Triger-nya ya gara-gara saya mengiringi paduan suara di gereja

Article Inline Ad

Bagaimana Anda memulai belajar piano lagi setelah sekian lama berhenti?
Waktu itu saya ketemu dengan satu guru yang waktu itu murid-muridnya banyak yang bikin konser di Melodia, Bandung. Nama guru ini Iswargia Reinaldi Sudarno alias Pak Lendi. Saya nggak tahu persis apakah tahun 2001 itu Pak Lendi baru pulang dari New York ya, tapi saat itu dia baru mulai membangun sekolah musiknya dan dari situ saya ketemu beliau dan melihat studionya, dan saya merasa wah… kayaknya saya mau belajar piano lagi nih. Tapi susah banget dapat jadwal pak Lendi hahaha…Nah sebelum ketemu pak Lendi, saya sempat ketemu dengan direktur paduan suara Swara Mahasiswa Parahyangan, kak Avip Priyatna. Kebetulan kak Avip punya waktu untuk saya, yang waktu itu saya pas mau lulus kuliah. Jadi seperti di borderline lah. Saya belajar sama kak Avip sekitar delapan bulan karena beliau sibuk banget dengan PSM Unpar-nya. Akhirnya saya dapat jadwal juga belajar sama pak Lendi, tapi juga hanya beberapa bulan saja karena saya diterima untuk mengajar di sekolah musik Yamaha dan saya pindah ke Jakarta. Sejak itu terpaksa bolak-balik Jakarta-Bandung belajar dengan pak Lendi, sampai Pak Lendi membuka Jakarta Conservatory of Music di Cipete tahun 2005-an. Nah waktu itu pak Lendi sudah banyak waktu di Jakarta, jadi saya tidak perlu lagi bolak balik ke Bandung. Tahun 2006 saya keluar dari Yamaha dan menjadi pengajar paruh waktu di Universitas Pelita Harapan, sambil tetap belajar dengan pak Lendi. Saya berhenti belajar dengan Pak Lendi setelah menjadi dosen full time di UPH.

Apa yang mendorong Anda belajar ke luar negri, padahal sudah jadi dosen tetap dan muridnya banyak?
Setelah saya menikah tahun 2005, setahun kemudian saya diterima sebagai pengajar di UPH. Waktu itu Pak Lendi menyarankan agar saya belajar lagi paling tidak setingkat S2, karena waktu itu saya kan non degree di musik. Waktu itu saya simpen dulu sarannya. Saya bilang ke pak Lendi, oke pak. Saya simpen dulu di kantong ya. Saya baru married nih, mesti nabung dulu hahaha…Nah beberapa bulan kemudian hal serupa disampaikan sama dekan musik UPH waktu itu, pak Johannes Nugroho, yang menyarankan hal yang sama. Beliau bilang, “kamu main sangat bagus, punya passion, but one thing you have to do is you must pursuit degree, keluar negeri”. Jadi sama nih, dua orang yang berbeda menyarankan hal yang sama. Harus belajar musik lagi secara formal, karena S1 saya kan di teknik mesin

Lalu apa yang Anda lakukan?
Ngumpulin duit dulu hahaha…..Agustus 2015 akhirnya kesampaian juga saya berangkat ke Texas setelah diterima di Southwestern Baptist Theological Seminary-School of Church Music & Worship, mengambil program S2 untuk Piano Performance & Pedagogy dan lulus Desember 2020 dengan gelar Master of Arts in Church Music (MACM) dan Master of Music (MM) in Piano Performance. Dan sejak Januari 2021 sampai sekarang masih menuntaskan program Doctoral of Musical Arts (DMA) in Piano Performance & Pedagogy. Proyeksi saya DMA ini tuntas di Desember 2024

Anda insinyur teknik mesin, kenapa memilih jadi pianis dan guru piano?
Bukannya saya nggak bersyukur ya dengan gelar akademis teknik mesin yang saya dapatkan. Betapapun saya menyukai bidang teknik mesin itu. Saya sempat magang di Krakatau Steel selama dua bulan. Saya menyukai bidang teknik ini karena logic, tetapi memang di sisi lain saya merasakan musik telah ada dalam diri saya sejak usia dini, jauh sebelum saya menguasai teknik mesin. Maka ketika saya berhenti belajar piano sejak 1994 hingga 2002, khususnya ketika saya bermain di gereja mengiringi jemaat dan paduan suara, ada kebutuhan untuk belajar lagi karena di musik piano itu selalu ada hal-hal baru. Di sisi lain, ada dua sosok yang terus terang, menginpirasi saya. Kak Avip dan pak Lendi. Dua sosok inilah yang memberi inspirasi dan motivasi di awal karier saya sebagai pianis maupun guru piano. Dan pada akhirnya, jika kemudian saya memilih musik, barangkali ini yang dinamakan jalan hidup hahaha…

Bagaimana orangtua Anda? Apakah tidak keberatan?
Ada sih sedikit pertentangan pada awalnya. Ini mungkin stereotip orangtua di Indonesia jaman dulu. Kuliah itu, kalau nggak jadi dokter ya insinyurlah atau ahli ekonomi. Biasanya berputar di tiga jenis ini. Karena saya diterima di Itenas, orangtua maunya saya di insinyur sajalah. Memang ada pertentangan walaupun pada akhirnya mereka bisa menerima dengan pilihan saya

Bagaimana meyakinkan orangtua terhadap pilihan Anda?
Secara khusus saya tidak pernah harus meyakinkan mendiang orangtua saya sedemikian rupa. Tetapi beliau sendiri yang saya kira melihat, terutama mendiang ibu saya, bagaimana passion saya di musik. Orangtua saya juga melihat bagaimana karier saya ketika pertama kali mengajar di Yamaha, dan selanjutnya di UPH dengan banyaknya murid-murid saya. Dengan kata lain, di musik saya sudah bisa menghasilkan uang, jauh sebelum saya lulus dari Itenas. Keyakinan orangtua itu mungkin muncul dengan sendirinya karena terbukti saya bisa menghasilkan uang, dan membiayai hidup saya sendiri dari musik. Bahkan mendiang papa saya akhirnya mendorong dan mendukung sekali ketika saya memutuskan untuk belajar di Amerika. Beliau bahkan mendanai saya pada awal-awal saya di Amerika. Sayangnya, waktu itu mama sudah meninggal

Akan kembali ke Indonesiakah jika lulus DMA-nya?
Wah ini kompleks ya hahaha…Tapi waktu tahun 2018 saya keluar dari UPH, saya bilang, ya kalau di sini ada pekerjaan, pingin balik juga sih. Saya sih santai saja hahaha…

Dibanding di Texas, bagaimana tantangan dan peluangnya berkarier di Indonesia?
Kalau di Amerika sistem pendidikan musik, khususnya piano sudah mapan. Sudah establish sejak seabad yang lalu. Sementara kita masih dalam tahap development. Jadi kalau saya lihat untuk konteks ke depannya, Indonesia bisa jauh lebih berkembang karena kita kan masih baru

Seandainya harus memilih, Anda lebih memilih berkarier di luar negeri atau di dalam negeri?
Saya akan lihat kesempatannya. Di Indonesia misalnya, kira-kira saya bisa berkarier apa, dan di Amerika saya bisa berkarier apa. Cuma kalau saya pikir sih kalau memang ada posisi untuk mengajar di Indonesia, saya sih tidak menutup kemungkinan untuk pulang ke Indonesia

Tetapi bagaimana Anda menghadapi persaingannya? Karena kan banyak juga yang bermain di ceruk yang sama.
Satu hal ya, kita, atau saya dan kolega-kolega saya, menekuni satu instrumen yang sama. Buat saya pribadi, penting bagi saya menemukan satu atau lain hal yang membuat saya berbeda walaupun menekuni instrumen yang sama. Kalau boleh saya ambil satu perbedaan saya ya, saya menekuni piano klasik dan musik gerajawi pada saat yang sama. Kedua hal ini membuat saya, in my opinion ya, saya bisa cukup fleksibel. Saya bisa masuk ke dunia musik klasik, kemudian saya juga bisa masuk ke dunia musik gereja yang juga berbeda. Dua lingkungan yang lain. Saya juga suka menjadi collaborative pianist. Suka mengiringi ensambel, main di band, mengiringi paduan suara. Semua itu banyak memberi saya kesempatan. Sebagai pianis professional, being versatile itu luar biasa. Kita bisa menemukan banyak kesempatan dan komunitas-komunitas lain dimana kita bisa contributing. Saya kebetulan suka berhubungan dengan orang-orang, masuk dalam komunitas-komunitas, dan sejenisnya

Sebagai musisi, apakah Anda pernah merasa cemas dengan masa depan profesi Anda?
Jika ada kecemasan yang paling terasa mengerikan bagi saya adalah ketika covid outbreak hahaha… Jujur saja tingkat kecemasan saya paling besar itu sekitar April sampai Desember 2020. Mau ngajar nggak bisa. Konser nggak bisa. Padahal aktivitas utama saya kan disitu. Kalau kedua aktivitas itu ketutup, waduh…ini gimana nantinya. Dapur kan mesti ngebul hahahaha….

Sebagai musisi yang juga sedang belajar, apa saran Anda untuk anak-anak muda kita yang saat ini sedang belajar dan merintis karier di musik?
Yang pertama adalah be open minded for everything. Pikiran kita harus terbuka dengan segala hal. Dasar saya adalah begini. Pasca covid, merubah semua cara kita bermusik. Saya kira ini disadari banyak orang, di bidang apapun, termasuk di musik. Jadi kalau kita bersikap tertutup, saya hanya akan melakukan satu ini saja misalnya, wah..itu kita akan repot ke depannya. Dengan berpikiran terbuka, kita akan melihat banyak kemungkinan untuk mengerjakan hal-hal yang lain tentunya tanpa meninggalkan our primary skill and ability. Oke kita menekuni piano, tapi piano klasik ini bisa berkolaborasi dengan banyak kemungkinan. Yang kedua, tekuni piano dengan sungguh-sungguh, karena dengan teknik yang dikuasai, kalian bisa masuk ke segala lingkungan. Kalian bisa main di band, di gereja, mian di ensembel, dan masih banyak lagi. Kuasai teknik piano klasik ini setinggi-tingginya karena dengan kesiapan teknik yang baik, akan membuat kalian terpakai dimana saja. Jadi, tetaplah tekun ya karena kalian tidak akan tahu kesempatan mana yang akan kalian dapati pada saat kalian memiliki kesiapan teknik dan musikal pada saat kalian dewasa

Tentang piano, bagaimana pandangan Anda terhadap Steinway Piano?
Steinway piano ya? Wow, ini piano terbaik dari yang terbaik hahaha…, terutama tone-nya. Steinway ini piano yang tone-nya paling stabil. Kekayaan warna suaranya benar-benar mengagumkan. Steinway juga piano yang paling banyak diginakan di konservatori-konservatori di dunia. (*)

Article Bottom Ad