KHAYAL

48

Article Top Ad

APA modal utama seseorang untuk menjadi seniman? DAYA KHAYAL. Seni apapun yang anda geluti dan tekuni, semuanya membutuhkan daya khayal atau imajinasi. Daya khayal ini merupakan satu energi positif yang mendorong kreatifitas anda.

Meskipun Anda berhadapan dengan sesuatu yang nyata, Anda tetap membutuhkan khayal untuk menuangkannya dalam sebuah karya seni. Sebagai sebuah energi positif untuk berkreasi, khayal ini tentu baik-baik saja. Tidak ada yang salah dengan khayal, daya khayal dan berkhayal, karena kesemuanya itu berbeda dengan halusinasi yang sampai pada batas tertentu bisa menjadi sangat berbahaya.

Khayal inilah yang menjadikan seni, apapun itu sebagai obyek telaah, bahan diskusi, sekaligus rona kehidupan yang tiada henti dan tiada pernah habis untuk dibicarakan. Dalam ranah sastra misalnya, Samuel Beckett membuat karya Waiting for Godot. Menunggu si Godot. Siapa Godot?

Article Inline Ad

Ternyata ia adalah tokoh khayal. Dan dalam naskah sampai akhir si Godot ini tak dimunculkan sama sekali. Hebatnya, daya khayal samuel Beckett juga mampu membuat pembacanya untuk juga berkhayal. Tentu tentang tokoh Godot ini. Pembaca dibuat berkhayal dengan liar tentang seperti apa tokoh Godot ini.

Dalam karya seni lukis juga khayal adalah daya hidup lukisan itu sendiri. Bahkan ketika seorang pelukis potret berhadapan dengan seorang model, ia tetap harus berkhayal. Ia harus mampu berimajinasi tentang seberapa dan bagaimana pencahayaan. Mana yang perlu diarsir dengan tebal dan mana yang hanya perlu sapuan saturasi sederhana.
Hal semacam ini bukan semata masalah teknik melukis. Melainkan bagaimana mensublimasi teknik untuk memberi daya hidup pada lukisan itu sendiri. Dan tentu, meski obyeknya hidup dan terpampang di hadapannya, seorang pelukis potret perlu mengembangkan daya khayal misalnya untuk sedikit mengubah morfologi bibir. Memberi sentuhan pada pipi dan lain dan sebagainya.

Satu hal yang penting dipahami dengan seksama dan secermat-cermatnya, adalah bahwa dalam ranah seni, khayal itu memiliki konsep. Khayal dalam seni bukanlah seperti Anda membayangkan obyek masturbasi. Bukan seperti Anda berkhayal tentang pembalasan Anda terhadap mantan yang mempersekusi dan menyakiti hati sanubari Anda.

Dalam ranah seni, khayal berada dalam demarkasi antara teknik dan daya hidup obyek. Dan jika Anda mempelajari seni secara akademik, sebetulnya Anda juga dilatih tak hanya soal teknis, pengetahuan, pengalaman, melainkan juga daya khayal Anda turut diasah hingga terasah. Dan itu adalah hakekat pembelajaran seni dalam kesejatiannya.

Schubert Winterreise
Lalu bagaimana dengan musik? Ya begini. Kita ambil contoh saja Song Cycle dari Schubert. Winterreise. Salah satu bagiannya adalah Der Leiermann. Saya sangat suka bagian ini karena membangkitkan daya khayal saya akan sesuatu yang absurd. Aneh. Menakutkan, miris dan agak horror.

Bayangkan: Plot-nya itu sepasang kekasih yang pisahan, kemudian plot itu terputus dan munculah seorang pemain organ putar yang naik seperda sambil digonggongin anjing. Miris, absurd dan aneh. Apa maksudnya kok plot nya tiba-tiba diputus dan muncul pemain organ. Digonggongin anjing pula. Dan pendengar seperti diajak untuk berkhayal tentang suasana abad pertengahan. Bangunan dan suasana Eropa yang muram, gelap, tiba tiba pemain organ yang dalam bayangan saya adalah seorang renta, naik sepeda, memainkan organnya, sambil digonggongin anjing. Hitam. Pekat, gelap.

Schubert menggubah Der Leirmann berdasarkan karya sastra dari Johann Ludwig Wilhelm Müller. Coba sejenak kita pikir. Bagaimana bisa Schubert memilih nada nada untuk menggambarkan lanskap peristiwanya. Tidak lain tidak bukan karena Schubert memiliki khayal musikal yang luar biasa. Tanpa khayal yang luar biasa, Der Leirmann mungkin hanya akan berupa lagu picisan yang menjijikan.

Bagaimana daya khayal Schubert menghubungkan begitu banyak aspek afektif sehingga pendengarnya bisa turut berkhayal akan sebuah lanskap situasi. Sampai disini mungkin anda akan rame rame menghadik. Lho kalo begitu, mendengarkan musik itu berkhayal, Pak? Ya. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Ingat. Berkhayal dalam seni tidak sama dengan berhalusinasi dan tidak sama dengan lamunan cabul! Khayal dalam seni adalah “mengolah fiksi yang bukan fiktif”!

Johann Sebastian Bach
Berikutnya tentu adalah tentang Bach. Begitu banyak orang mengatakan bahwa semasa hidupnya Bach adalah pemain keyboard (orgel, harpsichord, cembalo, claviercembalo dan ini itu) yang sangat hebat. Seberapa hebat sih Bach? Tidak ada yang tahu. Zaman Bach belum ada rekaman. Belum ada video. Yang ada hanya catatan-catatan tulisan dari mereka mereka yang pernah lihat Bach main. Kata “hebat” ini menjadi sangat penting.

Sesuatu yang hebat di satu era, belum tentu hebat juga di era yang lain. Contoh: Sonny Liston adalah petinju terhebat di masanya. Apakah kehebatannya disa disepadankan dengan kehebatan Mike Tyson di masa kini? Ini persoalan. Karya Bach memang luar biasa, Namun apakah Bach lebih hebat dari para Maestro Musik Orgel jaman sekarang? Ini juga persoalan. Darimana para musikolog memproklamirkan kehebatan main Organnya Bach? Ya dari khayal, lalu menjadi rekayasa, tapi berdasarkan catatan-catatan yang secara akademik bisa dipertanggung jawabkan.

Yang menggelitik lagi soal Bach ini adalah: banyak pemusik hebat yang mengatakan bahwa bagi Bach, “articulation is detached”. Anda akan dilaknat dan dicaci maki habis-habisan jika Anda memainkan Menuet- nya Bach dengan cara legato. Harus Detached, agar tajam tapi bukan Staccato. Nah lho. Persoalannya, darimana para musikolog bisa mengklaim hal semacam itu?

Kalau Anda membaca score Menuet G Major- nya Bach, nggak ada tuh petunjuk untuk main Detached. Jawabannya, lagi- lagi khayal, merekonstruksi, berdasar tafsir literasi. Itu jawabannya. Sampai disini, terbersit satu simpul. Bahwa khayal dalam seni juga merupakan spekulasi berdasar tentang tafsir satu karya. Hal ini membawa satu konsekuensi yang sebetulnya luar biasa serius.

Tidak pernah da satu ahli musik pun yang benar absolut tentang interpretasi karya. Terus Anda akan rame-rame bawa air mineral botol sambil menghardik, ”Bagaimana dengan ujian musik, Pak? Kan katanya nggak ada satu pun ahli yang mutlak benar. Kok dalam ujian musik pesertanya seperti dihakimi, Pak?”.

Begini. Ujian musik itu kan ranah akademis yang harus ada standarisasi dan standardisasinya. Tanpa itu, tak akan ada penetapan point. Nah standarisasi dan stadardisasi itu berpedoman pada rekonstruksi daya khayal berbasis data akademik. Begitu.

Jacques Offenabch
Salah satu karya Jacques Offenbach adalah Can Can. Sangat terkenal. Yakin deh Anda kalau dengar pasti kenal. Can Can ini bagian dari Suita Offenbach tentang makhluk makhluk peri dari Dunia bawah Tanah. Lho… Apakah ini musik anak-anak? Oh Tidak. Sama sekali tidak. Offenbach mendemonstrasikan khayal terhadap realita.

Dunia bawah tanah dengan peri-peri adalah khayalan Offenbach, namun dari khayalnya itu Offenbach ingin menyampaikan misteri tentang realita orang di zamannya termasuk representasi perilaku masyarakat di jamannya. Sebuah perwujudan daya khayal yang luar biasa. Dan preposisi Offenbach ini juga memantik daya khayal rekonstruktif dari para musikolog yang menafsir. Apakah tafsirannya ada yang benar? Tidak. Yang lebih tepat bukan tafsirannya ada yang benar, melainkan tafsiranya ada benarnya. Susah ya? Makanya berkhayalah.

Yang tak kalah menariknya adalah kiprah komposer Carlo Domeniconi. Ia membuat karya untuk satu gitar dawai nilon yang kemudian menjadi musik yang melegenda. Sebuah Suita. Koyunbaba. Ini adalah bahasa Turki. Koyun artinya Domba. Baba adalah Bapa. Nah di kata Bapa inilah daya khayal berkutat dengan manis. Bapa dalam budaya Turki dimaknai bukan seperti bapak kandung. Baba dalam bahasa Turki adalah tokoh panutan spiritual.

Jadi pemain diberi dan malah dituntut untuk memiliki daya khayal. Seperti apa tokoh Baba itu. Sejauh mana batin si pemain pernah terimbas oleh aneka pengalaman spiritual. Khayal ini jelas mempengaruhi penafsirannya. Koyunbaba tak sekedar pameran teknik orang main gitar. Lebih dari itu. Koyunbaba adalah khayal yang sublim bermeditasi melalui sebuah gitar.

Beethoven’s Fur Elise
Batas antara khayal dan faktual memang seringkali kabur. Für Elise karya Beethoven misalnya. Apakah Beethoven mengkhayalkan seorang perempuan? Apakah memang ada sosok perempuan kemudian Beethoven membumbuinya dengan daya khayal luar biasa yang tertuang dalam nada nada musikal? Tak ada yang tahu pasti. Namun Für Elise menjadi salah satu karya terpopuler dari Beethoven sekaligus karya yang paling ikonik.

Karya tersebut tergolong karya miniatur, dibandingkan dengan karya-karya Beethoven lainnya yang terkesan begitu akbar. Namun justru dalam miniatur inilah, daya khayal penyaji dipertaruhkan. Khayal pemain harus dapat menjembatani romantisme khas Beethoven dan tidak terjebak untuk mendayu-dayu bak Chopin.

Setelah kita bertutur tulis panjang lebar kesana kemari, benang merah nya adalah satu simpulan. Bahwa khayal tak cuma untuk komposer. Khayal juga mutlak diperlukan bahkan dituntut dari seorang penyaji musik. Dalam hal ini tentu termasuk pianis-pianis dan pemusik-pemusik belia.

Lalu pertanyaannya, jika dalam usia anak-anak mereka sudah asyik masyuk dalam ranah khayal, apakah perkembangan psikis nya tak akan terganggu? Jawabannya bisa Ya dan Tidak. Bergantung pada peran gurunya.Seorang guru musik yang layak, tak akan membiarkan siswanya berhalusinasi. Ataupun melamun tanpa arah.
Guru musik sejati akan membimbing dan bahkan mengasuh siswanya untuk mengembangkan daya khayal dan memposisikannya sebagai sebuh organum energi kreatif atas nama keluhuran jiwa manusia. (*)

Penulis: Michael Gunadi Widjaja (Pemerhati Musik)

Article Bottom Ad