DR. KLAUS KRISTIAN NUGRAHA Doktor Piano Termuda

956

Article Top Ad

 

‘FOCUS ON THE MUSIC AND LESS ABOUT THE INDIVIDUAL’

Meraih gelar doktor di bidang Piano Performance dalam usia 27 tahun, Klaus Kristian Nugraha, boleh jadi adalah doktor di bidang piano performance termuda dari Surabaya. Lahir dari keluarga pengajar musik, Klaus mengawali belajar musiknya tanpa pretensi apapun. Nyaris tanpa arah dan tujuan yang jelas, sampai sebuah kesadaran menggedor ke ‘aku’an-nya. Berikut penuturannya di Steinway Family Story

Article Inline Ad

Bisa diceritakan bagaimana perjalanan bermusik Anda?
Saya lahir di Surabaya dan memulai belajar piano di bawah bimbingan kedua orangtua saya, Ms. Caecilia Wangga dan Prof. Dr. Jusak Nugraha. Saya juga belajar dengan madam So Kim Wie dari Malang, yang juga merupakan guru bagi kedua orangtua saya, mengajarkan saya piano selama kurang lebih 8 tahun sebelum melanjutkan pendidikan di National University of Singapore. Lulus dari NUS, saya melanjutkan ke program Master di New England Conservatory of Music di Boston. Saya dinominasikan almmater saya The University of Kansas sebagai Outstanding Graduate Teaching Assistant di akhir tahun 2020. Di tahun yang sama saya mendapatkan gelar doktoral dari sekolah tersebut dengan predikat Dissertation Honors. Dalam beberapa tahun terakhir ini saya mendapat awards dari beberapa kompetisi di luar negeri yaitu International Young Artist Piano Competition di Washington, Pitssburg State Concerto Audition di Kansas, Conero International Piano Competition di Italia, dan juga Chamber Music Prize dari Zodiac Academy and Festival di Perancis. Di tahun 2014, saya juga mendapatkan award Indonesia Presidential Scholarship dari presiden Susilo Yudhoyono. Di samping piano dan musik klasik, saya banyak menghabiskan waktu menekuni penulisan lagu di bidang teater musikal. Karya musikal terakhir yang saya buat bersama rekan-rekan dari Perhimpunan Indonesia NUS dipremierkan di tahun 2017 di National Library Theatre di Singapura. Sebelumnya, musikal saya berjudul Echoes of The War Drum diproduksi oleh Raffles Hall of NUS mendapat Silver Award dari NUS Student Achievement Award di tahun 2015.

Bagaimana Anda terhubung dengan piano?
Saya belajar musik mulai umur 4 tahun. Karena kedua orangtua saya guru musik, jadi secara natural beliau mengenalkan musik ke saya dan kakak saya sejak kecil melalui kursus musik anak atau KMA di Yamaha, dimana mama saya adalah pengajar KMA. Sesungguhnya saya pribadi sih tidak begitu tertarik dengan musik. Tidak punya minat dan motivasi belajar musik, bahkan saya sangat membenci musik. Tapi karena dipaksa orangtua, ya sudah ikut saja. Termasuk ikut lomba-lomba piano, tapi waktu itu saya benar-benar tidak peduli, mau menang atau kalah, bodo amat. Benar-benar saya tidak punya interes di musik kecuali mengikuti kemauan orangtua saja

Lalu apa interes Anda pada masa kecil itu?
Main game dan sepak bola hahaha…Saya ingat betul waktu itu tahun 2002 pas ada World Cup, saya lagi senang-senangnya dengan sepak bola, sampai kebun di belakang rumah, saya jadikan lapangan bola, main dengan kakak saya, Hans. Begitu senangnya dengan sepak bola, sampai-sampai guru piano saya yang dari Malang, madam So Kim Wie bilang, sudahlah Klaus kamu berhenti saja main pianonya, kamu cocoknya jadi pemain bola hahaha…Untungnya beliau terus mengajar saya sampai delapan tahun.

Sejak kecil lebih tertarik bola dan game. Bagaimana dengan pianonya?
Les piano jalan terus sih, cuma ya gitu. Tidak ada arahnya walaupun tetap belajar karena kedua orangtua saya kan juga guru piano. Jadi mereka tidak ingin anaknya jelek-jelek amat mainnya. Jadi sebenarnya motivasi dari diri sendiri tidak ada sih. Ini beda dengan kakak saya yang lebih tekun dan banyak memenangkan lomba piano, bahkan sampai tingkat nasional. Orang juga bilang, kakak saya lebih talented dibanding saya.

Apa yang menjadi titik balik Anda sampai kemudian menekuni piano?
Hanya beberapa tahun terakhir sebelum menamatkan SMA, kira-kira saat kelas dua atau tiga SMP, saya mulai serius dengan piano. Pemicunya mungkin karena saat itu kakak saya membuka jalan buat saya dengan banyak mengajak nonton CD recording. Juga ayah saya yang banyak mengkoleksi CD recording, di samping seringnya saya nonton Youtube yang akhirnya membuat saya jadi mengenal musisi legendaris seperti Arthur Rubinstein, Mitsuko Uchida, Krystian Zimerman, Lang Lang dan Li Yundi. Semua itu membuka wawasan saya, dan saya berpikir wow… ternyata musik itu tidak sesederhana yang saya pikirkan. Tidak sebatas ujian dan lomba-lomba saja. Tidak sekedar performance saja. Pemicu kedua mungkin karena persaingan antar saudara hahaha….

Maksudnya?
Saya ini dua bersaudara. Dengan kakak saya, Hans, jarak usia cuma setahun. Sejak kecil saya melihat kakak saya memang kelihatan lebih talented sih, lebih tekun, serius dan banyak menang di lomba piano. Sementara saya ya gitu-gitu saja. Makanya guru piano saya, ngajar saya tahunya karena saya saudaranya Hans hahaha… Bukan karena saya cemerlang atau berprestasi. Nah waktu lulus SMA, ternyata kakak saya tidak meneruskan ke musik, tapi ke kedokteran. Jadi saya ada merasa wow…ini harus ada yang nerusin mama dan papa saya. Apalagi mama dan papa saya seungguhnya memang menghendaki saya untuk meneruskan ke musik dan harus jadi terbaik. Nggak boleh kalah sama kakak saya hahaha…

Adakah kesadaran lain yang memotivasi Anda untuk akhirnya memutuskan berkarier di musik?
Ya…pada akhirnya saya tidak bisa berkelit dari kenyataan bahwa saya telah mengenal dan belajar musik sejak saya masih kecil. Terlalu naïf bila kemudian menganggap semua yang sudah saya pelajari itu seolah menjadi tidak bermakna bagi saya, hanya karena saya merasa tidak tertarik. No. Itu terlalu egois. Saya juga menyadari bahwa saya harus menyelamatkan investasi yang sudah begitu banyak dan lama, yang ditanamkan kedua orangtua saya untuk saya di musik. Dan lebih dari itu, saya juga tidak ingin mengecewakan orangtua saya, dimana banyak orang yang tahu bahwa mama dan papa saya adalah guru piano. Itu menggedor kesadaraan saya dan memotivasi saya untuk akhirnya menekuni musik. Saya harus berhasil di musik karena keberhasilan saya juga merupakan keberhasilan kedua orangtua saya. Reputasi saya, juga reputasi orangtua saya. Apalagi hingga saat ini beliau berdua masih berkecimpung di dunia yang sama dengan saya.

Bagaimana Anda bisa belajar di luar negeri?
Saya lolos audisi dan mendapatkan beasiswa penuh untuk program S1, Bachelor’s of Music dari Yong Siew Toh Conservatory of Music, National University of Singapore. Semasa SMA dulu pernah terpikir, jika tidak lolos seleksi Yong Siew Toh Conservatory berarti kemampuan musik saya memang kurang dan artinya mungkin talenta saya bukan di bidang itu. Bahkan saya tidak mendaftar ke sekolah-sekolah lainnya untuk bidang musik di tahun itu. Saya juga sudah berencana untuk melanjutkan pendidikan saya di bidang science karena saya sempat menjuarai olimpiade fisikia di ITS Surabaya tahun 2009. Alhamdulilah bukan itu yang terjadi. Because I still get excited from listening to and practicing music each day.

Dengan siapa Anda belajar dan bagaimana kesan belajar di luar negeri?
Di Yong Siew Toh Conservatory, guru saya adalah Professor Albert Tiu. Di New England Conservatory, Professor Victor Rosenbaum. Dan Dr. Jack Winerock di University of Kansas. Yang paling berkesan selama belajar di luar negeri adalah saya terekspos oleh standar bermusik yang luar biasa tinggi dan juga terekspos oleh genre musik di luar piano terutama symphony orchestra dan chamber music. Semasa menjadi pelajar di NEC, saya hampir tidak pernah kelewatan untuk menyaksikan konser mingguan dari Boston Symphony Orchestra yang gedungnya terletak hanya beberapa langkah dari sekolah saya. Di Amerika Serikat, guru-guru saya selalu meng-encourage untuk belajar banyak lagu baru. Kalau tidak ada competition atau recital, biasanya guru saya hanya mendengarkan sekali setiap lagu baru dan kemudian dipentaskan di studio class sesegera mungkin. Tentunya ekspetasi artistiknya juga tinggi. Lagu-lagu baru yang saya bawa setiap minggu sudah dihafal dan dipelajari dengan detail. Dalam kurun waktu satu tahun kita bisa mengcover kurang lebih 120 minutes of music.

Bagaimana pandangan Anda terhadap cara guru-guru di luar negeri dalam mengajar piano, dan bagaimana Anda membandingkannya dengan guru-guru di Indonesia?
Ada banyak perbedaan pendekatan mengajar dan saya sempat ragu-ragu untuk menggeneralisasi. Guru-guru saya memberi feedback dan memotivasi dengan cara yang benar sehingga saya cukup percaya diri dalam kemampuan belajar serta bermusik saya. Pada dasarnya mereka critical listeners, namun mereka juga open to persuasion. Mereka mendorong saya ke level permainan di mana the younger version of Klaus Nugraha tidak pernah bermimpi untuk mencapai. Perbedaan utamanya adalah ketika di luar negeri saya berada di environment dimana rekan-rekan di sekitar saya juga mengejar hal yang sama. Ini berarti lingkungan itu kompetitif, tetapi juga secara mengejutkan mendukung dan baik hati. Kami sering bermain dan saling memberi umpan balik. Semasa kecil saya di Surabaya, saya dan kakak saya, yang juga seorang pianis namun sekarang dokter Ortopedik di Denpasar, lebih banyak bersaingnya daripada saling mendorong untuk sama-sama sukses hahaha…

Kapan Anda kembali ke Indonesia, apa yang dilakukan dan bagaimana Anda melihat peluang berkarier di Indonesia?
Saya kembali di Indonesia sejak akhir 2020. Alasan utamanya adalah keinginan untuk tinggal berdekatan dengan keluarga dan berkarir di tanah air. Saat ini saya lebih banyak mengajar disamping membuat proyek musikal. Saya juga sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti beberapa kompetisi secara online, recording, memberikan seminar dan menjadi juri. Tentang peluang berkarir di Indonesia, menurut saya peluangnya cukup besar. Beda utamanya adalah gaya hidup serta jenis kegiatan kreatif yang perlu dilakukan seseorang untuk memajukan kariernya. Saya tidak punya data pastinya tapi bedasarkan observasi peluang di dunia musik Indonesia tergolong sangat besar karena factor demografi penduduk, orientasi budaya, dan kemajuan teknologi. Itu akan memperbesar market share classical music di tanah air, baik di segi pendidikan maupun performance

Belajar musik adalah proses panjang dan melelahkan. Bagaimana Anda mengatasi kejenuhan dalam proses itu?
Sebagian orang mungkin memilih pergi jalan-jalan, makan di luar bersama, atau rekreasi. Saya lebih memilih mencari inspirasi baru. Bagi saya itu mengasyikan dan memberikan motivasi

Apa rencana Anda ke depan?
Setelah Steinway Concert Series yang live di Youtube pada 11 Maret 2022, saya saat ini sedang mendesign seminar untuk Steinway Enrichment Session, juga untuk House of Piano. Harapannya, seminar ini bisa di launch dalam jangka waktu dekat untuk kita semua. Di samping itu saya juga ingin merecord solo album dan juga membantu perkembangan talenta musik Indonesia serta membersarkan studio saya di Surabaya (@jncmusicentre).

Apa pesan Anda untuk anak-anak muda kita yang saat ini sedang belajar musik?
Focus on the music and less about the individual. Tidak perlu bandingkan diri kamu sama orang lain, yang penting kamu fokus konsentrasi dan energi kamu untuk mengasah, memperdalam skill kamu. So long as you take care of the music, music will take care of you.

Sebagai pengajar dan performer, bagaimana Anda melihat piano Steinway?
Steinway is a great piano. The best piano in the world! Meskipun banyak merek piano baru bermunculan, Steinway tetap merek yang paling established. Produsen piano itu banyak, tapi tidak ada yang reputasi dan kualitas-nya lebih prestige dari Steinway. (*)

Article Bottom Ad