Adhi Jacinth Tanumihardja

272

Article Top Ad

“KERJAKAN DENGAN SEPENUH HATI”

PERNAH menjadi tukang angkat barang orang pindah rumah, pernah kerja di toko besi, bekerja part time di lembaga lingkungan hidup, semua dijalani Adhi Jacinth Tanumihardja demi membiayai hidupnya di Jerman. Semua dikerjakan Adhi dengan sepenuh hati, sampai ia menemukan dirinya menjadi pianis “langka”: pianis yang khusus memainkan karya musik Barok dengan instrumen musik abad ke 17 sampai abad 19. Berikut bincang singkatnya di Steinway Family Story

Bagaimana masa kecil Anda dan bagaimana Anda terhubung dengan musik?
Saya lahir bukan dari keluarga musisi dan tidak ada latar belakang musik sama sekali di keluarga saya. Saya sendiri anak paling kecil dari dua bersaudara. Saya dan kakak laki-laki saya. Sebenarnya saya punya kakak perempuan juga, tetapi meninggal sebelum saya lahir. Jadi saya nggak sempat ketemu sama kakak perempuan saya itu. Saya dikenalkan dengan musik oleh papa melalui alat musik organ atau electone di rumah. Papa bisa main sedikit-sedikit sih dan tahu kalau tuts do itu letaknya dimana. Ya cuma gitu-gitu saja sih, bisa main sedikit-sedikit, tapi itu memicu kesenangan dan gairah saya waktu masih kecil untuk bisa main seperti papa. Lalu saya belajar organ, dan dari situ saya mulai senang. Sempat juga ikut kompetisi-kompetisi electone. Lalu setelah sekian lama di organ, saya disuruh belajar piano oleh guru organ saya. Jadilah saya ikut les piano. Waktu itu sebenarnya cukup terlambat main piano sih karena waktu itu saya udah berumur 12 tahun. Nah disitu saya senang sekali main piano, sehingga saya putuskan pergi ke Jerman untuk kuliah piano, waktu umur 17 tahun

Article Inline Ad

Dengan siapa saja belajar pianonya?
Waktu itu pertama dengan seorang guru di dekat sekolah saya di Bandung, lalu saya belajar dengan almarhum Yazeed Djamin selama kurang lebih dua tahun, sebelum akhirnya dapat rekomendasi untuk belajar ke Iswargia R. Sudarno atau kak Lendi, salah satu guru yang banyak menginspirasi saya.

Jadi sejak Anda kecil, orangtua sudah mengarahkan Anda untuk mendalami musik?
Mendalami musik hanya sebagai hobi saja sih iya. Waktu saya bilang saya ingin kuliah musik di luar negeri, itu mereka khawatir, ini nanti gimana nih kalau kuliah musik? Bisa cari uang apa nggak? Bisa cari makan nggak dari musik hahahaha…. Jadi sebaiknya musik itu ya hanya buat hobi saja. Wajar sih pemikiran orangtua generasi yang lalu. Itu 20 tahun lalu. Mereka belum memikirkan bahwa Indonesia itu begitu besarnya, potensinya juga luar biasa besar, dan juga jumlah orang yang membutuhkan pelajaran piano maupun instrumen lain, itu banyak sekali, sementara di sisi lain gurunya sedikit sekali. Mereka belum sampai kesitu pemikiranya. Tapi akhirnya orangtua saya mendukung saya untuk ke luar negeri, walaupun waktu itu mereka bilang, “kita paling bisa dukung cuma satu tahun, habis itu Adhi harus cari pemasukan sendiri. Kalau tidak, ya kita nggak bisa”. Wajar sih karena waktu itu Indonesia kan sedang krisis ekonomi. Tahun 2002 ya. Itu kan ekonomi lagi berat-beratnya. Indonesia masih terpuruk waktu itu.

Jadi juga dong akhirnya studi ke Jerman. Mengapa memilih Jerman?
Pertama, Jerman itu salah satu pusat kebudayaan musik klasik. Semua akses ke musik klasik dan kesempatan berkarier tersedia. Kedua, kuliah musik di Jerman itu gratis, sehingga saya bisa punya kesempatan untuk cari pekerjaan part time, dan dari kerja part time itu cukup untuk bisa membiayai keperluan sekolah dan biaya hidup di Jerman karena nggak harus bayar uang semester. Jadi saya bisalah menghidupi diri sendiri walau sederhana sekali. Saya juga dapat beasiswa dari Rotary Club Jakarta, dan itu sangat membantu sekali karena bisa menutup untuk biaya sewa kamar kos. Untuk kebutuhan makan dan lain-lain, itu saya dapat dari kerja part time

Kerja apa saja?
Pertama saya pernah kerja jadi tukang mindahin barang orang-orang yang pindah rumah, seperti ngangkut-ngangkut mebel, perabot rumah, dan sebagainya. Saya juga pernah kerja di toko besi yang cukup besar di Jerman, tugasnya ngitungin barang inventaris, kerjanya mulai jam 10 malam sampai subuh. Saya pernah juga kerja part time sebagai pekerja kantor di lembaga lingkungan hidup, bertahun-tahun bertugas di bagian keuangan, sampai saya hampir lulus kuliah. Senyampang kerja part time, lama-lama saya juga dapat murid, satu, dua, dan akhirnya lumayan banyak sehingga saya tidak tergantung lagi dengan kerja part time di kantor, dan tentu saja honornya jauh lebih besar daripada kerja part time, sehingga cukuplah untuk keperluan hidup saya

Kerisauan seperti apa yang Anda rasakan saat harus berjuang membiayai hidup sendiri di negeri orang
Kerisauan terbesar adalah bagaimana bila saya tidak bisa mendapat penghasilan yang cukup untuk membiayai hidup saya sendiri di Jerman. Kenyataan bahwa saya tidak punya saudara di Jerman, dan juga tidak mungkin meminta bantuan orang lain, membuat saya berpikir bahwa bagaimanapun juga sayalah yang harus membiayai hidup saya sendiri. Kalau tidak bisa, ya bagaimana? Kalau dari sisi orangtua sih mungkin, ya kalau sudah tidak mampu, pulang saja dan kuliah di Indonesia. Kebetulan di Indonesia saya juga dapat beasiswa untuk kuliah informatika di Binus karena waktu SMA saya memenangkan kompetisi informatika Binus. Jadi kerisauan terbesar saya adalah bagaimana seandainya saya tidak bisa membiaya hidup sendiri. Sehingga, saya harus berusaha agar bisa menyambung hidup di Jerman

Apa yang menguatkan Anda tetap bertahan di Jerman?
Karena saya cinta musik, dan kebulatan tekad saya karena saya ingin kuliah sampai selesai. Jadi saya harus berusaha bagaimana caranya untuk bisa kuliah hingga selesai

Pernahkah mengalami kegamangan saat Anda memutuskan musik sebagai mata pencaharian Anda? Misalnya, bisa nggak nih hidup dengan musik?
Pertama-tama memang ada kegamangan seperti itu sih. Waduh, bisa nggak nih saya, karena yang les piano itu kan banyak sekali, yang kuliah piano juga banyak, lulusan perguruan tinggi piano juga banyak sekali, bagaimana nih saya. Tapi pada akhirnya perasaan-perasaan itu saya singkirkan pelan-pelan. Saya berjuang terus, dan melakukan dengan sepenuh hati apa yang menjadi keputusan saya. Itu prinsip yang saya pegang, dan rupanya selalu menemukan jalan. Saya percaya kalau ada kebulatan tekad dan dikerjakan dengan sungguh-sungguh, itu pasti kita akan menemukan jalan. Dan karena cinta saya hanya kepada musik, jadi mau tidak mau saya harus tetap di jalan ini, apapun yang terjadi

Bagaimana perjalanan belajar Anda di Jerman?
Saya masuk ke Jerman tahun 2002, belajar piano mengambil “Diplom Musiklehrer” atau setara dengan Master di Freiburg dengan titik berat sebagai pendidik, dan lulus tahun 2007. Di tahun itu pula saya melanjutkan program piano di Stuttgart mengambil “Diplom Kunstlerische Ausbildung” atau setara dengan Master dengan titik berat sebagai pianis konser, dan lulus tahun 2009. Lulus dari situ saya kembali ke Freiburg mengambil gelar Master of Music untuk alat musik Harpsichord dan lulus tahun 2011. Selepas itu saya mengambil program Advanced Studi atau post-graduate untuk Hapsichord di Freiburg juga, dan selesai tahun 2012. Senyampang mengambil program post-graduate, saya mengajar di sekolah musik Freiburg sebagai guru honorer, dan sejak 2013 sampai sekarang menjadi guru tetap untuk piano dan harpsichord di sekolah musik kota Freiburg.

Bagaimana dengan kegiatan konsernya?
Jalan terus. Selain mengajar, saya juga menggelar konser secara rutin. Kalau dulu konser saya untuk musik-musik kontemporer dari Messiaen, Ligeti, Cage, Carter dan Stockhausen, tapi makin ke sini, dan karena saya juga kuliah harpsichord juga, konser-konser saya lebih banyak ke musik Baroque. Tahun 2022 lalu saya memberikan serangkaian masterclass tentang sejarah fortepiano di museum instrumen keyboard bersejarah di Bad Krozingen, Jerman. Saya juga membuat rekaman komposisi perdana dunia oleh Emilie Mayer yang lahir 1812 dan meninggal 1883, seorang komposer wanita yang terlupakan dari era romantis pada instrumen periode yang dibuat pada tahun 1835. Saya juga penyelenggara dan direktur artistik dari seri konser barok “Continuo” di Freiburg. Spesialisasi saya sekarang adalah ke period instrument.

Maksudnya?
Period instrument itu adalah piano-piano maupun harpsichord yang asli dari abad ke 17 sampai ke 20. Alat-alat musik itu sampai sekarang masih ada dan masih bisa digunakan. Tapi tidak semua orang memiliki akses untuk itu. Untuk bisa mendapatkan akses ke situ tidak mudah karena nilai historis instrument tersebut kan tinggi sekali. Jadi kalau rusak, ya memang bisa diperbaiki tapi nilai historisnya jadi berkurang. Jadi untuk bisa memainkan instrumen-instrumen itu harus ada kualifikasi dan kepercayaan untuk dapat akses ke museum dimana alat musik itu berada.

Apa alasan Anda memilih spesialisasi yang langka dan hanya terbatas pada musik di periode tertentu itu? Apakah ada audiens-nya?
Oh ada…mereka sangat tertarik sekali untuk mendengar suara alat-alat musik kuno itu seperti apa. Justru karena sangat langka yang mengambil spesialisasi seperti saya, jadinya saya menjadi orang yang memiliki akses untuk memainkan instrumen-instrumen kuno itu. Orang jadi kepingin tahu seperti apa bunyi alat-alat musik kuno itu dan bagaimana dimainkan. Contoh musik Mozart misalnya. Itu seperti apa? Karena, piano yang dimainkan Mozart dulu bukan seperti jaman sekarang, melainkan pianonya lebih kecil, suaranya pun berbeda. Jadi waktu itu bagaimana sebenarnya? Touch-nya seperti apa? Oh ternyata jauh lebih ringan. Suaranya jauh lebih puitis, kalau saya bilang. Tapi memang suaranya lebih kecil jadi nggak bisa dimainkan di concert hall yang besar. Intinya, sebagai period instrument, saya memainkan piano-piano maupun hapsichord yang asli dari abad 17 sampai 19 lengkap dengan karya-karyanya. Jadi saya senang untuk meriset atau meneliti semua itu. Saya mungkin bagian dari sedikit pianis yang mau berkarier sebagai period instrument

Apa saran Anda untuk anak-anak muda yang sedang belajar dan meniti karier di musik?
Kita harus open minded, terbuka akan semua kemungkinan, jangan asal yang kita mau saja, melainkan kita harus terbuka dan mencoba semuanya. Siapa tahu kita justru menemukan diri kita pada sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dulu sebelum menjadi spesialis period instrument, saya memainkan karya-karya kontemporer dimana-mana. Saya juga tampil dengan penyanyi, saya mencoba instrument lain juga dengan repertoarnya dari semua jaman, dari situ kita bisa melihat yang betul-betul membara semangatnya itu di bidang mana, dan itulah yang kita ikutin, telusuri dan tekuni terus dengan sepenuh hati.

Apa filosofi hidup Anda dan bagaimana menghadapi persaingan yang ketat di dunia musik?
Filosofi hidup saya sederhana saja, melakukan segala sesuatu dengan sepenuh hati. Saya sudah bertekad untuk selalu belajar sampai akhir hidup saya. Saya nggak mau berhenti belajar, baik di dunia musik atau di luar musik pun saya harus selalu belajar terus. Untuk menghadapi persaingan yang ketat di bidang musik, atau bahkan juga di bidang lainnya, kita harus percaya bahwa kalau kita mau, itu pasti ada jalan, secara besama-sama, nggak sendirian

Bagaimana penilaian Anda terhadap piano Steinway?
Steinway ini piano yang bagus sekali karena suaranya sangat puitis. Warna suaranya sangat kaya dan bisa memenuhi semua ekspektasi yang dibutuhkan pianis. (*)

Foto: IVAN YOHAN

Article Bottom Ad