Steven Tanus:
‘TERBUKA DENGAN PERBEDAAN’
Terlahir sebagai tunanetra tidak membuat Steven Tanus tersandera. Sebaliknya, ia merasa sebagaimana orang-orang normal lainnya. Kebutaan pada kedua matanya yang diderita sejak kecil juga bukan kendala baginya untuk belajar apa saja sebagaimana orang normal. Musik misalnya, telah membawanya sebagai salah satu pianis tunanetra terkemukadi Indonesia. Berikut wawancara singkat dengan sosok murah senyum ini.
Bagaimana masa kecil Anda dan bagaimana Anda terhubung dengan musik?
Saya mengenal musik sejak kecil di lingkungan keluarga yang menyukai musik, meski bukan dari keluarga pemusik. Saya tunanetra sejak kecil, dan di usia tiga atau empat tahun langsung dibawa orang tua saya ke Singapura dan belajar electone, lalu piano dan biola. Sempat tertarik dengan piano pop, tapi akhirnya saya memilih piano klasik karena saya merasa dengan piano klasik saya bisa menjelajahi musik dengan tidak terbatas.
Siapa yang berperan besar dalam pengembangan bakat musik Anda?
Pertama orang tua saya, terutama mama saya yang mengetahui bahwa saya tunanetra sejak kecil. Beliau mungkin berpikir why not untuk dikenalkan dengan musik. Kedua, tentunya guru-guru saya. Tapi jika ada sosok yang menginspirasi dan saya kagumi di Indonesia, mungkin Steven Tamadji. Saya banyak belajar dari dia.
Anda lulusan Yong Siew Toh Conservatory of Music di National University of Singapore. Bagaimana ceritanya?
Jadi waktu sebelum ke Singapura, saya sebenarnya lebih tertarik ke Universitas Pelita Harapan. Kebetulan waktu itu saya lulus audisi, tapi ada satu guru yang keberatan menerima saya karena saya tunanetra. Ya sudah. Nggak jadi di Pelita Harapan. Lalu saya coba-coba audisi ke Yong Siew Toh Conservatory of Music di National University of Singapore. Sebelum audisi, saya bertanya ke dosen saya apakah saya akan mendapat perlakukan khusus karena saya tunanetra, beliau menjawab tidak. Saya akan diperlakukan sama sebagaimana mahasiswa lain yang tidak tunanetra. Saya berpikir, ini pas dengan keinginan saya, karena saya juga tidak mau mendapat perlakukan khusus, semata-mata karena saya tunanetra.
Maunya Anda seperti apa?
Saya maunya diperlakukan sama dengan mereka yang normal. Saya akui memang saya tunanetra. Mungkin saja saya perlu bantuan khusus atau apa saja, tetapi saya tidak mau itu seolah-olah sebagai special treatment. Sampai sekarang pun saya nggak mau ada perlakuan khusus terhadap saya. Makanya saya beranikan diri, oke saya coba untuk audisi dengan cara normal, bukannya dengan les dulu sama dosennya atau apapun itu, tapi benar-benar saya audisi dengan cara normal dan puji Tuhan saya ternyata diterima. Masuk tahun 2014 dan lulus 2018 dengan gelar Bachelor of Music B.Mus (Hons) dengan predikat istimewa.
Setelah lulus apa yang dilakukan?
Saya kembali ke Indonesia, karena waktu itu ada rencana saya ingin S2 lagi dan kepingin ke Swiss. Saya audisi di beberapa tempat, ada yang diterima dan ada juga yang tidak diterima. Intinya tahun 2020 saat saya diterima di satu sekolah yang saya maui, pas mau mempersiapkan untuk belajar S2, eh…tiba-tiba ada Corona. Saya pikir sulitlah buat saya kalau harus lanjut dengan cara online. Ya sudah akhirnya saya berpikir mungkin masa pembelajaran saya sudah cukup, makanya saya langsung masuk ke dunia usaha sama ayah saya sampai sekarang.
Dunia usaha yang berhubungan dengan musik?
Bukan hahaha… tidak ada hubunganya sama sekali dengan musik. Saya sekarang jualan tekstil sama ayah saya. Pada akhirnya ya itulah dunia tunanetra yang mungkin dibatasi hanya musik saja. Saya nggak mau dibatasi seperti itu.
Seolah –olah tunanetra itu stigmanya hanya di musik saja.
Kalau kemudian terjun di dunia usaha, lalu manfaat musik bagi Anda apa?
Nah ini ironisnya, ketika saya masuk ke dunia usaha, musik justru menjadi hal yang esensial untuk pribadi saya. Betul bahwa musik mungkin bukan karir utama saya, bukan sumber penghasilan saya, tapi justru disini makin kelihatan bahwa cinta saya kepada musik lebih nyata karena nggak mungkin tiap hari saya tanpa mendengarkan musik klasik, atau baca-baca tentang komposer, atau lihat-lihat partitur, dengerin rekaman atau nonton video dan lain-lain. Jadi, justru karena karier saya bukan di musik sepenuhnya, saya merasakan bahwa musik memang bagian dari hidup saya. Dan lucunya, tekanan sebagai pemusik yang harus tampil di atas panggung, dan harus perform sebaik mungkin, semua pressure itu menjadi hilang karena menurut saya musik itu bukan sekedar untuk perform saja, tapi karena saya benar-benar mencintai musik. Dan tiap hari pun kalau ada waktu untuk latihan, saya tetap latihan tapi bukan untuk di lihat di panggung seolah-olah saya makin hebat. Bukan. Tapi karena saya benar-benar suka musik.
Tapi sebenarnya Anda punya nilai jual tinggi sebagai tunanetra yang hebat main pianonya. Mengapa tidak dimanfaatkan?
Nah itu dia. Mohon maaf. Bukannya saya menentang, karena memang itu yang biasanya ditonjolkan. Karena tunanetranya. Wah… keren tunanetra main pianonya hebat nih. Mohon maaf, saya kebalikannya. Justru bukan itu yang saya ingin tonjolkan.
Kenapa?
Kalau Anda mengikuti perjalanan saya, saya malah makin menghilang, karena bukan itu yang mau saya tonjolkan. Saya ingin menjadi manusia biasa. Betul, orang yang bisa main piano, orang yang bisa main musik, tapi juga pengusaha yang tunanetra. Jadi bukan tunanetranya yang ditonjolkan. Nggak pernah itu saya tonjolkan. Dalam banyak kesempatan saya selalu mengatakan, kalaupun saya ingin dikenal, saya tidak ingin dikenal hanya sebagai pianis tunanetra yang hebat. Saya ingin dikenal sebagai seorang pianis handal yang kebetulan tunanetra. Jadi bukan ketunanetraannya yang ditonjolkan
Saya masih sulit memahami bagaimana mungkin seorang tunanetra yang tidak bisa melihat, tetapi bisa memainkan lagu sulit dengan penetrasi yang tepat. Bagaimana Anda menjelaskan?
Saya tidak menganggap bahwa keterbatasan dalam penglihatan ini seolah-olah kemustahilan. Ini soal persepsi saja. Misalnya Anda melihat barang, sedangkan saya kan nggak mungkin melihat barang. Sejak kecil saya tunanetra, jadi nggak mungkin saya mengerti tentang konsep melihat. Itu apa? Misalnya melihat gelas. Mungkin saya melihat gelas itu dengan meraba oh..ini gelas. Jadi, saya punya gambaran bukan dari mata, tapi dari sentuhan, bahwa gelas itu bundar dan ada pegangannya di pinggir. Jadi bukan berarti bahwa, kok bisa ya tunanetra yang nggak bisa melihat kok bisa main bagus. Menurut saya sih enggak. Hanya cara pandangnya saja yang berbeda. Dan juga kebiasaan. Sementara orang normal hidup dengan lima indera, saya sudah terbiasa dengan empat indera. Menurut saya bukan mustahil, tapi karena memang saya harus beradaptasi hidup dengan empat indera. Tentu dengan latihan, dan persepsi saya dibentuk melalui sentuhan dan pendengaran, dan jika saya dapat melakukan hal yang benar misalnya, menurut saya bukan something special, ya karena kebiasaan saja
Jadi ini tentang penyesuaian saja ya?
Betul. Ini tentang bagaimana saya dipaksa untuk hidup menyesuaikan diri dengan empat indera. Bukan lima. Dan saya tidak melihat kekurangan satu indera itu sebuah kelemahan. Masih ada indera-indera lainnya yang mungkin lebih sensitif, lebih peka. Dan itu bukan spesial juga, melainkan sesuatu yang wajar dan normal bagi kita-kita yang tunanetra. Bukan sesuatu yang spesial sih orang tunanetra bisa jago main piano. Malah yang hebat barangkali orang yang tunarungu yang bisa jago main piano.
Memangnya kenapa?
Itu yang menurut saya mustahil karena menurut saya, sama kalau saya menyetir mobil. Tunantera tentu nggak bisa melihat tuts, tapi kita mungkin masih bisa lihat partitur, bisa baca, bisa dengar, karena esensi musik itu pada pendengaran. Jadi kembali saya mengatakan bahwa semua ini bukan something special. Tapi kalau ada tunanetra bisa nyetir mobil, nah itu yang spesial. Jadi kalau dalam musik, yang saya kagumi itu kalau ada tunarungu bisa main musik dengan baik. Saya ada teman di National University of Singapore, tuna rungu, lima tahun di atas saya, tapi main pianonya sangat baik dan sensitif. Nah itu yang menurut saya sangat spesial.
Saat Anda mengalami kejenuhan, kebosanan, bahkan mungkin putus asa dalam proses belajar maupun berkarier, bagaimana Anda memotivasi diri?
Mungkin ini sangat pribadi ya, karena secara saya pribadi mungkin ada saat atau fase-fase tertentu iman saya jatuh, dan itu selalu mengingatkan diri saya bahwa entah saya mau berkarier di musik atau tidak, pada akhrinya kemuliaan itu untuk Tuhan. Saat-saat saya jenuh atau bad mood, pada akhirnya saya menyadari bahwa hidup saya itu bukan untuk diri saya sendiri. Jadi saya harus melaksanakan hidup walaupun tidak merasakan suka cita. Oke. Pada akhirnya pasti ada hasilnya. Kalau orang lain merasa diberkati karena perbuatan saya, why not? Jadi ini lebih ke arah intropeksi sendiri sih
Sebagai seorang pianis, apa definisi sukses menurut Anda?
Menurut saya, musik itu bukan tentang persaingan atau siapa yang bisa memainkan yang terbaik, tapi ini adalah tentang menghubungkan dan berbagi dengan penonton dan mengembangkan hubungan karena mereka bisa menjadi hal yang penting untuk masa depan. Sebagai pianis kita harus mendapatkan dukungan yang tepat, seperti seorang guru yang dapat memahami cara Anda bekerja, mendorong dan mengembangkan perjalanan musik Anda. Sukses adalah ketika segala sesuatu yang telah Anda kerjakan dan persiapkan berhasil dilakukan pada saat yang tepat.
Nasihat apa yang akan Anda berikan kepada anak-anak muda calon musisi?
Pertama, kuasai instrumen yang Anda pelajari dengan baik. Jelajahi gaya musik yang berbeda, sehingga itu menjadi bagian dari diri Anda. Kedua, jangan ragu untuk selalu terbuka dengan beragam perbedaan. Kesabaran selalu merupakan suatu kebajikan, terutama dalam berlatih ketika Anda tidak melakukan sesuatu dengan benar pada kali pertama. Ketiga, tetap berpikir positif dan manfaatkan setiap peluang. Harus disadari bahwa dunia saat ini adalah dunia yang sulit. Persaingan sangat kuat dan standarnya sangat tinggi. Musisi muda harus mau mendengarkan penampilan artis-artis besar. Mereka harus berusaha menerima kenyataan bahwa akan ada kekecewaan dan juga kemenangan dalam kehidupan di depan mereka dan hadapi dengan tenang.
Bagaimana pandangan Anda sebagai pianis tunanetra?
Saya itu merasa lebih fit in di dunia normal dibanding dunia tunanetra. Unik dan bersyukurnya disitu. Di musik, oke saya berlabel pianis tunanetra, tetapi saya bersosialisasi dan hidup dengan orang-orang normal. Itu kan yang sangat jarang.
Baik. Sebagai pianis, bagaimana pendapat Anda tentang Steinway Piano?
Steinway adalah piano terbaik di dunia. Itu tidak bisa dibantah. Dunia musik telah mengakuinya. Kebetulan saya ada piano Steinway di rumah, dan saya menyukai warna suaranya. Ide-ide yang mau saya keluarkan menjadi lebih mudah dikembangkan dengan piano Steinway, dan melengkapi apa yang indah dan artistik. (*)