WANTED: NEW NORMAL MUSIC

279

Article Top Ad

PADA tanggal 18 Agustus 2021, liputan6.com merilis sebuah berita yang sangat mengejutkan, yakni bahwa Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, mengatakan: virus Corona SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 tidak akan hilang dalam waktu cepat. Mungkin butuh waktu 5-10 tahun lagi kita tetap hidup dengan virus Corona.”Pandemi ini tidak akan hilang dengan cepat. Mungkin akan menjadi epidemi. Dan, kita harus hidup dengan mereka 5 tahun atau 10 tahun lagi,” kata Budi dalam konferensi pers di YouTube Kemenkeu.

Sudah tentu, pernyataan Menkes tersebut merupakan sebuah warning sekaligus juga arahan pada semua elemen masyarakat. Bahwa kita tidak bisa lagi hidup “bebas” seperti sebelum ada Pandemi Covid 19, dan setidaknya “belenggu” ini akan memasung kita untuk kurun waktu 5 sampai 10 Tahun. Warning Menkes tersebut tentu tidak pas jika kita tanggapi dengan kekhawatiran dan/atau ketakutan yang berlebihan. Akan lebih arif dan bijaksana jika peringatan Menkes tersebut, kita respon dengan kewaspadaan sekaligus mencari terobosan dan rumusan. Akan bagaimanakah kehidupan kita di segala bidang, setidaknya untuk 5 sampai 10 tahun mendatang?

Musik, sebagaimana cabang kesenian yang lainnya, adalah satu ranah yang terpukul, terkeremus, tergerus, tiarap dan nyaris mati suri oleh pandemi Covid 19. Jika Anda sempat melihat Youtube dari beberapa pianis terkemuka seperti Daniel Barenboim, Andras Schiff, Martha Argerich, Evgeny Kissin, Lang Lang, Yuja Wang, Katia Buniathishvilli, tentu Anda akan berpikir milyaran kali. Mereka, para pianis hebat tersebut, berhasil memainkan musik dengan teknik yang sudah beyond human capabilities. Begitu sempurna. Passion dan musikalitasnya mampu menembus relung sanubari yang paling dalam. Artinya, sepanjang napak tilas kehidupan dan peradaban manusia, musik sudah menempatkan dirinya sebagai entitas seni dengan olahan yang luar biasa menakjubkan. Kok bisa terkeremus pandemi. Apa salahnya musik ?

Article Inline Ad

Kesalahan musik cuma satu: musik tidak memiliki endurance. Musik tak memiliki daya tahan. Musik tak memiliki kemampuan survive. Bertahan dalam keremusan wabah yang gila menggila luar biasa. Musik terlena dengan ketenaran. Dengan gemerlap. Dengan glamorous. Dengan pendapatan artisnya yang mencengangkan. Dengan tata gramatika dunianya yang memonopoli. Musik, yang berasasal dari kata Muse, membius, akhirnya tak cuma membius penikmatnya, melainkan membius dirinya sendiri.Tentu ini sebuah era penderitaan yang sangat tragis dan merupakan episode epos paling kelam dalam keberadaan musik pada peradaban manusia.

Ketika dunia menemukan Phonofraph, kemudian Gramophone, dunia musik tidak merasa tersaingi. Pun ketika dunia ada penemuan pita kaset, Compact Disc. Dunia musik masih happy. Malahan industri musik banyak meraup keuntungan. Kenapa? Karena phonograph, piringan hitam, kaset, CD adalah material duplikasi musik yang malahan lebih membuat tenar artisnya. Lebih luas menjangkau pendengar. Ketika DVD dan VCD musik ditemukan, kalangan musik senang senang saja. Sekali lagi karena VCD dan DVD adalah material duplikasi. Tidak pernah bisa dan tidak pernah akan bisa menggantikan pementasan musik live secara nonton langsung.

Situasi mulai berganti tatkala internet merambah bak penjajah rakus yang tak kenal ampun. Mulailah streaming Channel Youtube. Alarm lampu merah mulai berdengung. Di YouTube ada begitu banyak video pementasan artis. Yang artisnya sendiri nggak pernah tahu kalo pementasannya direkam. Karena begitu banyaknya, orang jadi mempunyai begitu banyaknya pilihan sajian musik. So…. Untuk apa pergi nonton konser? Berdesakan. Berbayar. Kadangkala pulang nonton dipalakin dan dirampok. Mending nonton YouTube. Gratis. Bagus bagus. Banyak pilihan dan kapan saja di mana saja bisa nonton, Mulailah ranah musik mendapat tantangan dan “musuh” serius yang sepadan.

Keadaan ini diperparah lagi dengan munculnya sosial media. Yang kemudian bisa dengan sangat mudah diakses melalui ponsel. Bahkan ponsel dengan harga ekonomis sekalipun. Orang jadi lebih suka ber cas-cis-cus dan hanya menikmati potongan potongan musik yang seiprit dan secuil. Masih belum cukup. Musik dihantam lagi dengan aplikasi. Seperti Smule. Orang jadi lebih suka berinteraksi ketimbang nonton konser. Padahal, pintu gerbang pemasukan penghasilan semua insan musik adalah konser. Masih juga belum cukup. Kemajuan teknologi digital membuat semuanya dengan mudah “dibajak”. Termasuk musik. Untuk apa beli CD asli. Untuk apa nonton konser. Bajakannya saja diedarin dari grup Whatsapp. Kiamat dan mati melolonglah serta nangis bombaylah para insan musik.

Penting
Fakta yang dipaparkan tersebut, sangat penting. Harus dipahami. Musik sudah “mati suri” sebelum ada pandemi Covid 19. Covid 19 adalah gong, lonceng kematian sekaligus final jab, swing, uppercut yang membuat musik suram, gelap gulita. Lalu…. masih adakah seberkas sinar terang ? Tentu masih. Dan… jangan lupa. musik itu sendiri tak akan pernah mati. Yang sengsara adalah insan musiknya. Musiknya? Anda bisa tetap nikmati online. Tak ada karya baru? Tidak mengapa. Di online banyak karya. Tidak perlu ada karya baru. Karya yang sudah streamed lebih dari cuku untuk membuai dan membius Anda.

Jika demikian, apa yang dapat kita lakukan? Jawabannya: wanted new normal musik! Sebuah rumusan. Formulasi yang jelas dan tegas. Bagaimana sih musik beradaptasi dengan new normal. Bagaimana bentuk sajian musik di era new normal pandemi Covid 19?
Untuk ujian sertifikasi Internasional, konsep dan rumusan New Normal Musik, sudah tercapai. Yaitu dengan Video Exam atau ujian via video, dan Live Streaming exam. Ini seperti ujian pada lazimnya, penguji dan kandidat ujian berhadapan bertatapan muka, hanya saja melalui piranti Virtual. Yang beginian gak ada masalah. RSL Award atau Rockschool sudah menjalankan sistem beginian dengan sangat baik. Sesinya, baik untuk submit video maupun streamed berjalan sangat lancar. Hasil ujian pun tergolong sangat cepat. Dalam ujiannya tidak ada masalah. New Normal nya sudah ketemu. Case Close.

Untuk teaching and learning. Nah ini problemnya. Selama ini dilakukan dengan online, yang paling populer via Zoom dan Whatsapp video. Masalahnya, untuk anak yang baru pertama kali belajar, belum tahu apapun, mungkinkah dilakukan lesson online? Ttidak mungkin. Tidak bisa, meski didampingi orangtuanya. Kenapa? Moment paling krusial dari lesson musik adalah pada saat awal. Position and holding instrument. Ini dasar dari segala dasar. Jika salah pada momen ini, selesai sudah. Percuma belajar. Nah, mungkinkah mengajari anak pegang biola secara online? Mungkinkah memberi lesson holding classical guitar position secara online? Mungkinkah posisi duduk dan kinetis jari main piano secara online? Tidak bisa. Momen holding instrumen itu harus dalam 3 dimensi. Tidak bisa diganti 2 dimensi via online. Bagaimana pula dengan interpretasi. Pemakaian teknik teknik yang unggul? Musikalitas ? Tidak bisa online juga karena membutuhkan sugesti dan inner transfer dari guru kepada siswanya.

Mungkin bisa digagas adanya mixture lesson session. Misal 4x tatap muka fisik dengan protokol kesehatan yang teramat sangat luar biasa ketat. Guru rapid test. Murid rapid test. Parents rapid test. Nah. Ketemu dalam satu ruang. Berventilasi. Jarak orang per orang 1 meter. No salaman. No cipika cipiki. Mungkinkah? Karena dengan begitu ada pengeluaran yang lumayan besar untuk rapid test. Itulah. Rasanya perlu ditunggu adanya rumusan New Normal Musik dalam bidang teaching dan lesson.

Carut marut nan mencemaskan itu masih ditambah dengan performance yang masih tak menentu. Di beberapa negara, memang, konser musik tatap muka sudah digelar. Namun dari sekumpulan berita, nyata bahwa resikonya masih sangat besar. Untuk Indonesia, misalkan konser musik seni digelar pun, tentu ada pembatasan kapasitas audiens nya. Untuk musik seni, keadaan begini benar-benar menyedihkan. Tanpa pembatasan saja, penonton yang datang tidak terlalu banyak, apalagi jika dibatasi.

Ada yang menggagas, bisa juga dilaksanakan konser virtual. Persoalannya, bagaimana si pemusik dapat duit? Platform digital yang ada seperti Zoom, IG Live, Facebook Live tidak memungkinkan dilakukan ticketing. Hanya mengandalkan donasi yang besarya juga tak bisa diprediksi. Wanted New Normal Musik adalah hardikan untuk Anda semua yang mengaku cinta musik. Pikirkan bagaimana nasib musik. Pikirkan apa formula New Normal Musik. Itu jika Anda benar-benar cinta musik. (*)

Penulis: Michael Gunadi Widjaja (Pemerhati Musik)

Article Bottom Ad