MENUMBUHKAN rasa cinta tanah air dan bangga dengan karya anak bangsa adalah semangat para pemuda yang diikrarkan melalui Sumpah Pemuda di tahun 1928. Di dunia musik Indonesia, Yazeed Djamin mengekspresikan semangat itu melalui karya-karyanya yang mengeksplorasi kekayaan musik tradisional Indonesia ke dalam harmonisasi musik klasik, sejak ia berusia 16 tahun hingga wafat pada 2001. Pengembaraan musikalnya menghasilkan komposisi musik yang orisinil dan menyegarkan. Steinway Family Story edisi Oktober 2024 kali ini menghadirkan kilas balik Yazeed Djamin yang semoga menginspirasi
musisi-musisi muda Indonesia saat ini.
TAK terasa, 9 September 2024 lalu, tepat 23 tahun Indonesia kehilangan sosok musisi dan komposer jenius, Yazeed Soelaiman Djamin, atau yang lebih dikenal dengan panggilan populernya, Yazeed Djamin.
Yazeed adalah putra kedua pasangan Djamin Datuk Sutan Maharaja Besar asal Minangkabau dan Siti Nuraini, keturunan Betawi. Lahir 21 Desember 1950, Yazeed meninggal 9 September 2001 di saat namanya mulai menanjak di kancah permusikan Indonesia, khususnya musik klasik setelah dirawat selama tiga pekan di Rumah Sakit Cikini, Jakarta Pusat akibat menderita radang otak.
Imajinasi Yazeed sangat luas dalam mengeksplorasi kekayaan musik tradisional Indonesia, khsusnya Minang, Sunda, dan Bali. Konsep yang dibangun Yazeed merupakan perpaduan antara musik rakyat, klasisisme, dan modernisme. Pendekatan yang menyegarkan dalam kreativitasnya yang orisinil. Di masa itu, ketika budaya pop begitu dominan, termasuk di musik, meramu musik tradisional Indonesia ke dalam harmonisasi musik klasik adalah sesuatu yang tidak mungkin.
Nyatanya Yazeed mematahkan ketidakmungkinan itu. Variation on theme of Sepasang Mata Bola adalah masterpiece yang membuktikanya. Diramu dalam bentuk Piano Concerto dengan 9 variasi dari tema lagu Sepasang Mata Bola karya Ismail Marzuki, karya variasi itu membersitkan optimisme Yazeed Djamin terhadap potensi musik Indonesia yang bisa digarap dalam bentuk yang lebih besar.
Sebelumnya, tahun 1969 Yazeed telah menulis Srikandhi. Lalu My Home Work (1974), Music for Brass (1976), Nyi Ronggeng (1988), dan Malin Kundang Symphonie Poem (1993-1994). Tahun 1995 ia memenangkan hadiah pertama International Music Festival 1995 di Sydney, Australia atas karyanya Nyi Ronggeng. Yazeed banyak mengambil corak kebudayaan Minang, Sunda, dan Bali dalam meramu musiknya.
Yazeed belajar piano pada usia 9 tahun di Yayasan Pendidikan Musik (YPM) dibimbing alm. Rudy Laban. Lulus dari YPM, dia meneruskan di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (sekarang Institut Kesenian Jakarta) jurusan Piano, kemudian ke Peabody Conservatory of Music, di Baltimore, Amerika Serikat, untuk gelar Bachelor of Art, dan gelar MA dan Ph.D diperoleh di Catholic University of America di Washington, D.C.
Setelah meraih gelar doktor tahun 1988, Yazeed pulang ke Indonesia dan memimpin Nusantara Chamber Orchestra yang ia dirikan bersama mantan Menteri Luar Negeri, Mochtar Kusumaatmadja. Tahun 1994, Yazeed menjadi penata musik untuk Orkes Kebangsaan Malaysia. Yazeed juga sering menjadi dirigen orkes di beberapa negara, seperti Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Selama kariernya, Yazeed meraih beberapa penghargaan, antara lain Juara Electone Indonesia (1972), Peabody Piano Concert Competition, AS (1979), dan ASEAN Youth Orchestra (1990-1995).
Seperti Anak Sendiri
Aisha Sudiarso Pletscher, putri almh. Iravati M. Sudiarso, pianis yang juga pimpinan YPM sempat menyaksikan saat-saat terakhir Yazeed. “Percakapan terakhir kami adalah saat ibu saya tampil bersama Orkes ISI memainkan Rachmaninoff, Piano Concerto No. 2 di Hotel Darmawangsa. Saat itu Yazeed terbaring sakit di RS Cikini. Seharusnya, ibu bermain bersama Yazeed sebagai pengaba. Namun akhirnya digantikan Pipin Garibaldi. Malam itu Yazeed telepon saya dan mohon saya tidak menutup telepon agar beliau dapat mendengarkan dan mengikuti pertunjukan malam itu melalui media telepon genggam. Setelah karya selesai dimainkan beliau terdengar sangat emosional,” kenang Aisha.
“Saya sendiri adik kelas Yazeed. Agak jauh sih rentangnya, sehingga baru betul-betul mengenal beliau saat saya kembali dari perantauan, sekitar 1997-an, dan sempat diajak main bersama beliau beberapa kali, baik sebagai solis maupun pianis orkes bersama Nusantara Chamber Orchestra dan Orkes ISI Jogjakarta. Kami juga sering bersama-sama, baik dalam menjuri di kompetisi piano atau berdiskusi. Kadang bertiga dengan ibuku,” kenang Aisha.
Dalam pandangan Aisha, Yazeed adalah sosok jenius yang sangat peduli dengan Indonesia. Dia selalu berpikir bagaimana caranya musik klasik Indonesia dapat bersanding setara dengan musik klasik dunia. Dia banyak menggunakan lagu rakyat Indonesia sebagai landscape, baik untuk instrumen solo, orkes maupun concerto. “Pencapaian beliau diakui dan diberi penghargaan oleh “House of Composer” Rusia, dimana Yazeed diundang ke sana. Beliau menghadiri undangan tersebut bersama ibu dan kakak saya, Anandita Sudiarso,” kata Aisha.
Cita-cita dan tekad Yazeed untuk menempatkan musik tradisional Indonesia di kancah musik klasik dunia, begitu kuat. Pada pagelaran apapun, baik itu orkes, solo performance dan lainnya, ia selalu akan menampilkan karya Indonesia, baik karya komposer lain atau karyanya sendiri. Karakter Yazeed yang hangat serta jiwanya sebagai pendidik juga memberi motivasi tinggi terhadap pengembangan talenta anak-anak bangsa, baik melalui media orkes, mengajar piano ataupun diskusi di kantong-kantong seni di seluruh Indonesia. Yazeed tidak pernah mengeluh saat ia harus berkelana ke pelosok negeri, kecuali semangat untuk membangun musik Indonesia.
“Yazeed….. sayangnya, kurang peduli dengan dirinya sendiri, terutama kesehatannya. Impiannya masih banyak untuk Indonesia. Seringkali dalam berkarya, beliau mengabaikan kebutuhan badannya untuk istirahat atau tidur. Seringkali beliau bekerja nonstop berhari-hari, tanpa tidur. Kadang saya dihubungi lewat tengah malam, bahkan menjelang subuh, untuk berdiskusi. Hal ini yang lambat laun, tapi pasti, menggerogoti fisiknya sehingga stamina menjadi sangat turun,” kata Aisha.
Begitu mendengar kabar Yazeed dilarikan ke rumah sakit, Aisha dan ibunya beberapa kali menjenguk Yazeed di rumah sakit, dari mulai saat dirawat di ICU sampai akhirnya meninggal. “Beliau ceria bila kami jenguk dan selalu menangis saat kami mau pulang, seperti tak mau lepas dengan ibuku. Yazeed memang seperti anak sendiri bagi ibuku. Saya terharu saat Yazeed curhat dan diberi nasihat oleh ibu”, kata Aisha.
Sebetulnya kondisi Yazeed sempat membaik, keluar dari ICU, bisa jalan-jalan dan dirawat di pavilion kamar biasa. “Beliau masih aktif sampai beberapa hari terakhir. Kesadarannya menurun tidak lama setelah ibu saya selesai main Rachmaninoff bersama orkes ISI, dan masuk ICU lagi sampai dinyatakan meninggal. Kami sedih sekali,” kata Aisha.“Beliau selalu berpesan bahwa karya anak bangsa sangat tinggi mutunya, tidak kalah dengan luar negeri. Harus terus berkarya dan berjuang. Ibu saya tidak sampai mengantar ke pemakamannya, tapi saya wakilkan. Sedih sekali… hilang satu ikon Indonesia yang sangat peduli pada bangsanya,” kata Aisha.
Naik Haji
Teman akrab Yazeed Djamin lainnya adalah musisi Tamam Hosein yang berteman sejak Yazzed meraih Juara Festival Electone Indonesia 1974. “Yazeed menang sampai tingkat South Eeast Asia, dan tahun 1975 aku yang menang, ke tingkat South East Asia, Hongkong, terus lanjut ke tingkat internasional di Jepang,” kata Tamam.
Sebagai sesama pemenang Festival Electone, pertemanan Tamam Hosein dengan Yazeed sangat erat. ”Sudah seperti keluarga sendiri,” kata Tamam. Bahkan Tamam sempat mengontrak salah satu rumah orangtua Yazeed di Jl. Ciliman untuk dijadikan kantor dan studio. “Dari studio di Jl. Ciliman itulah Elfa Secioria merekam dua album lagu-lagu daerah yang masih populer dan banyak dipakai sampai sekarang,” kata Tamam.
Sekembali dari Amerika, Yazeed mengajar di Akademi Musik Indonsia (sekarang ISI) dan membentuk orchestra bersama tokoh-tokoh yang concern pada musik klasik, salah satunya adalah Presiden BJ. Habibie waktu itu. “Aku jadi produser konser-konsernya Yazzed yang diadakan di Hotel Aryaduta,” kata Tamam.
“Waktu saya tanya kenapa kamu kok mainin lagu-lagu rakyat Indonesia? Yazeed jawab, ‘gue ditanya sama Habibie, kamu kan main lagu-lagu rakyatnya orang-orang Eropa ya, seperti Tchaikovsky dan lain-lain. Itu kan lagu-lagu orang bule, terus gue ditantang, kalo kamu bisa angkat lagu-lagu rakyat Indonesia saya akan bayar berapapun kamu minta dengan catatan harus bisa dimainkan dengan orkes besar ya’. Nah… dari situ Yazeed terpacu dan munculah lagu-lagu rakyat Indonesia dalam bingkai musik klasik,” kata Tamam.
Banyak kenangan dan suka duka selama Tamam Hosein berteman akrab dengan Yazeed Djamin. Waktu koleganya di YMI, Watanabe meninggal dunia, keduanya mengantar jenazah untuk dikremasi. “Dalam mobil aku ngomong sama Yazeed, ‘Zeed sekarang tinggal kita berdua yang harus meneruskan JOC. Awas jaga badan loe ya… kalo loe sakit atau apa, teriak yaaa’…,” kenang Tamam.
Pernah juga suatu hari, kata Tamam, Yazeed tiba-tiba memanggilnya dengan nada serius. “Aku mau ngomong Mam…Tapi lu janji jangan ketawa yaa…Bener nih lu jangan ketawa ya,”. “Iya ..iya..,” jawab Tamam. Yazeed mendekatkan wajahnya dan setengah berbisik, Yazeed mengatakan,” Gue mau naik haji Mam,…”
“Hah…!” Tamam tersentak, memandang Yazeed antara percaya dan tidak. “Aku kaget karena kalau inget bagaimana kelakuan dia untuk urusan dunia. Aku cuma bisa istighfar hahaha…. Terus dia serius bilang ‘Kan gue udah bilang jangan ketawain’…,” kata Tamam.
“Akhirnya saya diem dan ya udah pada waktunya, dia berangkat juga naik haji ke Mekah… Nah waktu di Mekah itu dia telepon minta tolong tagihin hutang temannya di Jakarta karena kalo nggak ditagih ntar takut lupa… Hahaha…aku ketawain dia …eeh busyet lu Zeed …lu di Mekah jangan pikirin soal dunia deh, fokus dulu ke Allah…hahaha…,”
kenang Tamam.
Sepulang haji, Yazeed melanjutkan bermusiknya. “Eeh… tiba-tiba suatu hari dia telepon saya, ‘gue sakit Mam..,”. Suaranya lemah. “Menurut teman-temannya suatu ketika saat Yazeed di Yogyakarta, pernah pulang sambil nyeret badannya karena nggak bisa jalan,” kenang Tamam.
Singkat cerita Jazeed kembali ke Jakarta dan segera memeriksakan diri ke RSCM. Waktu itu Yazeed sudah tidak bisa berbicara dengan jelas. Sebelum meninggal, Yazeed bahkan sudah tidak sadarkan diri kira-kira sebulan. Lalu saat infusnya hampir tidak berfungsi, pihak RS minta harus ada anggota keluarga yang mencabut jarum infusnya.
“Aku ditunjuk mewakili keluarga, dan keesokan harinya sebelum keluarga Yazeed tiba, pihak RS mengabarkan Yazeed sudah meninggal dunia. Duuhh… betapa sedih dan hancur perasaanku karena momen kepergian dia itu, persis di tanggal kelahiranku yaitu tanggal 9 September,” kata Tamam Hosein dengan suara bergetar. (eds)