INSTAN

27

Article Top Ad

Pembaca Budiman,

IMPLIKASI pragmatisme adalah kecenderungan untuk lebih melihat hasil daripada proses. Orang tak lagi peduli secanggih dan serumit apapun sebuah sistem dibuat, yang penting bagaimana hasilnya. Maka tak heran jika ke-praktis-an adalah tujuan akhir pragmatisme.
Dalam satu hal, pragmatisme agaknya memfasilitasi sikap dasar manusia yang cenderung tak sabaran, tergesa-gesa, selalu ingin cepat, dan kalau bisa tak perlu susah payah dalam meraih sesuatu. Maka, lahirlah kosa kata yang tepat untuk merangkum semua itu: instan. Praktis dan tak merepotkan.

Anda tak perlu repot membuat mie atau mengolah sendiri bumbunya untuk menikmati semangkuk mie rasa kari ayam. Tinggal beli mie instan, lalu rebus, campurkan bumbu dan aduk, Anda sudah bisa menyantapnya dengan lezat. Tak lebih dari sepuluh menit. Jika perlu sambal, tak perlu membuat sendiri. Tinggal beli di supermarket, berjenis sambal tersedia dalam berbagai kemasan, mulai dari sambal terasi Jawa sampai sambal Padang.

Article Inline Ad

Dalam berbagai aspek kehidupan yang lain, kita bisa menyaksikan proses-proses “jalan pintas” (baca: instan) yang mengabaikan effort dan “nilai kepuasan batin” dari sebuah proses. Dalam dunia yang sesak dan serba tergesa-gesa saat ini, proses yang lama dan berbelit-belit adalah penyakit yang harus diamputasi. Kalau bisa dipercepat, kenapa mesti harus diperlambat? Yang penting kan hasilnya.

Barangkali ketika William James dan John Dewey membangun konsep filsafat Pragmatisme di Amerika seabad lalu, tak pernah membayangkan sisi negatif dari kebenaran yang mereka usung ini. Keduanya mungkin tak berpikir bahwa konsep Pragmatisme yang semula hanya mempersoalkan bahwa “tidak ada kebenaran yang absolut”, ternyata mampu menerabas jauh bahkan hingga mempertanyakan nilai-nilai keimanan.

Tak mengherankan jika orang-orang yang percaya bahwa pragmatisme adalah “jalan kebenaran”, pada akhirnya tersungkur pada kekosongan dan kekeringan nilai-nilai. Dalam satu hal pragmatisme mungkin dianggap sebagai “the way out”, tapi pemujaan yang berlebihan terhadap paham ini menghasilkan kehidupan yang tidak lagi menghargai nilai sebuah pengorbanan, perjuangan, kerja keras, kedisplinan, kejujuran, kesabaran, dan toleransi.

Sesuatu yang instan mungkin nikmat dan memuaskan syahwat. Menyantap makanan siap saji lebih praktis karena tak perlu repot. Merasakan pedasnya sambal instan, lebih nikmat karena tak perlu susah payah membuat sendiri. Bisa main musik secara instan, mungkin menyenangkan. Tapi barangkali ada sesuatu yang hilang disana: sebuah kenikmatan dan kepuasan batin karena Anda telah melalui sebuah proses dan perjuangan, sebelum Anda sampai di puncak dan menikmati hasilnya!

Di dunia yang dicengkram kemajuan teknologi saat ini, kemudahan dan kepraktisan adalah tujuan. Segala sesuatu yang tidak praktis, adalah masa lalu. Tetapi haruskah atas nama kemajuan teknologi dan ke-praktisan, seseorang memiliki pembenar untuk mengabaikan proses yang semestinya dilalui?

Seorang guru mengeluh, anak-anak jaman sekarang kurang memiliki effort, disiplin yang rendah, dan kurang menghargai kerja keras. Sialnya, orang tua pun cenderung tak sabar. Ingin cepat melihat hasilnya, melihat anak-anaknya bisa main banyak lagu, menang dimana-mana, lulus ujian, dalam waktu sesingkat-singkatnya. Pragmatisme mengancam pembelajaran musik?

Salam Musik
Eddy F. Sutanto

Article Bottom Ad