SALAH satu ciri khas dari periode Romantik adalah meningkatnya minat yang besar terhadap karya sastra, terutama puisi. Di masa Romantik hidup para pujangga besar seperti Wordsworth, Keats, Byron, dan Shelley di Inggris, Hugo di Perancis, serta Goethe dan Heine di Jerman. Karya puisi di abad 19 ini menggerakkan dan mengilhami para komposer untuk menciptakan lagu-lagu. Para penyair di periode Romantik memandang musik sebagai karya yang paling murni karena bunyi itu bersifat abstrak, sementara para komposer menemukan resonansi musik dalam puisi yang ada, lalu menggubahnya menjadi lagu karena meyakini bahwa musik dapat lebih menghidupkan nuansa puitik yang tidak dapat diekspresikan jika hanya mengandalkan kata-kata saja. Karya yang dihasilkan oleh para komposer merupakan hasil integrasi antara musiknya dengan karya puisi tersebut itulah yang disebut art song, yakni: lagu untuk vokal solo yang diiringi piano dengan aspirasi artistik yang tinggi. Karena kebanyakan art song dihasilkan di Jerman, maka disebut Lieder – istilah Jerman untuk lagu-lagu (songs).
Di masa ini terdapat banyak komposer yang menggubah art song, seperti Schubert, Schumann, dan Brahms. Diantara para komposer tersebut, Schubert-lah yang paling suskses dalam menciptakan lagu; Schubert memang memperlihatkan talenta yang luarbiasa dalam menangkap semangat dan detail teks, menciptakan nada-nada yang secara sensitif dapat melukiskan suasana hati (mood) dari teks, dan melalui iringan piano mampu mengekspresikan setiap nuansa puisi. Kata Schubert,”Apabila puisinya bagus, maka melodinya akan mengalir begitu saja, sehingga aktivitas menggubah menjadi suatu hal yang benar-benar menimbulkan kegembiraan yang nyata.”
Tema yang muncul dalam art song atau Lieder (dalam istilah Jerman, istilah Lieder untuk pengertian jamak; sementara lied untuk tunggal) seringkali dipenuhi dengan rasa putusasa karena cinta yang tidak terbalas; keindahan bunga-bunga, pepohonan, serta hutan; maupun cerita rakyat yang bernuansa supranatural. Disamping itu terdapat pula Lieder yang mengekspresikan kegembiraan, senda-gurau, dan humor.
Singkatnya, para komposer untuk art song biasanya menginterpretasikan puisi, menterjemahkan suasana perasaan (mood), atmosfir, serta imajinasi ke dalam musik. Para komposer menciptakan melodi untuk vokal yang indah dan pas untuk teksnya. Kata-kata yang penting memperoleh penekanan khusus melalui penekanan pada nada-nada serta klimaksnya.
Dalam art song, vokal tidak dapat dilepaskan dari permainan piano. Emosi dan bayangan mental yang terkandung dalam suatu teks memperoleh penekanan tambahan dari permainan piano yang mengiringi vokal. Sebagai contoh: arpeggios dapat mengekspresikan percikan air terkena dayung, akord-akord bernada rendah dapat membantu melukiskan kegelapan atau kegalauan dari orang yang sedang jatuh cinta. Di bagian awal suatu art song (lied atau lagu) terdapat piano sebagai introduksi untuk mood tertentu yang kemudian dirangkum kembali di bagian akhir oleh piano yang disebut postlude.
The Erlking
Menurut Craight Wright, seorang professor di bidang musikologi dari Yale University, kita dapat memperoleh gambaran mengenai talenta musik Schubert, dengan mendengarkan lagunya yang berjudul The Erlking (Der Erlkönig, judul aslinya dalam bahasa Jerman). The Erlking ditulis oleh Schubert pada tahun 1815 ketika ia masih berusia delapanbelas tahun. The Erlking merupakan salah satu contoh dari karya musik romantik yang paling awal sekaligus paling baik. Teks dari lagu itu sendiri merupakan sebuah ballad – sebuah kisah yang jelas dan isinya bergantian antara narasi dan dialog dramatis – yang diambil dari karya penyair Jerman yang terkenal von Goethe (1749-1832).
The Erlking merupakan kisah dari Raja para Elf yang jahat serta rayuan jahatnya terhadap seorang anak laki-laki. Legenda mengatakan bahwa siapapun yang disentuh oleh raja peri akan mati. Kisah ini merupakan tipikal perpaduan antara daya tarik Romantik dengan daya supranatural serta sesuatu yang mengerikan. Hal ini diperlihatkan secara jelas dalam Frankenstein (1818) karya Mary Shelley dan sebuah lukisan karya Moritz von Schwind (kawan dekat Schubert) yang mendengarkan Schubert membawakan lagu tersebut di banyak Scubertiads (acara yang diadakan untuk merayakan musik Franz Schubert).
Menurut penjelasan salah seorang kawan Schubert, Schubert pernah membaca karya puisi Goethe sembari mondar-mandir. Tiba-tiba Schubert melompat ke piano dan secepat kemampuannya dalam menulis, Schubert mengubah seluruh ballad Goethe menjadi musik. Kemudian, Schubert bersama kawannya bergegas ke perguruan musik untuk memainkan karya lagu itu dan memperdengarkan karya tersebut itu ke beberapa kawan lain. The Erlking menjadi lagu Schubert yang paling terkenal dan salah satu karya yang memberinya penghasilan.
Bagian pembuka karya itu menggambarkan adegan yang menakutkan: “Siapa yang melakukan perjalanan di malam yang begitu larut dan berangin?” Bersama seorang anak laki-laki (puteranya) yang sedang menderita demam dalam pelukan Ayah, seorang Ayah mengendarai seekor kuda dengan kecepatan yang sangat tinggi menuju ke sebuah penginapan dalam upaya menyelamatkan puteranya itu. Schubert menangkap nuansa teror di tempat kejadian itu dan detail kuda yang berlari. Schubert menciptakan iringan di piano yang menimbulkan atmosfir degup-degupan rasa takut yang tiada henti secepat yang dapat dimainkan oleh tangan kanan pianis.
Malaikat maut – Raja Elf, memberi isyarat lembut kepada anak laki-laki itu. Cara dia melakukannya adalah dengan menggoda melalui kata-kata manis dalam melodi yang mengalun lembut disertai iringan “um-pah-pah” sederhana.
Anak laki-laki yang ketakutan itu berteriak gelisah yang memuncak dan hal ini digambarkan melalui rangkaian nada-nada kromatik yang makin tinggi.
Tangisan ini terdengar berulangkali di sepanjang lagu, setiap kali berturut-turut dengan nada yang lebih ringan dan harmoni yang semakin disonan. Melalui cara ini, musik menggambarkan pengalaman teror yang dihayati anak laki-laki tersebut yang semakin besar. Sang Ayah mencoba menenangkannya yang diekspresikan melalui nada-nada rendah yang mantap, stabil, dan diulang-ulang. Pada awalnya Raja Elf mempesona melalui nada-nada konsonan yang manis namun kemudian berubah menjadi mengancam melalui nada-nada disonan. Ini menggambarkan rayuan yang kemudian berubah menjadi penculikan. Dengan demikian terdapat tiga karakter yang masing-masing dimainkan dalam kualitas musik yang berbeda (meskipun semuanya dimainkan dalam satu suara). Karya ini memperlihatkan kualitas musik terbaik, dimana melodi dan iringan tidak hanya mendukung teks namun juga membuat nuansa teks terasa lebih intens dan kaya. Dan tiba-tiba tercapailah akhirannya: Raja Elf (kematian) telah menyentuh korbannya. Kecemasan berganti dengan kesedihan ketika narator mengumumkan dengan intonasi yang semakin suram (melalui nada-nada minor) bahwa anak laki-laki itu didapati Ayahnya telah mati!
Berikut adalah lirik lagu secara lengkap – dimana di dalamnya terdapat empat karakter, yaitu: narator, ayah (father), anak laki-laki (son), serta the Erlking :
(Benedictine, dari berbagai sumber)