Psikopat

21

Article Top Ad

Pembaca Budiman,
CINTA pada dasarnya bukan hubungan pada satu orang tertentu.
Cinta adalah sebuah sikap, sebuah orientasi karakter yang menen-
tukan keterhubungan seseorang dengan dunia secara keseluruhan,
bukan hanya pada satu obyek. Jika seseorang hanya mencintai satu orang lain, dan tidak berminat mencintai seluruh manusia lain, cintanya bukanlah cinta sejati, melainkan egoisme yang rakus dan diperluas.

Di dalam cinta, paradoks terjadi bahwa dua wujud menjadi satu, namun masih dua. Akibatnya, kebaikan apapun yang kita berikan kepada orang lain dengan penuh cinta, maka kebaikan itu sesungguhnya berpulang kepada kita. Sebaliknya, apabila kita pelit memberi kebaikan kepada orang lain, pada hakikatnya kita pelit kepada diri kita sendiri. Cinta yang kita berikan adalah satu-satunya cinta yang kita jaga.

Maka, satu-satunya cara untuk memperoleh kebahagian, kepuasan dan kedamaian hakiki ialah dengan secara sadar memberi, bukan dengan menerima. Sebuah penelitian menarik dilakukan Martin Seligman dari Universitas Pennsylvania menunjukkan bahwa perasaan hangat dari kegiatan yang menyenangkan seperti makan di restoran kelas satu, menonton film box office, atau berwisata keliling dunia, tidak ada apa-apanya dalam membuahkan kebahagiaan sejati dibandingkan dengan buah perbuatan baik.

Article Inline Ad

Artinya, kita tidak bahagia dengan ingin ditolong orang lain. Kita bahagia justru dengan menolong orang lain. Kita tidak akan bahagia dengan dihormati orang. Kebahagiaan kita sesungguhnya adalah dengan menghargai orang lain. Diberi, adalah momen yang membahagiakan, tapi dengan memberi kita mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Sekalipun mungkin terlalu berlebihan jika cinta guru kepada muridnya (seharusnya) identik dengan cinta ibu (orangtua) kepada anaknya, setidaknya ada kesadaran yang tak jauh berbeda dari dua hubungan itu. Yakni, sama-sama berangkat dari kesadaran untuk memberi tanpa pamrih. Jika kita bertanya kepada guru, apa yang paling membahagiakan dirinya sebagai seorang guru, kita akan menemukan benang merah jawaban yang universal, yang semuanya bersumber dari: keikhlasannya dalam memberi kepada murid-muridnya.

Saya menganalogikan hubungan guru-murid layaknya hubungan ibu-anak. Hubungan ibu-anak adalah paradoks yang tragis. Dan, hal itu memerlukan cinta yang sangat dalam dari sisi ibu. Ironisnya, pada setiap cinta yang diberikan ibu, membantu anaknya tumbuh dan akhirnya mandiri atau jauh dari ibunya.

Dengan cinta semacam itulah anak manusia tumbuh secara sempurna. Maka, Abraham Maslow, tokoh penemu konsep “piramida kebutuhan manusia”, mengingatkan bahwa, sangat boleh jadi bayi-bayi yang selama delapan belas bulan pertama tidak mendapat kasih sayang, akan tumbuh menjadi psikopat, tidak mampu mencintai dan tidak butuh kasih sayang.

Guru-guru yang mengajar dengan cinta kasih, mereka sadar dan memahami sekali betapa peran mereka adalah sebuah tugas mulia yang menuntut tanggungjawab besar, sebagaimana cinta ibu kepada anak-anaknya. Dengan cinta seorang ibu itulah dia membantu murid tumbuh, berkembang, mandiri, dan meskipun akhirnya meninggalkannya. Setiap guru yang mengajar dengan cinta kasih, pasti tidak tidak ingin melihat murid-muridnya menjadi “psikopat”

Salam Musik,
Eddy F. Sutanto

Article Bottom Ad