Ketika Siswa Tak Lagi Cocok dengan Gurunya

474

Article Top Ad

Mencari guru yang cocok, tidaklah mudah. Kenyataannya, betapa banyak anak-anak yang berpindah dari guru satu ke guru yang lainnya dengan alasan yang hampir sama: tidak cocok dengan gurunya.

Andai ungkapan kata “sudah tidak cocok” itu benar, pertanyaannya adalah, mengapa sampai terjadi ketidakcocokan antara guru dengan siswanya? Ini akan mengundang rasa penasaran, apabila ternyata sebelumnya siswa telah belajar cukup lama dengan gurunya. Mengapa tidak cocok setelah sekian lama mereka menjalin kerjasama? Bukankah mereka bukan baru beberapa bulan bekerjasama? Mengapa setelah sekian tahun, baru merasa tidak cocok? Bukankah itu artinya mereka dahulu pernah merasa cocok? Lalu apa yang terjadi? Bagaimana mungkin?

Menurut Gail Berenson, Profesor of Piano and Choir of Keyboard Division di Ohio University, Amerika, pada dasarnya setiap kali seorang anak memutuskan berhenti belajar atau mengundurkan diri, maka sang gurulah yang harus menjawab permasalahn tersebut.  Mengapa? Karena guru adalah sosok sentral dalam sebuah pengajaran, termasuk pengajaran piano, dimana guru melakukan sebuah proses belajar dan mengajar dengn menerapkan pendekatan yang privat. Banyak guru yang kurang memperhatikan bagaimana harusnya berkomunikasi dengan siswa-siswanya. Berenson berpendapat, faktor komunikasilah yang sangat berperan penting.

Article Inline Ad

Pengarang buku yang terkenal, “Music Medicine and Today’s Piano Teachers” ini menjelaskan, seorang guru yang memahami benar seni berkomunikasi dan tahu bagaimana menggunakannya untuk setiap individu yang berbeda, akan lebih mudah memperoleh keberhasilan dalam proses mengajarnya. Guru seperti itu bukan saja sangat disenangi murid-muridnya, tetapi juga orangtua siswanya. Dan ini menjadi sebuah landasan yang sangat baik dalam menentukan proses belajar mengajar selanjutnya.

Sebaliknya, guru yang tidak memahami bagaimana seni berkomunikasi akan menyulitkan. Tidak saja berhubungan dengan bagaimana mentransformasikan ketrampilan bermain musiknya, tetapi juga kesulitan bagaimana membangkitkan musical spirit pada siswanya. Sekalipun guru tersebut dikagumi sebagai ‘the expert teacher’ ia akan tetap ditinggalkan siswa-siswanya bila tidak paham bagaimana berkomunikasi yang baik dengan siswa maupun  orangtuanya, kata Berenson.

Berenson menganalogikan fenomena itu dengan pengalaman pribadinya ketika masih berumuranak-anak saat ia bersama keluarganya berlibur di Miami Beach, Florida, dan menginap di sebuah hotel yang memiliki panorama pemandangan laut biru dengan pantai indah yang membentang di hadapannya.              Ketika itu Berenson kecil ingin sekali berenang, padahal ia belum bisa berenang. Kemudian mamanya mengatakan, “Kalau kamu mau belajar renang kamu pasti bisa berenang,”. Lalu kami bertanya pada petugas hotel apakah ada instruktur yang bisa mengajari kami berenang. Mereka menjawab ‘ada’, saya bersama kakak dan adik gembira sekali. Karena dalam kepala saya sudah terbayang, betapa indahnya berenang di atas pantai yang biru,” katanya.

Tidak berapa lama kemudian datanglah instruktur renang tersebut, tetapi betapa kecewanya kami lantaran instruktur itu bersikap kurang simpatik, terlihat sombong dan egois. Kepada kami, ia bahkan berani menjamin bahwa dapat mengajarkan kami berenang hanya dengan lima kali sesi pertemuan. Ternyata pendekatan yang ia terapkan sangat keras, dan ia memaksa kami untuk melakukan beberapa teknik gerakan sekaligus sebelum kami menguasainya satu-persatu dengan benar. “Ketika kami merasa belum siap untuk melakukan dan mencoba seperti yang seharusnya, ia sudah memberikan materi tambahan. Ia benar-benar tidak peduli bagaimana dengan perasaan kami ketika itu. Saat apa yang diajarkan tidak berjalan sebagaimana yang ia harapkan, sang pelatih cenderung menyalahkan kami, padahal kami memang belum dalam kondisi siap melakukan seperti apa yang diperintahkan,” katanya.

Tanpa banyak bicara, setelah mengikuti satu kali sesi pelajaran, Berenson langsung berhenti. Hingga saat ini Berenson mengaku sudah tidak punya keinginan lagi belajar berenang. Sementara kakak dan adiknya masih terus mengikuti empat sesi. Meskipun keduanya kini bisa berenang, namun mereka berdua jarang meluangkan waktunya dengan berenang.

Menurut kaca mata Berenson, kejadian yang dialami itu sungguh ironis. Bagaimana tidak, ia semula memiliki keinginan kuat untuk dapat berenang, namun karena bertemu orang yang salah, keinginan kuat yang seharusnya menjadi modal bagus itu justru memberikan pengaruh yang berlawanan. Ia justru kehilangan minatnya untuk belajar berenang, tidak hanya saat itu, tetapi hingga ia dewasa!

Bukan hanya itu. Pengalaman satu dekade yang lalu itu tetap meninggalkan trauma berkepanjangan yang membekas hingga sekarang. “Saya dengar instruktur renang itu akhirnya dipecat. Tetapi cara dan sikap dia ketika mem berikan instruksi kepada saya tetap melekat dan membuat saya tidak berminat lagi berenang hingga sekarang!” ujarnya.

 

Tanggungjawab Besar

Melalui pengalaman pribadinya itu, Berenson ingin menunjukkan bahwa betapa besarnya tanggung jawab yang harus dipikul oleh seorang guru ketika ia berhadapan dengan siswa-siswanya. Menurutnya, dibutuhkan sikap yang penuh kehati-hatian dan bijak dari seorang guru. “Tidak perlu jauh-jauh, belajar dari pengalaman saya ini, Anda bisa melihat bagaimana efek sebuah sikap dan cara pendekatan yang kurang tepat akan begitu berpengaruh pada masa depan seseorang dalam proses belajar mengajar,” katanya.

Selain itu, pengalaman itu juga memberikan pelajaran lain, yaitu dapat dipergunakan sebagai gambaran dalam belajar musik. “Bahwa belajar musik, apapun instrumennya, lebih-lebih piano sesungguhnya sesuatu yang tidak menyenangkan. Pelajaran piano dimanapun sangat melelahkan dan menjemukan. Ironisnya, tidak sedikit guru yang terjebak pada bottleneck ini: yaitu, mereka membuat musik begitu menyiksa siswa. Mengapa bisa begitu? Karena mereka tidak memahami bagaimana berkomunikasi dan mengkomunikasikannya,” kata Berenson.

Menurut Berenson, sebuah pertanyaan bagi seorang guru musik yang harus selalu dipertanyakan dalam dirinya sendiri adalah: apa tanggung jawab yang paling pokok dari seorang  guru musik?     Barangkali jawabannya sangat jelas, yaitu mengajarkan kepada siswa bagaimana cara memainkan musik. Itulah jawaban yang tepat. Tetapi bila kita cukup puas berhenti hanya sampai pada pemahaman itu, berarti ia telah kehilangan dua hal penting dalam belajar musik. Yakni bagaimana memperkenalkan kecintaan dan kegembiraan pada anak-anak ketika belajar memainkan musik, serta bagaiamana seorang guru dapat membantu mengembangkan ketrampilan siswa agar mereka dapat megajar diri mereka sendiri, menurut pandangan Berenson.

Mengapa aspek kecintaan dan kegembiraan dalam bermain musik menjadi sangat penting? Menurut Berenson betapapun tinggi pengetahuan yang dimiliki oleh seorang guru terhadap subyek materi, tetapi hal itu tidak akan terlalu banyak berarti apabila mereka tidak dapat mengkomukasikannya atau menyampaikan sebuah kegembiraan saat memainkan musik dan menumbuhkan semangat bagi mereka untuk terus mempelajarinya.

Padahal guru diharapkan dapat membantu siswa mengembangkan skill yang dimilikinya agar mereka dapat mandiri dan mengajar dirinya sendiri. Atau dengan kata lain, mengusahakan agar siswa mandiri. Kemandirian siswa adalah tujuan penting yang harus dikejar oleh seorang guru.            Untuk mengembangkan kemandirian ini, guru harus memberikan seperangkat “peralatan” kepada siswa yang diharapkan dapat memberikan ketrampilan bagi siswa untuk menemukan jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang dihadapinya dengan cara mereka sendiri dalam sebuah kesempatan untuk bereksperimen dengan menggunakan perangkat tersebut.

Memberikan motivasi kepada siswa adalah sebuah tantangan. Dan ini membutuhkan skill ekstra karena setiap pribadi siswa bersifat unik. Dalam sebuah sekolah musik, mungkin terdapat sebagian anak yang justru terpacu ketika mereka dijanjikan sebuah hadiah, sementara sebagian lainnya justru merasa lebih termotivasi ketika mereka dilibatkan dalam sebuah konser, sedangkan sebagian lainnya merasa kompetisi adalah caramenunjukkan jati dirinya.

Demikian juga dalam kehidupan sehari-harinya, ada anak-anak yang mudah bergaul dengan teman-temannya, tetapi ada yang masih ingin ditemani orang tuanya, ada juga yang cenderung pendiam dan sebagainya. Semuanya itu adalah sifat-sifat unik yang ada dalam masing-masing individu. Guru diharapkan dapat memanfaatkan keunikan mereka dalam membuat pendekatan-pendekatan yang juga unik kepada siswanya. Mengajak seorang anak menghargai dirinya sendiri adalah tujuan akhir dalam sebuah pengajaran. Dengan cara kita berusaha memberikan motivasi, dorongan dan inspirasi pada mereka untuk bekerja keras agar mereka dapat meraih keinginannya menjadi seorang musisi yang baik.

Lingkungan belajar juga memainkan pernanan penting dalam membentuk sesuah system penilaian yang hakiki. Bila anak-anak merasa ide maupun gagasannya mereka dapat diterima, mereka akan merasa dihargai dan termotivasi untuk mulai bertangung jawab terhadap proses belajar mengajar diri mereka sendiri. Penghargaan, penerimaan, keberhasilan, status dan kemandirian adalah lima dasar kebutuhan psikologi yang perlu kita miliki. Meskipun memang, tidak setiap pelajaran dapat menghasilkan lima kebutuhan tersebut, namun setiap orang membutuhkan penilaian dan penerimaan dari seorang guru. Bagaimanapun bentuknya, yang pentingadalah setiap siswa merasa dinilai sebagai seorang individu, kata Berenson.

Untuk menghindari kesan adanya tekanan atau agar seorang siswa merasa tidak tertekan, bukanlah tugas yang mudah. Dalam hal ini dibutuhkan kehati-hatinya dalam penggunaan kata-kata. Berikan kritik maupun saran-saran yang membangun kesadaran dan pemahaman tentang sebuah keberhasilan, yang dapat menumbuhkan kesadarandan semangat. Seorang siswa harus dapat mempercai gurunya agar ia dapat merasakan rasa ‘aman’. Karena itu apapun komentar guru, hendaknya harus benar-benar diberikan dalam porsi yang tepat, jujur dan tulus. Perlu diingat juga bahwa sensivitas perasaan tiap orang tidaklah sama. Meskipun hasil sebuah performance adalah tataran penilaian tertinggi dalam belajar musik, tetapi tidak ada salahnya guru tetap mengedepankan aspek lainnya lebih dulu sesuai dengan apa yang dibutuhkan siswa.

Demikian juga dalam melihat sebuah keberhasilan atau memberikan penghargaan, guru perlu berhati-hati, karena keberhasilan hanyalah salah satu aspek dari sebuah penilaian. Bahkan seandainya seorang anak tampil dengan performance yang buruk, ia tetap berhak mendapatkan penghargaan untuk aspek-aspek lainnya. Misalnya, bagaimana ia selama belajar, bagaimana jerih payahnya, effortnya, usahanya dan sebagainya. ”Komentar-komentar yang tidak menyalahkan, tidak bersifat konfrontasi akan memberikan pengaruh balik yang positif dari siswa. Karena ia merasa tidak dikecilkan,” katanya.

Atau kuncinya adalah, bedakan antara hasil akhir dengan usaha jerih payahnya. Senantiasa berikan kekuatan dan keyakinan pada siswa. Dengan cara ini guru dan siswa dapat  bekerjasama menghasilkan sesuatu yang diharap kan bersama-sama. (dini)

Article Bottom Ad