SETIAP tanggal 21 Juni rutin diperingati warga dunia sebagai Hari Musik Dunia. Lebih dari 700 kota di seratusan negara merayakannya dengan mendengar dan bermain musik di luar ruangan. Hajatan ini bukan semacam pesta tahun baru yang menghamburkan uang. Misi mulia dua inisiatornya, Yehudi Menuhin dan Boris Yarustowski (46 tahun lalu) adalah mendorong setiap manusia untuk meletakkan musik sebagai bagian penting dari kehidupan, musik sebagai pandangan hidup.
Apakah benar musik punya kekuatan, sehingga keberadaannya dianggap penting layaknya hukum dan agama? Sebesar apa kekuatannya hingga rasanya perlu direfleksikan oleh warga dunia? Bukankah (di Indonesia) musik lebih (dianggap) industri hiburan?
Tak terbayangkan betapa riuh dan eksotisnya jika Indonesia turut merayakan Hari Musik Dunia. Seluruh etnis yang ada serentak memainkan alat musik tradisional mereka di luar rumah, di lapangan, jalanan, ada juga nyanyian-nyanyian tradisi yang unik, yang sengaja dihindari televisi swasta karena dianggap kurang laku dibanding kompetisi nyanyi pop.
Peristiwa ini akan memantik perhatian setiap orang yang selama ini buta pada kekayaan budaya bangsa sendiri. Sayangnya itu belum pernah. Hari Musik Nasional pun, yang dirutinkan tiap 9 Maret, masih menjadi hajatan yang belum memiliki dampak atau substansi signifikan.
Musik dan kekuatannya
Musik adalah peristiwa bunyi yang senyatanya mampu menembus ruang, waktu, bahkan sekat-sekat fisik dan psikologis—menjadikan segala sesuatu yang tadinya terasa mustahil menjadi mungkin. Mempertemukan Israel dan Palestina dalam satu panggung misalnya, adalah bukan perkara mudah.
Pada tahun 1999 pianis dan komposer Daniel Barenboim dan ahli teori budaya Edward Said mewujudkan niat yang terasa mengada-ada itu, mereka membidani lahirnya West-Eastern Divan Orchestra, sebuah orkestra yang terdiri dari musisi Palestina, Israel dan negara-negara Arab lainnya. Harapan untuk memberikan dorongan, pengetahuan, dan niat mewujudkan masa depan yang lebih baik menjadi cita-cita orkestra ini. Singkatnya, terwujudnya perdamaian antar umat manusia. Sampai sekarang orkestra ini bertahan dengan tagline luar biasa: Equal in Music.
Begitu banyak contoh lain tentang kekuatan musik selain mendorong perdamaian. Tak terbayangkan betapa penatnya kehidupan di dalam penjara atau panti rehabilitasi, misalnya. Musik mampu hadir menghibur dan melembutkan perasaan penghuninya. Musik mengurangi stres, memanjangkan umur, melatih kepekaan diri, sosial, emosional, bahkan meningkatkan kecerdasan, karena bunyi yang sifatnya langsung menembus area psikologis dan neurologis manusia. Sufi Hazrat Innayat Khan menyebutnya dengan “mistisisme bunyi”. Musik juga terhubung kepada konteks-konteks lain yang dibutuhkan manusia.
Musik dan Konteks
Plato mengaitkan musik dengan moralitas; Phytagoras menguji lebih serius hubungan musik dengan matematika (maka lahirlah hukum tala); Aristoteles juga telah berbicara tentang musik dan makna keindahan yang hidup di alam batin manusia (psikologi, estetika); Thomas Aquinas menganggap bahwa penciptaan seni (tak terkecuali musik) berhubungan dengan teologi, para kreator bisa berkarya dengan mengambil tema-tema pokok yang berkaitan dengan religiositas untuk semakin memahami dimensi Ketuhanan. Theodor W. Adorno di zaman modern awal abad ke-20, mengaitkan musik dengan kesetaraan peran dan tanggung jawab di lingkup sosial, dan seterusnya.
Tentu saja kita semua menghindari perayaan sebagai semata euforia. Lalu sesungguhnya apa substansi perayaan Hari Musik Dunia? Apakah kita sudah benar-benar menghargai musik sebagai hasil daya cipta manusia (Indonesia) secara proporsional? Artinya, bahwa apa yang dinamakan “musik” itu fitrahnya sangat luas seperti samudra, bukan pada pengerdilannya dalam keranjang industri semata, yang mengakibatkan munculnya genre-genre, golongan, dan fanatisme.
Dalam surat yang ditulis Menuhin dan Yarustowski (1975) kepada International Music Council, jalan panjang misi Hari Musik Dunia adalah mendorong penyelenggaraan event-event musik yang berbobot, di mana di situ harus ada pertemuan antara seluruh ekosistem pendukung kebudayaan musik, baik komposer, musisi, musikolog, dan tentu saja masyarakat. Yang menarik lainnya adalah usulan untuk bersinergi dengan seni visual, yaitu perlunya diselenggarakan pameran baik poster, lukisan, patung, karikatur, maupun fotografi yang bertemakan musik. Program radio dan televisi (yang ketika itu memang menjadi primadona) ditantang untuk lebih produktif menyiarkan dialog-dialog musik. Upaya itu juga perlu dilengkapi dengan produktivitas di dunia penerbitan dan rekaman.
Dibutuhkan Pemikir
Bagaimana masyarakat Indonesia menanggapi misi-misi brilian dalam momen Hari Musik Dunia ini, terutama meletakkan musik sebagai pandangan hidup manusia, melengkapi hukum, agama, kebudayaan, politik, dan lain-lain? Bukankah upaya ini perlu pemikir dan pemikiran serius? Dengan demikian musik tidak hanya produk praktis dan hiburan, tapi juga produk pengetahuan.
Suatu ketika alm. Gus Dur berbicara empat mata pada Mahfud MD. “Pak Mahfud, PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) sekarang sedang butuh banyak pemikir, bukan cuma pekerja, Anda harus gabung PKB,” kata Gus Dur. Itu hanya ilustrasi bahwa jika obrolan itu kita geret ke soal musik, maka faktanya sama saja: banyak pekerja musik dan masih langka pemikir musik. (*)
Oleh:
Erie Setiawan
(Musisi)