Disorientasi dan frustasi, adalah kondisi psikologis yang sangat kompleks, yang tidak hanya menyangkut psikis, namun juga fisik. “Rasa frustasi ibarat pedang bermata dua. Ia bisa melukai Anda tetapi juga bisa membantu Anda, tergantung bagaimana Anda menyikapinya,” kata Thomas Hess.
Para komposer besar menghadapi kefrustasiannya dengan berbagai cara. Beethoven dan Brahms misalnya, mampu menemukan sisi positif dan jalan keluar yang cerdas. Tetapi sebaliknya Sibelius tak pernah bisa mengatasi rasa frustasinya. Ia mungkin contoh paling ekstrim bagaimana seseorang membiarkan rasa frustasi menghancurkan musikalitasnya. Sedihnya, ia meninggal tanpa bisa menyelesaikan satupun komposisi yang cukup substansial selama 30 tahun terakhir kehidupannya.
Di sisi lain, dengan susah payah dan perjuangan sangat berat, Beethoven tak membiarkan rasa frustasi menghancurkan kehidupan dan musikalitasnya. Ia mulai membuat komposisi lagi setelah 13 tahun berhenti sebagai pianis akibat telinganya tuli. Hebatnya, beberapa karya agungnya justru tercipta di tahun-tahun terakhir kehidupannya, ketika kondisi kesehatannya tak sempurna.
Beethoven adalah contoh seseorang yang memiliki semangat hidup dan effort luar biasa. Ia mampu keluar dari rasa frustasi. Tidak kenal menyerah, dan ia membuktikan bahwa cacat fisik tidak menghalangi seseorang untuk berkarya dan menciptakan karya-karya besar.
Brahms pun menemukan dirinya kembali 21 tahun kemudian setelah ia membuat symphony pertamanya. Boleh jadi, Beethoven menjadi inspirasi Brahms untuk bergerak maju. Pada akhirnya, Brahms menemukan cara untuk mengatasi rasa frustasinya, dan menemukan kembali keyakinannya. Ia akhirnya dapat menyelesaikan symphony berikutnya kurang dari setahun.
Dua sebab pokok
Rasa frustasi seringkali menghinggapi pemain musik dan dalam beberapa kasus sering disebabkan dua hal: yakni perasaan rendah diri dan perasaan terlalu tinggi berharap. Dua-duanya memiliki potensi untuk menjatuhkan semangat seseorang khususnya bagi mereka yang masih dalam tahap belajar.
Hess memberikan contoh. Suatu ketika ia membuat test kecil untuk murid-muridnya, untuk mengetahui sejauh mana mereka memiliki presepsi tentang dirinya sendiri. Ia mengajak beberapa siswa menonton sebuah konser oleh seorang pianis terkenal. Setelah itu, Hess meminta mereka untuk menulis apa yang dirasakan mereka setelah menonton pertunjukan itu.
Beberapa anak mengatakan, “Saya kagum dengan permainannya, saya ingin seperti dia,” Yang lain menulis, “Melihat permainannya rasanya aku tak berguna. Terlalu jauh bagiku untuk bisa seperti dia. Apakah aku bisa seperti dia? Berapa lama waktu yang kubutuhkan? Sia-sia saja aku belajar,” beberapa anak menulis, “Melihat permainannya, membuatku malas belajar,”.
Hess tersenyum membaca komentar murid-muridnya. “Saya tidak memberikan penilaian apapun untuk mereka. Juga tidak memvonis. Saya hanya ingin tahu, bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri. Bagi saya ini penting, karena hal itu ada hubungannya dengan motivasi belajar,” katanya.
Adalah manusiawi bahwa seseorang cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain. Akan tetapi orag-orang memandang dirinya lebih rendah dibanding orang lain, akan mudah jatuh dalam perasaan frustasi. Mereka yang terlalu memandang rendah orang lain pun, akan mudah tergelincir perasaan sombong.
“Ujung dari kesombongan adalah perasaan frustasi, sebab seseorang yang merasa lebih tinggi dari orang lain, seringkali tidak pernah menyadari kekurangannya. Mereka mungkin mengakui kekurangan dan kelemahan, namun mereka membohongi diri. Pada titik tertentu, perasaan seperti itu membawa mereka jatuh dalam perasaan frustasi,” kaa Hess.
Cara cerdas dalam mengtasi frustasi adalah dengan menjadikannya sebagai tantangan. Ini memang tidak mudah, sekali lagi, karena tergantung bagaimana seseorang menyikapinya. Seringkali seorang pemain merasa rendah diri, dan melihat dirinya bodoh, setelah melihat permainan orang lain yang lebih tinggi. Disinilah perlunya seseorang mempunyai rasa percaya diri. Seringkali pemain tidak pernah meraih potensinya sendiri oleh karena itu mereka merasa tidak dapat mengukurnya dengan pemain lain atau harapan-harapan mereka sendiri.
“Pertanyaan yang menarik adalah, mengapa Anda membandingan diri dengan orang lain? Apakah akan menjadi masalah apabila Anda sebaik atau tidak sebaik orang lain? Tentu saja tidak bukan?” kata Hess.
Musik, menurut dia, seharusnya tidak dipahami sebagaimana sebuah olahraga yang bersifat kompetitif, tetapi musik harus dipahami sebagai sebuah seni. Yang terpenting dari itu semua adalah, seberapa bagus Anda mampu mengekspresikan diri. “Jadi menurut saya, pertanyaan pentingnya adalah, apakah Anda benar-benar memiliki skill untuk mengekspresikan secara penuh diri Anda dalam musik?’ kata Hess.
Kedewasaan
Dalam hal ini, kata Hess, yang diperlukan adalah kedewasaan dalam melihat, menilai dan menerima kenyataan. “Saya tidak terlalu suka dengan permainan piano Steve Wonder, tetapi saya harus mengakui bahwa ia bisa mengekspresikan dirinya dengan sangat baik. Meskipun kenyataannya Steve mungkin agak primitive dan kemampuannya terbatas, pemahamannya tentang teori musik mungkin nol, semua itu tidak meghalanginya untuk mampu berekspresi dengan total dalam musiknya. Sebaliknya, betapa banyak pemain yang memiliki banyak pengetahuan musik, tetapi gagal membawakan musik dengan musikal,” kata Hess.
Dalam pandangannya, seseorang pada dasarnya memiliki keunikan yang bereda dengan orang lain. Setiap pribadi adalah unik. Oleh karena itu, kurang tepat apabila hasil perbandingan dengan orang lain adalah meletakkan setiap orang pada posisi lebih tinggi atau lebih rendah.
Dalam kasus Steve Wonder, kata Hess, Steve justru akan tersiksa dan merasa frustasi jika harus mengikuti standar permainan dan pemahaman musikalitas sebagaimana yang orang harapkan. “Steve tidak berarti jelek, tetapi ia memiliki keunikan, yang menjadi kekuatannya. Jika seseorang mencoba memahami Steve dengan kerangka berpikirnya sendiri, ia akan frustasi. Tetapi jika ia memahami Steve sebagai pribadi yang unik, yang berbeda dengan orang lain, kita bisa memahami musikalitasnya yang unik, yang dengan itu ia bisa berekspresi dengan sangat musikal. Dengan ini saya ingin mengatakan bahwa, Anda tidak harus merasa rendah diri tetapi juga jangan over expectation. Jika suatu ketika Anda merasa frustasi, jadikan itu sebagai kekuatan positif untuk motivasi dan inspriasi,” kata Hess.
Para master dari berbagai bidang seni pun, mengalami apa yang dirasakan para musisi, baik yang professional maupun amatir. Mereka mengalami saat-saat genting dalam perjalanan karirnya, dan mampu melewatinya karena bisa menjadikan rasa frustasi sebagai kekuatan motivasi dan inspirasi untuk bergerak maju. (rara)