DISLEKSIA sekarang dikenal luas tetapi kurang dipahami secara spesifik. Disleksia adalah gangguan dalam proses belajar yang ditandai dengan kesulitan membaca, menulis, atau mengeja. Penderita disleksia akan kesulitan dalam mengidentifikasi kata-kata yang diucapkan dan mengubahnya menjadi huruf atau kalimat.
Disleksia tergolong sebagai gangguan saraf pada bagian otak yang memproses bahasa. Kondisi ini dapat dialami oleh anak-anak atau orang dewasa. Meskipun disleksia menyebabkan kesulitan dalam belajar, penyakit ini tidak memengaruhi tingkat kecerdasan penderitanya. Belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan disleksia, tetapi kondisi ini diduga terkait dengan kelainan genetik yang memengaruhi kinerja otak dalam membaca dan berbahasa. Kompleksitas masalah meningkat dengan fakta bahwa disleksia dan kesulitan membaca dan menulis dapat bervariasi sesuai dengan latar belakang budaya dan bahasa.
Disleksia adalah cacat tersembunyi yang diperkirakan mempengaruhi sekitar 10% populasi, 4% diantaranya berkatagori parah. Penting untuk diingat bahwa jenis disleksia yang paling sering terjadi tidak hanya disebabkan oleh kesulitan fonologis, tetapi mungkin juga muncul di bidang non-literal seperti musik. Pengajaran musik yang baik dapat membantu penderita disleksia menghindari kesulitan. Bagaimana otak membaca musik?
Jennifer Mishra, Associate Professor, Music Education, University of Missouri-St. Louis mengatakan, penderita disleksia bisa mempelajari musik sebagaimana orang-orang yang tidak mengalami disleksia. Perbedaannya hanya pada soal waktu. Secara umum, musik lebih “bisa diterima dengan mudah” oleh penderita disleksia dibanding bidang lainnya.
Pendidikan musik di dunia barat sering menekankan literasi musik, kemampuan membaca notasi musik dengan lancar. Tetapi ini tidak selalu merupakan tugas yang mudah, bahkan untuk musisi profesional. Yang menimbulkan pertanyaan: Apakah ada yang namanya disleksia musikal?
Disleksia adalah ketidakmampuan belajar yang terjadi ketika otak tidak mampu memproses kata-kata tertulis, bahkan ketika orang tersebut telah mendapatkan pelatihan membaca yang tepat. Para peneliti memperdebatkan penyebab dan pengobatan yang mendasarinya, tetapi teori yang dominan adalah bahwa orang dengan disleksia memiliki masalah dengan pemrosesan fonologis, yakni kemampuan untuk melihat simbol (huruf atau fonem) dan menghubungkannya dengan suara ucapan.
Disleksia sulit untuk didiagnosis, tetapi diperkirakan terjadi pada 10% populasi. Pada tahun 2000, Neil Gordon, pensiunan ahli saraf pediatrik, mengusulkan gagasan disleksia musik (dismusia), berdasarkan bukti yang berkembang bahwa area otak yang terlibat dalam membaca musik dan teks berbeda.
Gagasan bahwa disleksia dapat memengaruhi pembacaan simbol non-bahasa bukanlah hal baru. Misalnya, diskalkulia adalah kesulitan membaca dan memahami simbol matematika. Penelitian terbaru mendukung disleksia dan diskalkulia sebagai kondisi terpisah dengan penyebab unik (diskalkulia diperkirakan disebabkan oleh defisit dalam pemrosesan spasial di lobus parietal). Jika otak memproses kata dan simbol matematika secara berbeda, mengapa simbol musik tidak juga?
Musik Barat, seperti bahasa, memiliki sistem pengkodean yang sangat berkembang. Ini memungkinkannya untuk ditulis dan ditransmisikan dari komposer ke pemain. Tapi musik, tidak seperti bahasa, menggunakan pengaturan spasial untuk nada yang diletakan dalam lima baris paranada. Pada dasarnya, semakin tinggi simbol ditempatkan pada garis paranada, semakin tinggi nadanya.
Tidak seperti huruf dalam teks, nada dapat ditumpuk, menunjukkan penampilan simultan (akord). Musik juga menggunakan sistem simbol untuk menunjukkan bagaimana nada harus dimainkan. Simbol dapat menunjukkan durasi (ritme), volume (dinamika) dan isyarat penampilan lainnya. Musik juga menggunakan kata-kata tertulis untuk menunjukkan fitur ekspresif musik dan lirik dalam musik vokal. Lirik mungkin dalam bahasa yang tidak diucapkan oleh pemain. “Karena perbedaan fitur fisik dari sistem tertulis, masuk akal jika otak membaca musik dan teks secara berbeda. Ini tampaknya menjadi kasus, setidaknya sampai batas tertentu,” kata Jennifer Mishra
Membaca Teks dan Musik di Otak
Di otak, membaca musik adalah aktivitas multi-modal yang tersebar luas, yang berarti bahwa banyak area otak yang berbeda terlibat pada saat yang bersamaan. Ini termasuk motorik, visual, pendengaran, audiovisual, somatosensori, areal frontal di kedua belahan otak dan otak kecil, membuat membaca musik benar-benar aktivitas otak secara keseluruhan. Dengan pelatihan, jaringan saraf menguat. Bahkan membaca satu nada pun mengaktifkan jaringan luas ini di kalangan musisi. Sementara membaca teks dan musik berbagi beberapa jaringan, mereka sebagian besar independen. Pola aktivasi untuk membaca simbol dan huruf musik berbeda di seluruh otak.
Kerusakan otak, terutama jika meluas, seperti yang terjadi pada komposer Maurice Ravel, (mungkin paling dikenal dengan karyanya berjudul Boléro), kemungkinan akan mengganggu kemampuan membaca teks dan musik. Ravel memiliki bentuk demensia lobus frontotemporal. Namun, ada kasus di mana cedera otak yang lebih terbatas mengganggu pembacaan satu sistem pengkodean dan menyelamatkan yang lain.
Ian McDonald, seorang ahli saraf dan pianis amatir, mendokumentasikan hilangnya dan pulihnya kemampuannya sendiri untuk membaca musik setelah stroke, meskipun kemampuannya untuk membaca teks tidak terpengaruh. Oliver Sacks menggambarkan kasus seorang pianis profesional yang, melalui penyakit otak degeneratif (Posterior Cortical Atrophy), pertama kali kehilangan kemampuannya untuk membaca musik sambil mempertahankan kemampuan membaca teksnya selama bertahun-tahun. Dalam kasus lain, menunjukkan pola yang berlawanan, seorang musisi kehilangan kemampuannya untuk membaca teks, tetapi mempertahankan kemampuannya untuk membaca musik.
Kasus-kasus di mana musik dan bahasa tampaknya dipengaruhi secara berbeda oleh kerusakan otak, telah menarik perhatian para peneliti selama berabad-abad. Kasus paling awal yang dilaporkan tentang seseorang yang tidak dapat berbicara, tetapi mempertahankan kemampuannya untuk bernyanyi, ada di artikel tahun 1745, On a Mute who Can Sing.
Komposer Rusia, Vissarion Shebalin, tiba-tiba kehilangan kemampuan bahasanya setelah terkena stroke parah, tetapi mempertahankan kemampuannya untuk menulis. Mempertahankan kemampuan bernyanyi tanpa adanya bahasa telah menyebabkan terciptanya pengobatan terapeutik yang disebut Terapi Intonasi Melodik (Melodic Intonation Therapy) yang pada dasarnya menggantikan ucapan dengan lagu. Hal ini memungkinkan pasien untuk berkomunikasi secara verbal. Kasus-kasus ini dan banyak kasus lainnya menunjukkan bahwa musik dan bahasa sampai batas tertentu merupakan proses neurologis yang terpisah.
Perbedaan kemampuan membaca dapat terjadi bahkan dalam notasi musik. Kasus telah dilaporkan di mana musisi kehilangan kemampuan mereka untuk membaca nada, tetapi mempertahankan kemampuan mereka untuk membaca ritme, dan sebaliknya. Studi MRI telah mengkonfirmasi bahwa otak memproses nada (informasi spasial) dan ritme (pengenalan simbol) secara berbeda.
Disleksia Musik
Penelitian mulai menyiratkan bagaimana disleksia musik khusus dapat terjadi. Defisit ini mungkin berpusat pada nada atau simbol musik atau keduanya. Belum ada kasus konklusif dari disleksia musik yang dilaporkan dan upaya untuk menentukan efek disleksia pada pembacaan notasi musik tidak meyakinkan.
Anak-anak di budaya barat diajarkan membaca teks, tetapi tidak selalu diajarkan membaca musik. Meskipun demikian, ketidakmampuan membaca musik umumnya tidak dianggap sebagai masalah serius. Banyak musisi berbakat dapat berfungsi pada tingkat professional, murni belajar musik dengan telinga. Di antara musisi, ada berbagai macam kemahiran membaca musik. Hal ini terutama terlihat dengan sight reading (membaca selintas sebuah notasi). “Mengidentifikasi disleksia musik dapat membantu menjelaskan mengapa beberapa musisi membaca dengan baik dan yang lainnya tidak,” Jennifer Mishra. (eds)