NADYA JANITRA meraih gelar Bachelor (2011) dan Master Degree in Performance (2013) dari Den Haag Royal Conservatoire. Menemukan kegemarannya dalam mengajar piano, ia memulai karir mengajarnya saat berusia 17 tahun di Yayasan Pendidikan Musik (YPM) Jakarta. Ia meraih gelar Minor Degree in Teaching dari Den Haag Royal Conservatoire pada tahun 2011. Pada 2014 diterima sebagai Dosen Piano di Universitas Pelita Harapan hingga sekarang. Murid-muridnya memenangkan kompetisi piano nasional maupun internasional. Banyak muridnya diterima di Conservatorie di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Spanyol, Belanda, Inggris, Rusia, dan Amerika Serikat. Sebagai founder European Music Curriculum (EMC), Nadya mengepalai 8 sekolah musik di Jabodetabek. Dengan nilai, idealisme, dan semangatnya dalam pendidikan musik, ia berharap dapat menginspirasi dan mengembangkan generasi penerus di Indonesia.
Kelihatannya bakat musik Anda bertumbuh subur di lingkungan yang memang pemusik ya?
Dunia musik tidak asing sejak kecil. Pertama kali dikenalkan musik oleh ibu saya, Ibu Susiana Adhitjan, pada usia 4 tahun. Beliau pianis dan juga guru piano. Pada usia 5 tahun saya diterima di Sekolah Musik YPM dibimbing Ibu Linny Sugianto. Saya lulus Persiapan Konservatorium 3 dan mendapat penghargaan YPM Artist Award 2004. Setelah menyelesaikan program Pendidikan Keguruan 4 dibawah bimbingan Ibu Aisha Ariadna Pletscher tahun 2005, saya mengajar di YPM selama 2 tahun. Pada 2007 saya diterima di Royal Conservatory, Den Haag, Belanda, meraih gelar Bachelor of Music tahun 2011 dan Master of Music tahun 2013. Dari keluarga saya, sebenarnya saya sudah generasi ketiga. Oma saya guru piano dan juga main piano. Mama saya juga guru dan pemain piano. Dan sekarang saya meneruskan jejak oma dan mama saya.
Awalnya performer, lalu sekarang teacher. Apa yang membawa Anda sebagai pengajar?
Waktu saya kecil, belajar piano cuma ngikutin mama saja. Seiring berjalannya waktu, mulai muncul ketertarikan dan keseriusan, tapi belum berpikir untuk memilih jadi pianis atau guru piano. Saya mengalir begitu saja. Yang jelas saya senang ketika perform, tapi saya juga menemukan kepuasan saat berbagi pengetahuan dan menyentuh banyak orang dengan ilmu yang saya miliki. Mungkin karena saya generasi ketiga dari keluarga saya, ada bakat juga untuk mengajar. Tapi saya juga merasa bahwa pada akhirnya mengajar itu satu pilihan hidup.
O ya?
Ya. Saat saya masih lajang, saya bisa leluasa mengatur waktu. Tapi ketika saya menikah, dan memiliki anak, maka waktu dan keberadaan saya menjadi pertimbangan, dan saya mulai berpikir untuk memilih salah satu. Performer atau teacher. Tapi bukan itu saja alasannya. Sejak remaja saya sudah mengajar dan sangat menyukainya. Untuk itulah maka saya mengambil Minor Degree in Teaching dri Den Haag Royal Conservatoire, karena mengajar itu juga perlu ilmu, bukan hanya sekedar talent dan panggilan saja, tapi karena it is not for everyone.
Sebagai pilihan hidup, tentu Anda menyadari konsekuensinya
Iya hahaha….semua pilihan ada konsekuensinya. Sejujurnya, profesi guru adalah panggilan, berapapun jumlah uang yang kami terima, percayalah tidak akan pernah sebanding dengan apa yang sudah dicurahkan seorang guru. Benar kira dibayar sebagai pengajar, tapi kalau hanya duit saja yang kita pikirin, ya memang hitungannya nggak akan pernah masuk. Menjadi pendidik itu berarti kita harus kasih hati kita, kita kasih waktu kita. Menjadi pengajar itu berarti you need to love the job. Kadang kalau siswa mau konser misalnya, kita kasih extra lesson, kadang group lesson, yang sebenarnya semua itu diberikan dengan cuma-cuma. Kalau dari segi hitungan nggak akan pernah masuk dengan tenaga, pikiran dan semua yang telah kita korbankan. Jadi kalau nggak ada love di sana, nggak ada passion di sana, menurut saya nggak akan pernah bisa berkarier di bidang pengajaran. Saat menjadi pengajar, kami memberikan hati, waktu dan tenaga yang sering kali lebih daripada yang seharusnya. Sejak kecil saya dididik untuk mengerti otoritas guru sebagai pengajar dan menghargai sosok pendidik. Makanya kadang saya sedih mendengar atau melihat kasus dimana guru kurang dihargai, atau hanya dianggap sebagai orang bayaran atau malah hanya “babysitter” di piano.
Mungkin karena masyarakat belum teredukasi tentang dunia guru musik?
Mungkin juga. Jika saja masyarakat memahami tugas dan tanggungjawab guru musik seperti kami ini, kasus-kasus yang kurang enak itu tak seharusnya terjadi. Saya menyadari, masyarakat kita sendiri memang awam dalam hal pengajaran musik, khususnya piano. Kebanyakan orangtua siswa bukanlah pianis atau musisi. Kenyataannya, hanya sebagian kecil orangtua siswa yang mau terlibat dalam mengikuti proses pengajaran musik anak-anaknya dari waktu ke waktu. Sebagian besar sisanya menyerahkan ke baby sitter, atau terserah gurunya saja. Padahal pengajaran yang ideal adalah yang melibatkan tiga unsur penting, guru, murid, dan orangtua murid
Tapi realitasnya tidak seperti itu. Bagaimana pengaruhnya terhadap proses pembelajaran musik?
Bagi saya yang berangkat dari lingkungan musik yang idealis, dimana guru mengajar dari hati dan berjuang demi kemajuan perkembangan murid-muridnya, kerjasama tiga unsur penting itu, guru, siswa, dan orangtua siswa, menjadi syarat penting bagi keberhasilan murid. Tanpa sinergi yang baik antara guru, murid, dan orangtua murid, jelas sulit untuk mendapatkan kemajuan yang signifikan dalam belajar musik. Seperti diketahui bahwa sebagian besar waktu belajar lebih banyak tersedia di rumah. Disinilah orangtua berperan penting dalam dua hal, yaitu, membuat anak lebih tertarik pada musik atau membiarkan anak sendirian dan merasa kesepian. Peran orangtua dalam proses belajar anak-anaknya, sangat penting, khususnya pada saat anak-anak mereka belum memiliki kemandirian.
Belum lagi kemajuan teknologi yang mengubah perilaku hidup saat ini ya? Apakah itu memberi pengaruh juga?
Betul. Dulu waktu saya masih kecil, jalanan belum terlalu macet seperti sekarang, dan perkembangan teknologi seperti gadget belum ada, jadi sebagai murid mempunyai banyak waktu untuk latihan, atau menguasai lebih banyak bahan. Dengan perkembangan jaman dan teknologi komunikasi saat ini, memang menjadi lebih banyak tantangan. Saya merasakan karena sekarang posisinya saya sebagai pengajar. Dari segi waktu, kadang murid sulit membagi waktu akibat banyaknya kegiatan mereka. Bagaimanapun hebat dan efektifnya cara guru mengajar, dan betapapun hebatnya bakat siswa, belajar musik tetap saja sebuah kegiatan yang hanya berlangsung setengah jam dalam seminggu, dari begitu banyak kegiatan lain. Jadi menurut saya, tantangan guru musik saat ini jauh lebih berat dibanding dua atau tiga dekade sebelumnya
Apakah tantangan itu juga mengubah paradigma guru dalam mengajar?
Saya tidak tahu persis, tetapi seharusnya paradigma mengajarpun mestinya berubah ke arah yang lebihbaik, kreatif, efektif dan efisien, sebagai jawaban dari tantangan yang dihadapinya. Tapi di sisi lain, saya juga cukup sedih bila mendengar kalau dunia pendidikan musik saat ini di monetasi begitu rupa sehingga yang dipikirkan bukan kemajuan dan pendidikan kepada anak-anak, namun hanya sibuk mencari keuntungan pribadi semata.
Maksudnya, apakah menjadi kian komersial begitu?
Saya tidak mengatakan itu. Saya menyadari bahwa karakteristik umum di antara banyak pendidik musik adalah kita sering kewalahan dengan pekerjaan. Stres terus menerus dari pekerjaan kita, kurangnya rasa hormat dari orangtua, tuntutan untuk memenuhi harapan yang tidak realistis, dan terlalu memaksakan diri. Semua itu telah menyebabkan banyak guru musik mengorbankan kesejahteraan pribadi mereka. Dikotomi ini terjadi karena kita membiarkan stres dan tanggung jawab terkait pekerjaan, mengganggu kehidupan pribadi kita. Di sisi lain, kita dikejar kebutuhan hidup yang terus naik dan sering datang tiba-tiba. Hidup memang butuh uang. Banyak sekali kebutuhan hidup dan itu adalah realita, namun menurut saya, saat kita fokus kepada Tuhan, serta tulus dan passionate atas apa yang kita kerjakan, saya percaya bahwa berkat akan mengejar kita kemanapun kita berada. Saat guru hanya memikirkan keuntungan apa yang bisa didapat dari mengajar, dan bukan hal apa yang bisa menginspirasi seorang anak, mungkin berkarier di bidang pendidikan bukan jawaban yang tepat.
Jaman telah berubah dan tak bisa dihindari. Bagaimana seharusnya dunia pengajaran musik mengatisipasinya?
Harus secepatnya mencari terobosan yang kreatif, efektif dan efisien. Kita tidak bisa lagi menggunakan paradigma lama, yang mungkin sebagian sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang. Seperti apa terobosannya, terserah pelaku di dunia pengajaran musik. Kalau tidak, kita akan kewalahan dan stress
Sebagai pengajar musik di tengah jaman yang sedang berubah ini, apa yang Anda lakukan?
Me-reset kembali apa sebenarnya esensi pengajaran musik. Piano khususnya. Dari pengalaman saya, banyak anak-anak yang belajar musik saat ini hanya disibukan dengan program-program, yang sayangnya bukan program edukasi, melainkan program marketing. Program edukasi dan program marketing ini jelas beda untuk edukasi music pada umumnya. Kalau program edukasi itu berguna untuk anaknya, tapi kalau program marketing belum tentu berguna untuk anaknya. Dari situlah saya tergerak untuk berpartisipasi mengembalikan esensi pengajaran musik, khususnya piano, ke jalur yang benar.
Apa itu program edukasi dan program marketing?
Program edukasi itu misalnya program yang didesain untuk membangun teknik, supaya murid bisa belajar lebih baik, efektif dan efisien, membuat lebih percaya diri waktu tampil di panggung. Jadi program edukasi itu untuk kepentingan murid. Sementara program marketing itu untuk kepentingan institusi. Misalnya, programnya sebenarnya tidak terlalu berguna. Murid tidak terlalu penting memainkan satu lagu yang sudah diprogramkan, tapi itu tetap dipakai demi untuk kepentingan institusinya. Dari sisi itu saya kurang setuju. Mestinya murid diberikan program yang memang berguna untuk kepentingan kemajuannya. Jadi saya pikir, anak Indonesia ini juga harus diberikan program edukatif, yang berguna untuk kemajuannya.
Apakah Anda melihat kebanyakan sekolah atau kursus musik di kita lebih ke program marketing?
Ada yang iya, ada yang tidak. Cuma kadang-kadang pendekatan yang program marketing lebih dikenal luas di kalangan masyarakat dibanding yang edukatif. Jadi alangkah baiknya kalau program edukatif ini bisa dikenalkan ke masyarakat dengan marketing yang baik, dan bisa diakses oleh lebih banyak orang, untuk mengedukasi masyarakat juga bahwa apa sih yang dimaksud dengan edukasi musik itu? Menurut saya ini penting karena masyarakat kita kan awam dengan edukasi musik, dengan main piano misalnya. Di sisi lain murid juga harus dikenalkan apa itu edukasi musik, apa sih pentingnya?
Apa yang penting dalam edukasi musik?
Saya kira kurikulumnya. Perlu disadari bahwa pendidikan musik adalah disiplin yang berfokus pada pengajaran dan pembelajaran pengetahuan dan keterampilan musik. Pengajaran dan pembelajaran musik mengambil berbagai bentuk, dan melibatkan berbagai konsep dan genre musik. Jadi harus jelas dulu sejak dari awal, kita berada dimana, mau kemana, dan bagaimana cara mencapainya. Untuk itu perlu sebuah kurikulum yang jelas. Kurikulum itu ibarat sebuah jalan yang membantu guru membimbing siswa dari langkah pertama mereka selama mereka berada di sekolah musik.
Kurikulum yang baik itu seperti apa?
Perlu diketahui dulu bahwa kurikulum pengajaran piano itu bukanlah silabus ujian, juga bukan buku-buku metode. Kurikulum harus berakar pada tujuan kita sebagai guru untuk kepentingan siswa kita. Bukan tujuan Randall Faber. Bukan tujuan John Thompson. Tapi tujuan kita sendiri. Jalur yang kita susun akan menentukan di mana siswa kita akan berakhir. Jadi kurikulum yang baik itu perlu mencerminkan tujuan yang kita miliki untuk siswa kita dan jenis guru yang kita inginkan. Menetapkan kurikulum pengajaran piano tidak berarti kita terkunci di dalamnya. Ini hanya menyediakan kerangka kerja untuk mengeksplorasi musik dan mengembangkan musisi hebat yang bisa pergi ke mana pun mereka mau karena mereka memiliki keterampilan untuk melakukannya.
Apakah itu yang jadi pemikiran ketika mengusung European Music Curriculum sebagai basis sekolah musik Anda?
Saya melihat bahwa anak-anak Indonesia itu beragam. Mereka tidak bisa berlomba di gelanggang yang sama. Seperti juga pemain bulutangkis yang tidak semuanya bermain di All England. Ada juga yang di Japan Open, atau di tingkat nasional, atau bahkan di tingkat lokal. Tetapi mereka happy banget bermain bulutangkis. Dan eduksi musik, mestinya bisa memfasilitasi semua kebutuhan itu. Semuanya harus terukur, bermanfaat bagi muridnya. Makanya saya mengadaptasi dari Eropa karena kebetulan saya belajar dari sana, dan mengambil minor music education di Den Haag. Banyak yang diajarkan disana, penting untuk dibawa dan diaplikasikan untuk masyarakat kita. Kurikulum Eropa ini diadaptasi untuk memenuhi kebutuhan anak dan memberikan landasan serta program lengkap untuk menjadi musisi yang berpengetahuan luas
.
Apa bedanya kurikulum Eropa, Amerika, dan lain-lain?
Musik klasik itu memang lahirnya di Eropa. Akar tradisi musik klasik ya di Eropa. Jadi sudah pasti banyak buku-buku yang kita pakai berasal dari komposer-komposer Eropa. Selama saya belajar disana, untuk teknik pengajaran usia dini misalnya, nggak beda dengan apa yang saya pelajari. Dulu waktu saya usia dini belajar di sana mereka nggak langsung pakai buku. Dari usia baby mereka sudah ada kelasnya, dan setelah itu ada tahapan-tahapan selanjutnya yang terstruktur dengan baik. Jadi sistem pendidikan music di Eropa itu sudah sangat mapan. Setelah ini kamu belajar ini, lalu ini, ini…Jadi di Indonesia ini kadang saya kaget, kamu belajar pakai kurikulum apa? Eh…mereka hanya belajar dari bahan penguji yang cuma satu buku: A,B, C dan mereka kira itu adalah kurikulum. Jadi dalam satu tahun hanya belajar bahan-bahan dari badan penguji itu.
Memangnya kenapa?
Perlu saya tekankan disini bahwa buku-buku dari badan penguji itu bukan kurikulum. Kalau setahun hanya belajar A, B,C, ya pasti nggak akan matang. Ibaratnya seperti kita membesarkan anak, kalau kita kasih permen saja, dia tidak akan menjadi anak yang sehat. Misal, “permen” nya dalam bentuk lagu jazz, agar mau latihan hanya dikasih lagu yang jazzy terus hingga melupakan bahan-bahan yang lain. Di EMC, kami sudah ramu sedemikian rupa agar anak mendapatkan komposisi bahan pengajaran yang seutuhnya. Seperti memberikan karbohidrat, protein, vitamin, sayuran yang mungkin rasanya tidak terlalu enak namun berguna untuk perkembangan anak tersebut. Boleh diberi “permen”, namun harus diramu sedemikian rupa sehingga komposisi nya tetap seimbang dengan bahan lain yang memang berguna bagi murid
Bagaimana mensosialisasikan hal itu, khususnya kepada orangtua murid yang sebagian besar awam dengan musik?
Kebanyakan saya menggunakan peribahasa, misalnya, ya nggak semua orang bisa bertanding di gelanggang yang sama, All England misalnya. Mereka juga tanya apa bedanya kurikulum EMC dengan kurikulum dari badan penguji musik seperti ABRSM misalnya? Saya jelaskan, ABRSM itu bukan kurikulum. Mereka itu seperti ujian nasional negara yang di uji di akhir. Tapi setiap sekolah punya kurikulum masing-masing. Ujian tengah semester, ujian semester, kan yang mengadakan sekolah itu sendiri. Orangtua memutuskan untuk masuk ke sekolah tertentu karena tertarik dengan program sekolah tersebut, bukan karena ujian negara. Program suatu sekolah sama dengan EMC.
Ada kecenderungan, guru menggunakan buku-buku gurunya dulu untuk mengajar. Apakah itu cukup?
Memang ini plus minus. Saya ibaratkan kalau anak kita sakit gigi, kita bisa pilih dibawa ke tukang gigi, dokter gigi umum, atau dokter spesialis gigi anak. Itu beda banget hasilnya, karena memang ilmunya berbeda. Jadi untuk meramu sesuatu untuk menjadi sebuah kurikulum yang jelas, kadang-kadang memang membutuhkan ilmu yang lebih, karena memang tidak gampang. Ahli gigi, dokter gigi umum, dengan dokter gigi spesialis anak, ya jelas beda banget hasilnya. Dari cara penanganannya, eksekusinya, pasti berbeda.
Sepertinya tidak ada standarisasi kurikulum ya?
Memang. Sebenarnya pendidikan musik yang seperti apa, harus diedukasikan ke masyarakat. Kenapa beragam, karena masyarakat nggak tahu saja. Nggak pernah belajar piano, atau musik pada umumnya, jadinya ya mereka terima saja. Preferensi orangtua terbatas, sementara masyarakat juga tidak tahu. Sekalipun belum tentu anak akan menjadi ilmuwan, insinyur atau dokter, sebagai orangtua pasti tetap memilih sekolah yang baik agar tetap mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Dengan uang yang dimiliki, tentu kita berharap anak akan mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Demikian juga pendidikan musik. Belum tentu anak kelak mau jadi pianis atau musisi, tetapi kita kan tetap harus memberi pendidikan musik yang baik kan?
Belajar musik ada yang serius, ada yang untuk fun saja. Posisi Anda dimana?
Kurikulum kita ada beberapa jenis. Kalau anak itu datang dan bilang mau masuk conservatory dan segala macam, pasti kita ada jalurnya sendiri. Tapi anak seperti itu tidak terlalu banyak dibanding yang mau belajar sekedar untuk kesenangan saja. Tapi bukan berarti anak yang belajar untuk mencari kesenangan itu hanya diajari lagu pop doang, misalnya. Tidak. Mereka tetap harus belajar teknik yang bagus, bisa baca, bisa menghitung. Intinya, mereka harus punya dasar-dasar yang bagus walaupun mereka hanya ingin untuk fun misalnya. Jadi EMC ini bisa menerima, bisa mengerti, ini anak jalurnya kemana, tetapi basic kita tetap education. Jadi anak tetap dipupuk sedemikian rupa untuk punya pendidikan music yang baik.
Ada yang mementingkan proses, ada yang jalan pintas demi popularitas. Bagaimana dalam pandangan Anda?
EMC itu proses oriented. Program yang kita berikan memang didesain sedemikian rupa dengan pemahaman bahwa proses yang baik dan benar akan menghasilkan output yang baik dan benar pula. Salah satu program kita ada memang kompetisi atau festival, dalam arti untuk menyiapkan murid sebaik mungkin. Cuma, kita nggak pernah nuntut hasilnya. Jadi apapun hasilnya menurut kita itu hanya bonus. Tapi sebagai suatu proses belajar, mereka harus pernah merasakan ikut kompetisi, kalau menurut kami. Karena kompetisi dan konser itu dua konsep yang berbeda. Kalau konser itu kan memanga untuk melatih percaya diri, supaya senang tampil di panggung, supaya dia berani tampil. Kalau kompetisi, memang beda lagi. Peserta kan nggak boleh coba piano, dalam berapa detik dia harus menguasai panggung. Lalu, anak harus bisa mengendalikan stress karena diuji di tempat oleh juri. Menurut kami apapun hasilnya itu nggak masalah. Karena yang penting proses belajarnya. Waktu anak memutuskan dia ikut kompetisi, kita bener-bener persiapkan anak itu 200%, bahkan 400%. Dalam proses, yang diuntungkan anaknya. Tentang hasilnya, kita nggak pernah menuntut, harus juara ini, juara itu, ooo… nggak ada itu. Karena kita selalu bilang ke orangtua, bahwa masuk ke kompetisi hanya untuk pengalaman belajar. Kamu bisa juara, ya puji Tuhan. Kamu nggak juara, nggak apa-apa, karena kamu sudah progress sangat banyak. Jadi yang penting progress-nya
Dalam pandangan Anda, kurikulum yang ideal itu seperti apa, terlepas dari Eropa atau Amerika
Di kami, kurikulum disusun untuk membentuk musisi yang well rounded. Maksudnya, dari berbagai segi dibungkus dengan sebaik-baiknya. Misalnya dari teknik, kemampuan baca not, kemampuan menghitung, dari segi teori, performance, dan dari sisi program. Tapi kita di EMC juga merasa bahwa music itu juga harus relevan pada jamannya. Makanya di kelas-kelas tertentu kita beri tambahan, misalnya kelas improvisasi, karena menurut kami harus relevan pada jamannya. Jangan sampai misalnya, sudah jago banget mainnya, tapi ketika disuruh main lagu jaman sekarang, mereka blank. Berarti mereka tidak punya pengenalan akan harmoni yang baik. Yang terakhir, adalah high quality. Apapun program yang kita berikan kepada anak harus melahirkan kualitas musisi yang baik. Menurut kami, kurikulum yang ideal itu adalah high quality,relevant, dan well-rounded.
Delapan cabang dengan ratusan siswa yang Anda kelola saat ini. Menurut Anda apakah itu sebuah kesuksesan?
Saya rasa bukan soal kuantitasnya. Jumlah tidak serta merta menunjukkan sebuah keberhasilan. Saya merasa sukses jika saya bisa menginspirasi orang lain. Berguna buat orang lain. Sekalipun dia nantinya tidak menjadi musisi, tapi saya merasa berhasil kalau murid tersebut bisa menjadikan musik sebagai sahabatnya. Saat mereka jenuh dengan kehidupanya, saat mereka galau dengan pekerjaanya, mereka bisa datang ke piano, latihan, dan merasa refresh, recharge, dan mereka mencintai musik, saya kira itu lebih bermakna dari sekedar semua yang diukur dengan uang
Apa harapan dan resolusi Anda untuk masa depan?
Sejujurnya, saya selalu membayangkan, jika suatu hari kita dipanggil Yang Maha Esa, pertanyaan apa yang akan ditanyakan kepada saya. Saya rasa, bukan berapa banyak cabang sekolah yang bisa dikelola, berapa ratus murid yang dipercayakan kepada EMC, ataupun berapa jumlah saldo yang ada di bank. Dalam benak saya, Tuhan mungkin akan bertanya, berapa banyak jiwa yang sudah kamu sentuh, berapa banyak orang yang sudah kamu tolong, dan apa yang kamu lakukan dengan talenta yang Kuberikan. Di masa depan, saya berharap dengan talenta yang sudah Tuhan berikan, bisa menginspirasi banyak orang khususnya di dunia pendidikan, baik murid-murid yang dititipkan, ataupun guru-guru musik yang sempat mengenal saya, ataupun manusia pada umumnya. Biar apa yang menjadi buah pikiran, idealisme, dan passion saya dalam bermusik dan dunia pendidikan bisa menghangatkan hati banyak orang.
Baiklah. Selamat tahun baru 2023. Semoga tambah sukses dan sehat selalu
Terimakasih juga. Sukses untuk STACCATO dan seluruh pembacanya. (eds)