Sebuah kesalahpahaman yang nyaris menjadi kebenaran (dan ironisnya banyak diikuti) dalam belajar musik adalah dorongan atau keinginan bahwa murid haruslah seperti gurunya. Seringkali terjadi slogan “Be Yourself” menjadi “Be Myself”. Haruskah murid menjadi seperti gurunya? Atau, mestikah guru menganjurkan murid untuk menjadi seperti dirinya?
Keinginan agar semua siswa dapat menyerupai guru dalam hal pergerakan, kepekaan menangkap dan menghasilkan suara, phrasa, gagasan musikal, atau ketrampilan bermusik, hanya akan membuat kedua belah pihak menjadi frustasi. Seringkali terjadi kegagalan dalam sebuah proses belajar musik oleh karena disebabkan kecenderungan untuk menjadi orang lain, sementara potensi terbesar pada setiap orang justru memberikan peluang untuk menjadi diri sendiri.
Stephen Berg, konsultan pendidikan musik di Amerika Serikat mengingatkan, adalah tidak mungkin seseorang memaksa orang lain untuk menjadi seperti dirinya. Begitu pula sebaliknya, tidak mungkin seseorang bisa menjadi seperti orang lain. “Tujuan akhir pendidikan musik adalah agar setiap orang bisa menjadi dirinya sendiri. Pusatkan kegiatan belajar pada kemampuan anak itu sendin, lupakan gagasan untuk menggunakan alternatif jalan pintas. Jangan lagi mengatakan “Lakukan seperti yang saya lakukan, tetapi beralihlah dengan ‘lakukan seperti yang kamu ingin lakukan,” katanya.
Cobalah perhatikan tatapan wajah siswa Anda! Mengapa? Karena seorang anak tidak selalu mengemukakan gagasannya terhadap apa yang disampaikan guru kepada mereka. Memang, guru tidak dapat selalu mengetahui keadaan itu hanya dengan memperhatikan tatapannya. Kemampuan seorang guru memahami hal ini tergantung pada tingkat pengalaman dalam penafsirannya. Biarlah anak-anak mempunyai pengalamannya sendiri. Hindari latar belakang mengira-ngira kemampuan anak dalam menyerap materi pelajaran.
“Ini bisa saja terjadi. Misalnya, pada saat guru menyajikan sebuah teknik baru atau sebuah konsep, seorang guru kadang-kadang secara tidak sadar mengatakan, “Materi ini sangat sulit. Mungkin kamu memerlukan waktu bertahun-tahun untuk bisa mencapainya”. Saya katakan bahwa seorang guru tidak berhak memberikan keputusan seperti itu. Tidak ada salahnya memberikan kesempatan pada anak berekspresi menghadapi kesulitan pada saat ia berada dalam pembahasan materi yang rumit. Biarkan mereka mencoba melewatinya melalui pengalaman langsung untuk memahaminya,” kata Berg.
Intinya, lanjut dia, sebaiknya para guru berhati-hati dalam memberikan pernyataan meskipun hanya statemen sederhana yang mudah diucapkan. Justru kesempatan ini akan membantu mereka, khususnya apabila guru dapat menyampaikan materi baru dengan cara paling sederhana yang mudah ditangkap cepat oleh mereka. Apabila anak memiliki pengalaman mengatasi kesulitan, begitu mereka menghadapi persoalan maka respon pertama yang muncul adalah kesadaran bahwa ada sesuatu yang tidak tepat padanya.
Kadang-kadang pernyataan bahwa “ini mudah dikerjakan dan ini sulit dilaksanakan”, juga diperlukan. Tetapi esensi pada pembahasan ini lebih ditekankan pada penjelasan ‘mengapa’? Jika langkah seorang guru sudah bagus, penjelasannya jelas, dan sangat kreatif, maka anak-anak akan memiliki peluang lebih baik untuk belajar dengan mudah dan lancar. “Tetapi jika penyampaian guru terlalu cepat dan penjelasan yang diberikan membingungkan mereka akan mengalami kesulitan,” ujar Berg.
Tak pelak lagi, seorang guru yang baik mesti memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik pula, entah melalui bahasa verbal, maupun bahasa tubuh. Semakin kaku dan keras seorang guru akan semakin asing hubungan antara antara guru dengan siswa.
Ketika seorang guru yang keras atau otoriter kehilangan kemampuan cara mengajar, akan membuat materinya semakin sulit direspon. Bahkan sebuah respon yang biasa, seperti “kerjakan apa yang kamu rasa benar ketika menghadapi persoalan”, pada saat diterapkan pada bahasa yang lugas, akan menjadi tidak fleksibel secara alamiah bila diucapkan.
Hal ini menyebabkan materi pelajaran menjadi kurang terarah dan tujuan yang ingin dicapai menjadi sulit, akhirnya munculah masalah. Jika guru menyampaikan informasi dengan cara yang sama dan tidak menempatkannya pada konteks kondisi muridnya, bisa jadi materi yang sebenarnya berbobot menjadi sesuatu yang biasa dan tidak memberikan aspek musik yang berarti kepada mereka dan tanpa memberi arti lebih tentang bagaimana jari mereka berhubungan dengan sesuatu yang sedang dipelajari.
PERKUAT VISI
Setelah berinteraksi dan belajar dengan siswa selama beberapa waktu, seorang guru dapat melihat sebuah kondisi anak didiknya. Entah itu berupa gambaran atau mungkin berupa kesan dalam dirinya yang berisi tentang bagaimana potensi anak didiknya. Gambaran ini bisa diperoleh guru melalui pengalamannya melihat kemampuan penguasaan repertori, teknik permainan yang dikuasai, kemampuan musiknya, maupun performance-nya.
Berbekal pengalaman itu, guru dapat merancang program belajar seperti apa yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anak tersebut sehingga ia dapat lebih berkembang. Apa yang diketahui guru harus didiskusikan dengan siswa agar kedua belah pihak dapat saling membantu untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai.
Keterbukaan adalah kunci utama yang membuat hubungan guru-siswa semakin dekat, dan ini sangat bermanfaat. Jangan heran bila Anda mendapati ternyata kemampuan anak akan berkembang sesuai dengan visi Anda kepadanya, jika Anda mampu melakukan sebuah relasi yang terbuka, baik itu visi positif maupun visi negatif. Jika Anda membuat asumsi yang semata-mata merendahkan mereka, maka itu akan membuat peluang sekaligus langkah Anda untuk membenahinya semakin sulit.
SSEBAGAI SOROTAN
Guru dan siswa sama-sama sebagai sorotan bagi kedua belah pihak, sebagai sebuah hubungan antara guru satu dengan siswanya. Contohnya, seorang siswa bisa menjadi sorotan bagi gurunya ketika guru tengah berusaha menggali hubungan antara anak dengan orangtuanya. Bisa juga sebaliknya. Berbagai reaksi yang ditimbulkan dari sebuah sorotan dapat bermakna macam-macam. Bisa negatif, bisa juga positif.
Seorang siswa mungkin bereaksi terhadap gurunya melalui pembangkangan, tanpa pernah bertanya, atau mungkin dibayangi ketakutan. Atau bisa juga ia merespon materi yang disampaikan dengan cara tidak memberikan respek, tidak pernah mempertanyakan, bahkan mungkin tidak pernah memperlihatkan reaksi bahwa apa yang disampaikan guru sebenamya sangat menarik perhatiannya, sesuai dengan apa yang diharapkan oleh sang guru.
Guru juga menjadi sorotan bagi siswanya. Seorang guru yang disangsikan kemampuanya di musik, mungkinakan direspon negatif oleh siswa-siswanya yang memiliki intusisi lebih baik. Guru lainnya yang masih menimba ilmu, mungkin akan berkreasi untuk menyembunyikan kemampuannya dengan cara yang mungkin tidak jelas sehingga anak tidak dapat menangkap apa yang disampaikan guru dan guru pun tidak dapat memberikan apa yang diperlukan siswanya. Ini adalah pengertian guru sebagai sorotan dalam arti negatif karena ia tidak mampu merespon siswanya sebagai individu.
Guru harus belajar mengenali kapan siswa merespon dengan baik apa yang disampaikan. Hal ini dapat diketahui dari pengalaman siswa sebelum dan sesudahnya. Setiap orang selalu menjadi sorotan bagi orang lain, melalui sudut pandang yang berbeda-beda dan menghasilkan respon yang bervariasi pula.
Guru dan siswa mungkin akan merasa sama-sama kecewa satu dengan lainnya, apabila mereka merasa gambaran ideal mereka berseberangan atau tidak sepaham. Tetapi itu berakhir bila kedua belah pihak dapat memahami perbedaan tersebut dan berusaha memiliki saling pengertian dalam bekerjasama sebagaimana mereka belajar menjalin hubungan dengan lainnya, sebagai individu yang berbeda.
Ada banyak alasan bagai seorang guru untuk memberikan perhatian dan rasa sayang kepada siswanya. Misalnya, karena sikap keterbukaannya, keinginannya untuk belajar, kerja keras mereka untuk tetap bertahan, jerih payahnya, ketidakmampuannya untuk mencoba saat itu, hasratnya, berbagai macam rasa kekuatirannya dan sebagainya. Ini bukan berarti seorang guru dituntut harus berjuang keras menjaga hubungan itu di dalam dan di luar kelas.
Tetapi bila seorang guru tidak dapat mencintai siswanya, maka kepiawaiannya dalam mengajar tidak ubahnya seperti sebuah mesin. Segala kualitas musikal Anda, menjadi sesuatu yang asing dan tidak dimengerti siswa. Dan pada akhrinya, apa yang Anda ajarkan akan sia-sia, karena tidak menghasilkan sebuah umpan balik yang positif.
“Jadi, jika Anda sorang guru musik, jangan sia-siakan kesempatan Anda menjadi orang yang bisa memberikan bimbingan, memberikan sebuah keterampilan, menjadikan setiap orang menjadi dirinya sendiri, danmenjadikan diri Anda berarti bagi orang lain,” ujar Berg. (dini)