Dr. EDITH WIDAYANI

21

Article Top Ad

SEMPAT begitu percaya diri dengan kemampuannya bermain piano yang selalu menang di setiap kompetisi di Indonesia, Dr. Edith Widayani merasa “ditampar” ketika melanjutkan sekolah musiknya di Beijing. Untuk pertamakali dalam hidupnya, dia merasa begitu bodoh. Mengapa? Berikut bincang singkat dengan doktor musik lulusan Eastman School of Music, Rochester, New York ini.

 

Article Inline Ad

Bagaimana Anda terhubung dengan musik?
Sejak kecil saya disuruh belajar musik oleh mama. Awalnya bergabung di sebuah sekolah musik, ikut kelas grup, dan setelah 2 atau 3 tahun saya pindah ke piano klasik. Guru piano saya awalnya ibu Edmay Soeleman, dan Prissila Dianawati, dua-duanya di Yayasan Pendidikan Musik. Waktu Grade 6 saya dibimbing ibu Aisha sampai lulus. Waktu itu saya masih di SMP. Sempat belajar dengan Dr. Johannes Sebastian Nugroho selama satu tahun, sebelum saya pindah ke Beijing, dan masuk ke SMA musik. Saya belajar dengan Prof. Ling Yuan, salah satu guru senior di Central Conservatory of Music. Prof. Ling adalah juga guru dari Yuja Wang ketika Yuja masih kecil. Yuja, seperti kita ketahui, adalah pianis wanita paling fenomenal dari Cina.

Pengalaman apa yang Anda dapatkan selama di Beijing?
Selama belajar di Beijing saya baru sadar, ternyata menjadi musisi itu dipenuhi dengan kerja keras. Saya yang ketika di Indonesia merasa mainnya udah bagus, selalu menang kompetisi dimana-mana, waktu di Beijing saya merasa “ditampar”. Saya benar-benar tersadarkan bahwa apa yang saya banggakan selama di Indonesia, ternyata belum seberapa. Di hadapan Prof. Ling saya benar-benar merasa bodoh. Beliau mengajarkan banyak hal, mulai dari dasar-dasar teknik piano yang benar dan pentingnya punya integritas, komitmen dalam latihan, serta menjadi pribadi yang tangguh untuk menjadi lebih baik.

Setelah lulus SMA, tetap di Beijing?
Tidak. Saya pindah ke Texas dan diterima di Christian University School of Music di Fort Worth, belajar dengan Dr. Tamas Ungar. Fort Worth sendiri adalah kota yang bersejarah dan punya cultural life yang sangat vibrant, dimana sampai sekarang Van Cliburn Competition diselenggarakan di Fort Worth. Dr. Ungar memberikan banyak pengertian how to approach a piece of music, stylistic and interpretation consideration, yang menurut saya penting sekali sebagai musisi. Saya diminta untuk lebih “sadar” dalam memainkan musik dan untuk mengerti musik itu sendiri, apa makna dibalik not-notnya dan bagaimana mereka semua bisa membantu kita dalam mengekspresikan piece-nya. Lulus S1, saya melanjutkan S2 dan S3 di Eastman School of Music, Rochester, New York, dibimbing Prof. Barry Snyder, yang juga guru terakhir saya, dan sangat supportive dalam membentuk identitas saya sebagai musisi. Ultimately, our music should represent who we are as a person. Sebagai musisi saya harus memiliki identitas dan karakter yang kuat. Banyak hal-hal dalam musik, dan juga dalam hidup, yang saya belajar banyak sekali dalam proses graduate study saya

Bagaimana kesan Anda selama belajar di di luar negeri?
Buat saya, semua adalah sebuah pengalaman yang sangat berharga, baik apa yang saya pelajari dari para guru, maupun persahabatan yang saya dapatkan di sekolah, dan juga pengalaman ikut kompetisi, summer program, dan lain-lain. Yang paling berkesan mungkin ketika saya terpilih menjadi lulusan terbaik untuk S3 saya. It was a really proud moment for myself dan saya merasa bahwa di momen itu saya telah menepati janji saya kepada orangtua yang udah nunggak 13 tahun hahaha….. Yang juga mengesankan adalah komunitas yang saya bisa bentuk lewat musik. Memiliki komunitas where you feel like you belong, appreciated, supported, dan encouraged itu sangat penting dalam belajar musik. Apalagi dengan piano. Kita hampir selalu latihan sendiri, perform sendiri, ujian sendiri, kompetisi sendiri. Dengan komunitas yang sehat dan suportif, we can encourage each other untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Apa kendala yang Anda hadapi selama belajar piano di luar negeri, dan bagaimana Anda menghadapinya?
Di tahap yang berbeda, kendalanya juga berbeda-beda. Ketika di Beijing, kendalanya adalah bahasa, saya mungkin sempet hampir bisu hahaha… selama kurang lebih 3 bulan pertama saya pindah kesana. Dulunya juga nggak terbiasa dengan belajar dan proses latihan yang intens, ketika sampai sana adjustment-nya lumayan susah juga, apalagi ditambah dengan pertama kalinya nggak tinggal di rumah. Semua harus mandiri. Saya punya 5 roommate, jadi harus bisa menyesuaikan diri. Ketika ke Amerika, time management yang nomor satu karena ketika kuliah dan seterusnya, pasti selalu banyak banget hal-hal yang bisa dilakukan. Memprioritaskan yang mana yang penting, yang mana yang nggak, dan bagaimana caranya untuk mengatur level stress, itu yang menurut saya selalu jadi tantangan, apalagi ketika tanggungjawab saya bertambah, sebagai full-time student tapi juga mengajar di Eastman pada saat itu.

Setelah lulus S3 langsung kembali ke Indonesia, atau sempat berkarier di Amerika?
Masih sempat di luar negeri dulu. Jadi ceritanya nih, setelah lulus S3, atau setelah 20 –an tahun di sekolah, baru sadar bahwa oke, knowledge-nya ada, pengetahuannya ada, tapi cara pakai bagaimana, itu kan kita kadang-kadang suka bingung, gimana cara pakai ilmunya karena nggak ada yang kasih tahu. Iya kan? Selama satu tahun dari 2018 sampai 2019 saya ikut The Global Leaders Program, yang mengumpulkan musisi-musisi dari seluruh dunia, 40 orang, untuk belajar how to use music as enterprenuer, bagaimana menggunakan musik sebagai sesuatu yang bermanfaat. Saya di situ satu tahun belajar cultural enterprenuership itu apa, social business itu bagaimana menjalankannya, dan lain-lain. Saya melakukan studi banding ke Honduras, Mexico, dan Chile, bagaimana musik itu dipakai untuk banyak hal. Setelah itu saya balik ke Indonesia dan semua pengalaman itu di-take over World Piano Teachers Association yang ada di Indonesia yang kebetulan saya yang pimpin

Apa yang mendorong Anda pulang ke Indonesia?
Alasan balik ke Indonesia, pertama adalah karena personal life. Menurut saya penting banget untuk spend time dengan keluarga juga, apalagi mengingat bahwa saya udah nggak tinggal dengan keluarga sejak saya umur 16 tahun. Jadi kalau saat-saat ini tidak dipakai untuk bersama dengan keluarga ya nantinya udah keburu telat hehehe…. Alasan kedua adalah karena memang selama beberapa tahun terakhir saya belajar di luar negeri, saya melihat bagaimana musisi muda Indonesia semakin lama semakin berkembang menuju yang lebih baik. Tapi mengingat kegalauan saya ketika saya di usia mereka dulu, saya merasa bahwa kalau saya yang sekarang sudah diberi kesempatan dan memiliki pengalaman cukup banyak nggak berusaha untuk give back to the younger generation, artinya kita beneran mengemban pendidikan itu semata-mata untuk diri sendiri. Saya selalu merasa bahwa sisi edukatif musik itu harus selalu dikembangkan, terlepas apakah seseorang mau menjadi musisi atau tidak. Saya ingin memberikan kontribusi sebisa saya untuk memajukan generasi muda yang saya harapkan harus bisa lebih sukses daripada apa yang saya bisa jalankan.

Banyak anak muda kita lulusan luar negeri yang balik dan berkarier di negeri sendiri. Apa harapan Anda?
Harapan saya terhadap mereka tapi juga terhadap diri saya sendiri, adalah supaya kita bisa selalu melakukan yang terbaik demi perkembangan musik dan edukasi di Indonesia. Ketika saya balik ke sini, saya jujur aja merasa ada sedikit ketakutan, apakah saya akan bisa selalu mempertahankan idealisme dan standard saya sendiri walaupun saya sudah tidak berada di lingkungan akademia. Jujur saja sangat mudah untuk menjadi terpacu ketika kita dikelilingi oleh orang-orang yang selalu memberikan kesempatan kepada kita untuk menjadi lebih baik, terutama ketika kita dalam tahap belajar. Tapi ketika kita sendiri sudah mandiri dan berdiri sendiri, kadang rasa malas atau gampang puas itu ada aja. Ini yang saya selalu ingatkan ke diri sendiri bahwa kita nggak boleh lupa dengan tujuan awal kenapa kita mau melakukan sesuatu. Dan semua yang dikerjakan dengan niat yang baik, semoga juga membuahkan hasil yang baik.

Hikmah apa yang Anda rasakan sepanjang belajar musik klasik di luar negeri?
Banyak pembelajaran yang saya alami ketika diluar, dan menurut saya itu semua sangat penting untuk memperoleh hidup yang berisi dan bahagia. Saya beruntung bisa menjalani hidup saya melakukan apa yang saya memang passionate about. Tapi, tentu saja, semua orang ada jalannya sendiri-sendiri, dan kesuksesan sebagai musisi itu, semua relatif dari apa yang kita cari. Saya banyak belajar untuk berusaha menjadi diri sendiri, finding my own identity as a musician, dan semuanya itu adalah reflection dari personality kita sendiri. Music never lies, and it can be the greatest treasure we can enjoy in life.

Kabarnya Anda membuat program sertifikasi guru. Apa yang mendorong Anda membikin sertifikasi guru?
Yang pertama, ini bukan saya sendiri yang mengerjakan. Kita ada tim, ada enam pengajar yang semuanya orang Indonesia dan lulusan luar negeri. Kenapa kita mau bikin ini, sebetulnya karena kita menyadari bahwa isunya itu kan biasanya orang belajar piano itu hanya belajar main, tapi tidak diajari cara mengajar. Kita tahu ilmunya apa, tapi kita tidak diberitahu bagaimana caranya menjadi guru yang efektif. Jadi sebenarnya tujuannya itu. Kita mau tingkatkan pemahaman pedagogi dan lain-lain supaya menjadi guru yang komplet, tidak hanya dari aspek teknis saja, tetapi juga dengan cara dan strategi yang benar, dan tools yang tepat

Apa yang Anda harapkan setelah guru mengikuti program sertifikasi?
Harapanya, para guru memiliki pengetahuan yang lebih komprehensip dan up to date dalam menjalankan profesinya, baik dari sisi keilmuan maupun strategi mengajaranya. Untuk saat ini kami membuat sertifikasi untuk guru-guru yang mengajar siswa pemula sampai Grade 4. Nantinya kita ingin membuat lanjutannya lagi, misalnya intermediate mengajar sampai Grade 8, dan advance untuk mengajar yang lebih tinggi levelnya. Jadi kita merasa, kalau memang guru-gurunya yang diberdayakan, itu efeknya jauh lebih besar daripada, misalnya, kalau saya cuma mengajar murid saya saja. Iya kan? Kalau kita bicara soal edukasi, yang harus diberdayakan itu sebenarnya gurunya, bukan muridnya. Sering terjadi misalnya, guru hanya bisa mengajar sampai grade 4 saja. Mulai grade 5, murid disuruh pindah ke guru lain. Padahal, kenapa gurunya tidak diberdayakan agar bisa ngajar yang levelnya lebih tinggi? Iya kan? Nah itulah perlunya sertifikasi. Dengan sertifikasi ini juga, kita ingin memajukan kesejahteraan guru piano agar memperoleh pendapatan yang lebih tinggi karena dia bisa mengajar di grade yang lebih tinggi. Tidak di grade itu-itu saja sepanjang hidupnya.

Apa saran Anda untuk anak-anak muda kita yang sedang belajar maupun yang berkarier di piano?
Saran saya, kalau sudah menentukan pilihan, kamu harus konsisten dan lakukan yang terbaik. Jangan setengah-setengah. Kalau cuma jadi pianis gitu-gitu saja, nggak guna. Jadi harus be the best. Memang tanpa bakat, semua pekerjaan di dunia tidak akan banyak membantu. Tetapi juga jangan hanya mengandalkan bakat saja, karena tanpa kerja keras, pengetahuan yang cukup dan ketekunan, kamu juga tidak akan kemana-mana. Kamu harus punya tujuan yang jelas dengan talentamu. Sebab, saat masih belajar di luar negeri, biasanya idealis banget. Tetapi begitu kembali ke negara sendiri, bisa tiba-tiba lupa dengan semua idealisme itu, mungkin karena terlena dengan kehidupan sehari-hari. Jadi, mesti punya the big picture tentang goal apa yang akan dicapai dengan talentamu dan bagaimana mencapainya.

Baik. Apa pendapat Anda tentang Steinway Piano?
Saya punya satu Steinway piano di rumah. Waktu masih kuliah di luar negeri saya selalu pakai Steinway. Jadi, Steinway piano itu bagian dari jiwa saya. Tidak bisa dipisahkan. Steinway telah mendampingi saya mengeksplor keindahan musik dengan menyediakan fasilitas luar biasa untuk mengekspresikan apapun perasaan musik saya. Melebihi ekspektasi saya. This is the best piano in the world. (*)

Article Bottom Ad