Oleh: Michael Gunadi Widjaja (Gitaris Klasik dan Pemerhati Musik)
Suatu ketika jika Anda ditanya, apakah Anda suka musik? Dan sebelum dituduh bahwa Anda orang yang kurang berbudaya, pasti tanpa pikir panjang Anda akan menjawab: “Ya, saya suka musik.” Kemudian bisa saja si penanya bertanya lagi, musik apa yang Anda suka. Sampai disini, dalam benak Anda akan berkecamuk berbagai pertimbangan.
Mungkin Anda akan secara spontan menyebutkan jenis musik yang “sering Anda nikmati” meski belum tentu Anda suka. Hal-hal semacam itu, acapkali terjadi dalam kehidupan kita. Dan dalam keadaan demikian, kita menjadi bagian dari generatio speculativa. Sadar ataupun tak sadar. Generasi yang sering berspekulasi.
Dalam musik, banyak sekali hal-hal spekulatif. Ketika Anda ditanya musik apa yang Anda sukai, jelas Anda akan berspekulasi, agar Anda tidak di bully. Tidak diolok-olok dan tidak direndahkan. Untuk amannya, spekulasi Anda akan sampai pada Pop Kreatif.
Meski Anda sendiri sebetulnya tidak yakin tentang apa dan bagaimana itu pop kreatif. Namun, naluri Anda berspekulasi, sekedar menyelamatkan harkat dan martabat diri. Mau bilang suka Musik Klasik, mungkin tdak terlalu mengerti musik klasik. Bilang Musik Jazz, juga tak terlalu kenal. Bilang Dangdut Koplo, nanti dibilang norak. Ya paling aman ya musik Pop. Sama sekali tidak salah dan Anda memang sepenuhnya punya hak untuk berspekulasi.
Bahkan dalam tatanan tingkat akademis, musik pun penuh spekulasi. Banyak Generatio Speculativa di ranah akademi musik. Orang sebetulnya tidak pernah tahu, seberapa hebat Bach main keyboard. Hebat mana dengan Glenn Gould dan Daniel Barenboim.
Rasanya tidak ada orang yang tahu Bach main sebagus apa. Karya komposisinya memang hebat dan ajaib. Karya yang hebat luar biasa itu menjadi sakti karena dimainkan dengan teknik dan pendekatan musikal yang sakti dari orang jaman sekarang, atau bagimana. Ini spekulatif juga.
Daniel Barenboim, orang hebat dalam musik, bilang begini, “Tiap karya musik selalu dapat dimainkan secara sedih mendalam ataupun ceria meriah. Mana yang benar? Mana yang paling pas dengan pesan komposernya? Nobody knows,”.
Sekali lagi, spekulatif. Namun dengan adanya fenomena ini, sama sekali bukan berarti bahwa studi atau kuliah musik adalah hal yang spekulatif. Sama sekali tidak. Banyak, bahkan teramat banyak susunan bukti empirik terhampar di akademi, sekolah tinggi dan konservatori musik. Meski itu juga tak berarti bahwa studi musik terbebas sama sekali dari hal-hal spekulatif.
Sebetulnya, sudah lama dunia mengenal hal-hal spekulatif dalam musik. Bahkan ada satu cabang studi komposisi yang mempelajari komposisi spekulatif.
“To compose a speculative music is first to draw associations with the medieval category of a “musica speculativa”, that esoteric part of music theory that lies beyond the practical and theoretical aspects of musical composition to address existential questions of “why?” It was during this period when music was considered part of the quadrivium that included, besides music, the arts of number or proportion, geometry and cosmology. Mathematics was indeed always considered an essential aspect of a “musica speculativa” that bound the composition of music with a natural philosophy, which included a network of identities, relationships and correspondences so that what was abstract to the senses was given concrete form”.
Jadi musik spekulatif adalah komposisi yang tak hanya menggunakan material bunyi semata, melainkan proporsi dari angka-angka dan perputaran hakekat planet yang penuh keteraturan. Salah satunya adalah konsepsi Canon dari Bach.
Ada juga teknik garapan yang konsepnya, sekali lagi konsepnya, bukan materialnya, berasal dari pemetaan DNA makhluk hidup.
Atau ada juga komposisi spekulatif yang konsepnya dari matrikulasi angka-angka.
Lalu apa bedanya dengan Serialisme dari Olivier Messiaen dan Pierre Boulez? Konsepnya beda. Pendekatannya beda. Yang beginian ini lebih banyak spekulasinya. Alias untung-untungan. Atau kalo orang Jawa katakan, diutak-atik gathuk-mathuk.
Namun hal-hal seperti itu membuktikan bahwa spekulasi sudah benar-benar menjadi sebuah generasi. Generatio Speculativa. Dan sebetulnya ini menguntungkan bagi perkembangan industri musik. Para trendsetter bisa memainkan hal-hal spekulatif untuk menggiring selera pasar. Materi musik menjadi nomor kesekian. Yang penting spekulasinya di blow up. Dibedakin, digincuin, dipakein parfum agar orang terbius dan ikut ikutan berspekulasi.
Tidak Mungkin
Di zaman COVID-19 semacam ini, bermain spekulasi dalam menggiring pangsa pasar musik, menjadi nyaris tidak mungkin. Orang menjadi apatis terhadap musik. Karena uang lebih sedikit dan banyak hal lebih penting daripada mengurusi keberadaan musik.
Melihat grafik tersebut, pasti banyak yang berteriak. Sapa bilang musik rugi dihantam covid? Tuh grafiknya meningkat! Iya betul. Jangan salah, grafik itu meningkat karena dihitung income dari pemasukan online streaming seperti Spotify dan lain-lain. Tapi dari sudut minat, kesejahteraan pelakunya, dan perkembangan industrinya, nyungsep dan makin nyungsep.
Yang menarik dari kejadian pandemi COVID-19 ini adalah, bahwa musik, sebagai sebuah entitas kesenian, ternyata tidak memiliki ketahanan krisis. Musik rentan sekali terhadap perubahan yang bersifat global. Sebetulnya sejak sekitar 2010, daya tahan musik sudah goyah. Spekulasinya sudah teramat banyak. Para pengusaha industri rekaman sudah menjadi generatio speculativa.
Untuk mensiasati arus digitalisasi dalam sajian musik yang makin menggila, orang menaruh spekulasinya, bahwa dengan menikmati musik secara digital, akan diperoleh sebuah atmosfir baru. Berupa fleksibelitas. Dan tentu saja, akibat ekses dari digitalisasi sajian musik, banyak konten gratisan yang menyebar bak kecambah di musim hujan.
Para pengusaha rekaman sebetulnya panik. Mereka berspekulasi untuk membuat produk dengan harga yang lebih terjangkau. Dibuatlah single. Satu kepingan CD hanya berisi maksimal 3 lagu. Ada juga malahan yang berisi hanya satu lagu. Tentu maksudnya adalah menekan biaya produksi.
Ternyata, arus spekulasi terhadap trend menikmati musik jauh lebih deras dari upaya perjuangan para pengusaha rekaman. Publik sudah terlanjur menikmati trend menikmati musik secara digital dengan ekses maraknya konten musik gratisan. Keadaan pandemi menambah lagi bahwa pengeluaran tiap rumah tangga dan pribadi untuk konsumsi CD harus dihemat. Para produser kembali berspekulasi dengan membentuk pasar musik digital. Bentuknya adalah layanan berbayar.
Ini pun tetap kandas dan kalah deras dengan kenyataan bahwa digitalisasi senantiasa membawa efek free spreading yang mengerikan. Dengan kata lain, pandemi COVID-19 ini sebetulnya adalah gong. The hardest punch. Industri musiknya sendiri sebetulnya sudah sangat rapuh. Di jaman para megastar, menjadi pemusik, dan bekerja dalam bidang musik adalah sebuah angan dan cita. Jaman sekarang, fenomena seperti itu berubah, bahwa berkutat di bidang musik adalah sebuah spekulasi yang bisa sangat berbahaya bagi kesejahteraan hidup.
Platform Digital
Yang lebih mengenaskan tentu adalah para performer. Pemusik yang menggantungkan nafkahnya pada pertunjukan musik. Mereka ini benar-benar sudah menjadi Generatio Speculativa, para pemusik berspekulasi. Bahkan berspekulasi terhadap kelangsungan hidupnya. Pandemi COVID-19 yang menggerus dan mengkremes semua pertunjukan musik benar-benar sebuah bencana. Spekulasi kemudian digelar melalui platform digital.
Hanya saja, dalam platform ini, kesulitan utamanya ada pada soal tiketing. Namun demikian, para pemusik tidak patah arang. Spekulasi tetap berlanjut. Dengan live streaming yang mengandalkan hanya donasi. Dan bahkan mereka, tak terkecuali para performer kelas dunia, rela untuk streaming gratisan. Tujuannya adalah berspekulasi bahwa akan ada trend publik terbiasa dengan performansi digital sebagai “pengganti” pertunjukan panggung secara real time face-to-face.
Sebetulnya, di April 2021 ada titik terang. Beberapa teman gitaris klasik sudah mulai konser secara online. Bukan via medsos. Tapi pakai platform yang bisa tiketing. Kalo medsos kan gak bisa tiketing. Mengandalkan donasi saja. Hasilnya kecil. Pakai Zoom juga administrasinya ribet ruwet. Karena harus kirim meeting code ke banyak email orang yang bayar mau nonton.
Tinggal sign up trus bayar. Lho?! Pake bayar pak? Ya iyalah. Lha itu bulenya kan memelihara situs begitu tuh ada ongkosnya. Setelah jadi anggota bisa tuh, you konser online dan ticketing. Hanya saja masalahnya begini:
- Meskipun akses hanya untuk satu nama yang sudah bayar, tapi bisa saja gini, misal saya nih bayar. Dapat akses kan saya. Pas hari konser, Handphone saya, saya mirroring ke televisi. Waaahhh… sekampung nonton semua. Tiket lakunya satu tapi yang nonton sekampung. Secara ekonomi rugi bandar.
- Bisa juga ada yang iseng. Konsernya dia rekam. Dia bagi ke teman, dan orag-orang terdekat lainnya, hanya agar dia dapat gengsi. Bisa nonton konser online gitar. Apa akibatnya? Konser yang misalnya 2 hari, hari keduanya gak laku, karena sudah banyak yang nonton sebelumnya.
- Konser musik klasik itu penuh etika. Konser musik klasik sebetulnya adalah asupan bathin. Musik seni. Musik pengisi bathin. Nah kalau modelnya online, bisa saja yang bayar tiket nonton sambil melakukan apa saja. Apa artinya? Dengan konser online, tidak ada lagi musik klasik. Hanya ada musik yang musik.
Trus gimana? Kalau Anda minat, ikut aja. Lumayan bisa ticketing. Penghasilan Anda relatif pasti. Bagaimana jika yang beli tiket sedikit? Ya, risiko. Lagi-lagi, ini adalah sebuah ungkapan Generatio Speculativa. Kata akhirnya hanyalah, bagaimana, kita semua kembali lagi berspekulasi. Agar musik tetap menjadi entitas spekulatif yang secara spekulatif juga bisa menghidupi orang-orang yang hidupnya juga penuh spekulasi. (*)